“Yang bener lo? Kok bisa?”
“Gak usah bercanda, Njir.”
Demikianlah respon beberapa teman yang cukup dekat mengenal saya ketika tahun lalu saya menyatakan ingin menikah. Bagi sebagian orang, usia saya yang saat itu sudah menginjak 24 tahun memang bukan hal yang aneh untuk menapaki jenjang tersebut. Namun, ada bayangan-bayangan gelap di kepala saya yang selalu menghantui ketika saya mendekati urusan (ber-)keluarga.
“Gue rasa, gue lebih baik hidup sendiri aja. Tanpa ikatan. Mungkin kehidupan akan jadi lebih baik dari sebelumnya,” demikian kalimat yang terlontar dari mulut saya ketika bercerita dengan seorang teman beberapa tahun silam.
Jika sobat Indonesia Tanpa Pacaran menyatakan bahwa menikah bisa menjadi solusi dari segala kondisi pelik yang dialami, maka bagi saya menikah atau berkeluarga adalah kepahitan yang harus saya hindari. Saat itu, rasanya, saya hanya ingin memutus rantai kepedihan yang selalu mengikuti ke mana saya berpijak.
Saya bosan dengan amarah, saya muak dengan pertengkaran, saya jenuh dengan tudingan-tudingan tak beralasan. Saya hanya menginginkan damai. Saya hanya harapkan tenteram. Dan, saya hanya mendambakan aman untuk mengungkap segala yang saya rasakan. Hal-hal yang tidak saya dapatkan dari keluarga saya.
Kadang, ada keirian yang membuncah ketika mendengar cerita-cerita manis perihal keluarga yang dilontarkan di hadapan saya. Kok saya gak merasakan apa yang mereka rasakan, sih? Pertanyaan yang terus berputar tanpa henti. Yang, sayangnya, masih juga tidak menemukan jawaban yang pas hingga saat saya menulis ini.
Sejak kecil, saya selalu berusaha untuk menjadi seorang anak yang baik. Yang ada di dalam kepala saya hanyalah tidak ingin menjadi sama seperti kakak saya. Pokoknya tidak. Mulai dari prestasi akademik sampai non-akademik saya coba raih, rajin menabung untuk membeli kebutuhan saya sendiri, sampai menelan segala duka yang saya terima agar saya tetap tampak tidak apa-apa.
Namun, ya, saya hanya sanggup mengontrol apa yang saya rasa dan perbuat. Tidak dengan yang lainnya. Ibu saya masih saja selalu mengatakan, “Punya anak kok gak ada yang bisa ngebahagiain orangtua?!” ketika emosinya meraja. Tau rasanya menghabiskan hampir seluruh waktu dalam hidupmu untuk merasakan kegagalan? Benar. Sakit bukan buatan.
Saya hampir selalu mengutuki diri saya. Mulai dari kenapa harus terlahir sebagai perempuan sampai pada kenapa saya harus ada di dunia. Makna dari eksistensi saya rasanya begitu kabur. Saya hanyalah setumpuk kesalahan yang tidak diinginkan. Namun, kaki-kaki saya dipasung ketika saya ingin berlari dari tempat itu. Tempat yang bagi sebagian orang adalah surga dunia: rumah.
Oh, jangan salah. Saya sangat menyayangi kedua orangtua saya. Walau, ya, saya tidak fasih untuk mengungkapkannya. Dan, hal yang baru saya sadari belakangan ternyata adalah saya menyayangi mereka sebagai pribadi yang berdiri sendiri, bukan sebagai satu kesatuan yang utuh. Maka, masih ada kehampaan yang terus bergumul di dalam diri saya. Kekosongan yang masih belum dapat saya isi kehadirannya. Karena sebenarnya, memang tidak dapat tergantikan lagi oleh sesiapa.
Maksudnya? Saya menyayangi ibu saya, saya menyayangi bapak saya, tapi tidak kesatuan mereka sebagai orangtua saya.
Sejak lama, saya ingin sekali mereka bercerai. Sebagai anak, saya tidak dapat menerima alasan, “Kalau enggak karena anak-anak, aku udah pergi dari dulu!” yang selalu dilontarkan oleh ibu saya ketika berselisih dengan bapak. Karena, saya lebih baik melihat kedua orang yang saya sayangi bahagia dengan jalan masing-masing daripada bersama dalam selimut amarah tanpa henti.
Ketidakharmonisan yang terjadi di dalam situ agaknya membuat saya takut untuk melangkah lebih lanjut. Apakah saya pantas mendapatkan kebahagiaan yang seringkali digaungkan oleh orang-orang itu? Sebab, bayangan perihal bahagia di kepala saya saja masih begitu blur.
“Kamu berhak punya bahagiamu sendiri. Kamu bisa bahagia, kita bisa,” seseorang berkata kepada saya.
Segala keyakinan yang coba ditanamkan tersebut masih terus saya sirami dengan perasaan ragu. Apa bisa? Bahkan saat saya berada di tengah keluarganya yang bersenda gurau bersama, ada janggal yang tidak terelakkan. Kehangatan macam apa ini? Kenapa saya merasa begitu asing di sini?
Keterasingan yang saya rasakan membawa saya masuk ke dalam sebuah lorong yang gelap gulita. Di ujungnya, ada sepercik cahaya dan suara tawa yang menggema. Kemudian pertanyaannya, apakah kaki-kaki saya akan sampai di sana?
Tabik!
Pertiwi
*NB: Ini ditulis dalam keadaan sadar dan baik-baik saja. Saya hanya ingin membagikan apa yang dahulu pernah saya rasakan. Dan, tulisan ini merupakan awal dari rangkaian tulisan mengenai pernikahan yang akan dipublikasikan secara berkala.