Lima ratus tujuh puluh enam kilometer. Perihal jarak lagi. Belum lama ini, mereka sempat tergulung dengan rapi. Bulan di mana kemerdekaan digaung-gaungkan di seluruh pelosok negeri. Ada rindu yang tersenyum manis. Menemukan rumahnya setelah sekian lama pergi. Ada peluh yang tersibak semilir angin. Sebab sejuk telah menguasai hati.
***
Pejuang LDR, katanya. Berjibaku dengan jarak untuk hal yang disebut cinta. Sebelumnya, kata yang sakral itu sempat menjelma fana. Karena terlalu banyak mereka yang bermain-main dengan mangatasnamakannya. Sungguh tidak berbudi, ya. Padahal, cintanya tidak salah. Manusianya saja yang seringkali hina. Eh, gimana?
Perihal jarak, aku selalu punya stock terima kasih yang berlebih untuk stasiun kereta. Sebab, stasiun kereta merupakan tempat yang bersejarah. Tempat di mana pertama kali dua pasang bola mata saling menatap dengan ribang yang meluap. Tempat di mana genggam satu dan lainnya mulai berkaitan. Tempat di mana waktu menjawab sabar yang bertanya-tanya.
Kenapa kereta?
Aku memilih kereta karena waktu di perjalanannya lebih cepat dibandingkan bus. Jangan tanya kenapa aku tidak memilih pesawat, ya. Sebab alasan kedua adalah karena harga tiket kereta jauh lebih ekonomis jika dibandingkan dengan mode transportasi lainnya. Sebagai mahasiswa yang menanti kelulusan sembari bekerja serabutan, kereta merupakan pilihan paling tepat.
Hampir setengah dari bulan Agustus kami gunakan untuk memilin temu. Mulai dari Solo sampai Jakarta, menjadi jejak-jejak yang istimewa untuk mengaminkan jeritan rindu. Namun, kami tidak hanya berdua saja. Sebab di sela-selanya, ada mereka—beberapa orang teman—yang turut meramaikan pertemuan. Kebanyakan teman-teman Ilham, sih, ya. Soalnya teman-temanku pada sibuk datang event. Eh, gimana?
Mulai dari wisata kuliner, wisata alam, sampai dengan menonton pertunjukan teater jadi hal-hal yang menyenangkan. Aku paling suka bagian jelajah air terjun Jumog, mampir ke kedai Ngopi Serius, dan nonton pentas teater Umang-Umang. Kenapa tiga hal itu yang paling berkesan untuk aku?
Air Terjun Jumog
Perjalanan ke air terjun ini cukup melelahkan dengan drama menegangkan perihal naik-turun jalan menukiknya. Apalagi kalau ditambah dengan nyasarnya. Wah hahaha. Sampai di lokasi pun, kami masih diuji dengan menuruni 116 anak tangga. Kami melewatinya dengan ngobrol bahkan nge-rapp bersama. Semua lelah terbayar dengan suara gemuruh air terjun yang memanjakan telinga.
Walaupun cukup ramai saat kami ke sana, tapi kecantikannya tidak berkurang. Dominasi warna hijau begitu nyaman di mata. Agak dingin, memang, tapi selama aku belum menggigil ya tak apa. Cukup lama kami di sana, mulai dari ngobrol, ambil foto dan video, ngemil, sampai nonton beberapa anak kecil main perosotan air yang lucunya membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Ingin kembali lagi jika diizinkan… soalnya belum foto di jembatan. Ehehe.
Kedai Ngopi Serius
Aku suka kopi. Suka sekali. Satu tempat incaran yang kubilang harus kudatangi saat menyambangi Solo kembali adalah kedai kopi yang satu ini. Ngopi Serius, namanya saja sudah bikin penasaran. Pilihan menu kopinya jauh lebih banyak dari kedai kopi yang biasa aku datangi di Jakarta. Sampai bingung milihnya. Kalau kamu pencinta kopi dan sedang ada di sekitaran kota Solo, kamu bisa mampir di kedai kopi ini. Jangan manja dan nanya tempatnya di mana, ada Google Maps.
Hal lain yang memenangkan hati selain pilihan kopinya adalah suasana. Kedai Ngopi Serius ini ramai sekali saat kukunjungi. Meja-meja terisi gelas dan piring, sementara bangku-bangku menempel pada bokong yang memilihnya masing-masing. Kepulan asap rokok ada di sana-sini, tapi baunya tidak tercium sama sekali! Ah, pernapasanku aman! Riuh obrolan mengenai banyak hal berkumpul di satu tempat tanpa saling ganggu satu sama lain. Suka sekali! Aku dan Ilham pun menghabiskan malam dengan berdiskusi di kedai kopi ini.
Pertunjukan Teater Umang-Umang
Tadinya, aku mau nonton sendiri. Tapi setelah berunding, kami merombak rencana awal agar bisa nonton teater ini bersama. Lakon Umang-Umang ini dimainkan oleh teman-temanku dari Bengkel Sastra. Pertunjukan yang awalnya akan diselenggarakan di gedung Graha Bhakti Budaya ini harus pindah ke gedung Teater Jakarta karena satu dan lain hal. Masih di kawasan Taman Ismail Marzuki, sih, untungnya. Kalau enggak, pasti ada drama nyasar lainnya hahaha!
Kesannya? Dayat yang memerankan Waska benar-benar memenangkan hatiku. Keren sekali. Dialog dan tata panggungnya pun apik. Plus, yang paling membuatku terkagum-kagum adalah bagian di mana umang-umang menyerbu rumah warga. Kalian pasti tidak paham apa yang aku jabarkan. Tidak apa. Lain kali kita nonton teater bareng, ya. Ilham bilang, ini adalah pentas teater terbaik yang pernah dia datangi. Yuk, yuk, nonton lagi!
Kalau diceritakan semua, entah akan jadi berapa part. Terlalu banyak yang menyenangkan dari Solo dan Jakarta. Dan lebih banyak lagi yang istimewa untuk disimpan berdua.
Oh, iya. Karena kami sama-sama malas bawa barang banyak saat bepergian, alhasil kami sempat kehabisan pakaian. Saat di Solo, aku sampai harus membeli sweater karena pakaian bersihku habis. Lucunya, Ilham ikut menemaniku masuk ke toko pakaian dan perlengkapan wanita. Setelah tengok-tengok sekeliling, tidak ada laki-laki lainnya selain lelakiku seorang.
Aku sempat bilang, “Eh, kamu cowok sendiri tau.”
“Biarin,” katanya.
Pun sama halnya dengan Ilham, dia juga kehabisan pakaian saat berada di Jakarta. Namun dia tidak perlu membeli pakaian, sebab ada Yoga—teman yang ditumpangi kosannya untuk menginap—yang meminjaminya beberapa potong kaos dan kemeja. Entah, deh, dicuci lagi apa enggak. Eh.
Beberapa hari lagi, akan ada trip lain untuk kami. Semoga tidak kalah menyenangkan dari yang sebelumnya kami lalui. Sudah tidak sabar. Aku merindukan pulang.
Pulang, bukan melulu merujuk pada daerah asal. Untukku, menemukan genggam yang tepat ialah sebenar-benarnya pulang. Banyak orang bilang, LDR itu tidak menyenangkan. Namun, hey, siapa sangka akan terasa begitu menyenangkan ketika kamu berhubungan dengan orang yang tepat?
Menabung rindu untuk membeli temu, di Soloku atau Jakartamu.
Mungkin, harap tak melulu berbuah tatap. Namun siapa yang bisa mengelak ketika hati sudah memilih untuk meliburkan diri dari mencari dan menunjuk satu dengan mantap?
Aku percaya, konspirasi alam semesta akan menuntun langkah menuju jalan terbaik untuk kita.
Maaf, numpang selfie bentaran. |
Tabik!
Pertiwi