Memoar Secangkir Kopi | Your Favorite Devil's Advocate
cerpen

Memoar Secangkir Kopi

Rabu, Agustus 17, 2016

Memoar Secangkir Kopi
Kopi Flores with French Press from Kanal Kopi
Bagaimana bisa kita mengawali akhir yang tak pernah dimulai, Tuan? Sebab untuk menatap matamu saja, aku perlu berjuta spasi yang harus kujaga rapi. Bagaimana bisa? Jika menggapaimu saja hanya mampu menjadi ambisi. Karena untuk menggenggammu, aku perlu mengenyahkan kecintaanku akan jarak yang terbentang luas. Sebab untukmu, aku masih belum dapat menjelma mula yang pantas. Sebab itu, rasaku tidak bergerak bebas.

Hujan!

Seketika senja tak lagi jingga, awan bersenandung isak mendung. Di sana, aku berlari dengan gumam lirih akan jerat yang begitu perih. Sesaat, sempat pula aku merindu langit yang membiru. Namun ternyata, sekadar rindu tak dapat mengubah asaku akanmu. Dia tetap temaram di tengah sepi yang terus bungkam. Masihkah benar adanya bahwa yang lebih hening dari diam adalah cara terbaikku mencintaimu dalam-dalam?

Sebuah lonceng berbunyi ketika aku membuka pintu dari sebuah kedai di pinggiran ibukota senja itu. Ya, dan aroma kopi dengan serta merta menyeruak memanjakan indera penciumanku. Tak heran jika banyak orang tersihir oleh biji hitam itu. Suasana coklat muda dengan ornamen kayu menyambutku yang masih terpaku di ambang pintu. Dengan pakaian yang sedikit basah, aku tampak begitu kaku untuk melangkahkan kakiku masuk ke dalam situ.

“Masuk aja, Mbak, gak apa-apa,” ucap sang barista dari balik meja bar.

“Oh, iya. Terima kasih,” balasku dengan usaha keras menarik ujung-ujung bibirku untuk membentuk sebuah senyum yang layak untuk tampak.

“Meja yang biasa masih kosong kok, Mbak. Masih sepi.”

Ya, masih sama seperti dua tahun lalu, Tuan. Aku masih terus menginjakkan kaki di tempat yang sama, duduk di meja yang sama. Meja yang dahulu menjadi tempat favoritku untuk menatap wajahmu yang dengan khidmat menyesap pekat dalam cangkirmu. Walau telah berbeda, kamu tak lagi menjadi suara lonceng yang menggugah selera saat pintu itu terbuka. Kepergian yang entah ke mana dengan sisa luka yang terus menganga. Aku hanya dapat menatap jendela dengan sisa garis vertikal dari bulir hujan yang hinggap di kaca. Ada sesal di dalam sana.

Hot cappuccino kayak biasa, kan, Mbak?” tanya barista tadi, membuyarkan lamunanku akanmu.

Memoar Secangkir Kopi
Mocca Coffe from Kanal Kopi
Bosan. Kelembutan dan keindahan dalam secangkir hot cappuccino yang selalu kuhidu nyatanya tidak mengantarkanku pada sapa dari tawa. Sendu masih terus memikat aku. Gambar hati di atas cangkir itu terlalu sempurna untuk kenyataan yang sudah koyak di mana-mana. Jadi, haruskah lagi aku bersembunyi di balik keindahan yang sekadar semu semata?

“Hm, enggak, deh. Mau yang beda. Kopi yang baru hari ini apa, ya, Mas?” tanyaku.

“Ada kopi roasting terbaru, nih, Mbak: arabika Toraja.”

“Boleh, deh, Mas. Saya pesan satu, ya.”

“Mau pakai cara penyeduhan apa, Mbak? Saya saranin, sih, tubruk aja.”

“Kenapa tubruk, Mas?”

“Kalau tubruk, kita bisa menikmati rasa dan aroma kopi yang asli. Lebih lugu dan sederhana, Mbak, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Kontras dengan apa yang biasa Mbak pesan. Kopi tubruk tampak tidak memedulikan penampilan. Seolah tidak memerlukan skill khusus untuk membuat kopi dengan tekstur yang kasar dan sangat cepat itu. Namun, tunggu sampai kita dapat membaui aromanya.”

Aku tersenyum. Tanpa perlu usaha keras untuk menarik ujung-ujung bibirku. Barista yang sudah kulihat beberapa tahun terakhir di sini rupaya cukup fasih dalam mendeskripsikan kopi. “Oke, Mas, saya pesan yang itu aja.”

“Oke, Mbak, tunggu sebentar, ya.”

“Iya, Mas. Terima kasih.”

Barista itu berlalu, punggungnya menjauh menuju balik meja bar di samping pintu masuk. Sedangkan aku? Kembali melayang dalam lamunanku akanmu. Kita yang memang tak pernah sedikit pun menapaki mula, kenapa harus sebegitu perihnya? Senja sudah berlalu dari angkasa. Malam merangkak dengan sisa awan hitam yang masih terbentang luas. Kemudian, ada sesal yang kembali menyeruak keluar.

Sialnya berada di dalam dekapan patriarki dan terpaksa mengikuti aturan dari kaum yang begitu kolot ini adalah mengabaikan idealisme pribadi. Ada takut yang membuat niat untuk menyapanya mengerut. Hingga akhirnya, aku terlambat menghentikan perginya yang entah ke mana. Mungkin, belum saatnya ada bahagia sesungguhnya yang kusambut.

“Silakan, Mbak, kopinya,” ucap barista tadi. Ya, dia kembali membuyarkan lamunanku akanmu dan menghentikan ketukan-ketukan jariku pada meja bulat berwarna coklat itu.

Kutatap cangkir kopi yang tersaji di hadapanku.

Hitam.

Jalan menujumu, masihkah sepekat ini, Tuan?

Memoar Secangkir Kopi
Black Coffee from Hotel Kartika Chandra
“Mbak pertama kali coba yang ini, kan? Sebelum dicoba rasa kopinya, Mbak bisa cium dulu aroma kopinya,” lanjutnya memberikan instruksi yang—entah mengapa—dengan serta merta kuturuti saja.

Aku mulai mendorong ampas yang mengambang di atas cangkirku dengan sendok yang telah disediakan dan mendekatkan ujung hidungku pada cangkir itu. Hmm… aroma earthy yang khas.

“Gimana, Mbak?”

“Aroma yang didapat dari kopi ini apa aja ya, Mas?”

“Kopi arabika Toraja ini menghasilkan aroma buah, Mbak.”

“Hmm… Iya, Mas, ada aroma buahnya.”

“Nah, good. Sekarang coba rasakan kopinya, Mbak.”

“Untuk rasa yang didapat dari kopi ini apa, ya, Mas?”

“Kopi ini menciptakan rasa buah dan rasa asam yang khas dari kopi Toraja. Tingkat keasaman dari kopi Toraja ini cukup tinggi. Banyak yang bilang kalau kopi Toraja ini mirip sama kopi Sumatera, Mbak, tapi kopi Toraja jelas punya ciri sendiri yang tentunya beda dengan kopi lainnya.”

Perlahan tapi pasti, kusesap perlahan pekat hitam dalam cangkirku, “Hmm… Iya, untuk rasa asam dari kopi ini sangat terasa.”

Dia tersenyum menatapku, “Selamat menikmati, Mbak.”

“Oh, iya. Terima kasih, Mas. Saya suka.”

“Sama-sama, Mbak. Ini 50% berkat petani yang menanam kopi, 40% yang menyangrai biji kopi, saya cuma kebagian 10% buat eksekusi aja, Mbak.”

“Senandung, panggil Nana aja jangan Mbak lagi,” aku menyodorkan tanganku, memperkenalkan diri.

“Oh, oke. Saya Artha,” katanya menyambut tanganku dengan jabatannya. “Balik dulu, ya, Na. sekali lagi, selamat menikmati.”

“Iya, terima kasih.”

Tumben dia sendirian, waiter-nya ke mana?

Memoar Secangkir Kopi
Ice Macchiato from Jung Coffee
Artha kembali pergi. Meninggalkanku yang tetap bercinta dengan sepi. Masih dengan harapan yang timbul tenggelam akan orang yang tak juga dapat kuraih. Sedih. Tapi, luka hanya akan menyayat sedalam yang kita izinkan, bukan? Dan, setiap hamba memiliki kuasa untuk bahagia.

Sesungguhnya, Tuan, aku tidak terbiasa menikmati pahit. Bukan sepertimu dan kopi Flores favoritmu. Namun, indera perasaku sama sekali tidak menolak hadirnya pahit yang berkuasa atas rongga mulutku. Dia seakan melebur dengan rasa yang semakin hambar. Mereka membaur, membuat sebuah koloni yang merombak aku dengan cara yang begitu barbar.

Aku tersenyum.

Masih menatap kepekatan di hadapanku.

Masih dengan bayangan kamu di kepalaku.

Masih dengan keentahan yang terus kusemogakan sejak pertama kali melihatmu.

Tapi, Tuan, logikaku mulai mengaduh. Mempertahankan yang begitu entah atau melepaskan gundah? Jika hati tak lagi turut campur, tentu aku akan dengan mantap memilih yang kedua. Tapi bagaimana? Kemampuanku berkehendak seakan turut pergi bersama bayangmu yang semakin gelap.

Tuan, aku masih menjadi pandir yang dicerca cibir. Sudah habis hati terkoyak dengan logika yang teramat kikir. Masih saja kamu dan kamu lagi yang menguasai pikir. Lucunya, bahkan aku tak mengetahui namamu untuk sekadar kuukir. Baiknya, kamu pergi dari benakku tanpa kuusir. Bisakah, Tuan?

Malam dan gabak masih beradu. Tiada yang lebih pilu, tiada yang sanggup menjawab tanyaku. Kubuka isi dalam tasku dan kubuka sebuah buku.

Kosong.

Dan pena dalam genggamanku mulai mengukir beberapa baris kata:

Kumasih berkelindan dengan luka lama
Mengais sisa kamu yang tertuang dalam puisiku
Masih juga abai pada logika yang mencoba bertahta
Sebab dosa masih merengkuh aku dalam peluknya

(Senandung, 19.28, 06/16)

Memoar Secangkir Kopi
Hot Chocolate from Jung Coffee
Hhh…

Aku menghela napas panjang.

Hebatnya puisi, selalu bisa mengembalikan energi yang sempat pergi. Hal yang paling setia menemaniku yang meragu bersama sepi dan sembilu.

Samar-samar mulai terdengar alunan lagu dari band favoritku, Efek Rumah Kaca, dengan lagunya Jatuh Cinta Itu Biasa Saja. Aku mencari sumber suara, kudapati Artha yang menatapku di sana. Lagu yang dipilihnya menusukku begitu telak. Kurasa, bukan hanya perihal perkopian yang bisa dikuasainya, tapi juga dengan gerak-gerik pengunjung yang datang ke kedai kopinya. Aku kembali tersenyum. Setidaknya, aku mulai bisa berdamai dengan rasa pahit di dalam dada.

Kembali pada cangkir kopiku, masih tersisa pekat yang harus kuselesaikan. Tidak begitu buruk. Ya. Sebab ternyata, kehilanganmu tak lebih pahit dari secangkir kopi yang baru kurasakan. Aku hanya terlalu munafik untuk membuka mata dan telinga. Sebab aku terlalu terpaku pada kepergian orang yang entah siapa.

Pukul 20.27, saatnya mulai menutup hari yang biru dengan pergi dari tempat itu. Kuhampiri Artha yang masih sibuk melayani pesanan di balik meja barnya.

“Hei, berapa semuanya?”

“Ah, sudahlah. Sekali-sekali kasih kopi gratis untuk pelanggan setia.”

“Wah, how lucky I am!

Yes, you’re a lucky girl. Ini buat kamu,” katanya sembari menyodorkan secarik kertas.


Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit.

Aku kembali tersenyum, mengucapkan terima kasih, dan beranjak pergi.

Dalam lelahku, kaubangkitkan aku menuju benderang yang nyata. Sebagaimana secangkir kopi yang selalu membuatku terjaga. Kemudian pada kepulan hangat itu, aku membaui bahagia. Pada pekat yang khidmat, kaumasih enggan mengikat. Sebab bagimu, kaubukan sesiapa yang pantas menjerat.

Kemudian…

Aku sudah punya calon rujukan lain untuk klitik {-mu} milikku.

Aku punya kamuku.

Yang bukan lagi kamu.




TAMAT.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

* Referensi:

  • Komunitas Kopikoe (Komunitas Pencinta Kopi Noesantara)
  • Filosofi Kopi by Dewi 'Dee' Lestari
  • Kedai kopi favorit: Jung Coffee dan Kanal Kopi 


You Might Also Like

155 komentar

  1. Bagi orang Madura kopi tak akan lepas dari rokok, di mana ada kopi selalu ada rokok; begitu sebaliknya. Salam sukses untuk lombanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di kampusku juga gitu hehehe
      Aamiin. Terima kasih banyak, Mas.

      Hapus
  2. Suka banget sama gaya penulisannya mbak Tiwi.
    folosofi Kopinya keren....
    good luck ya mbak...

    BalasHapus
  3. Tulisannya yang entah kenapa sebegitu bagusnya membuatku ingin menghapus semua apa yang sudah aku tulis dan aku ikutkan juga dalam lomba ini.
    Dari pemilihan diksi-diksinya membuat para pembaca larut dalam setiap jengkal kata, larut dalam suasana kedai kopi tempat bekerja Artha, seolah-olah pembaca ada di sekitar mereka dan ikut mendengarkan secara langsung..

    Sekiranya, jika aku salah satu jurinya, mungkin aku akan memilih tulisan ini sebagai salah satu dari ketiga pemenang hadiah utama.

    Dan btw, aku kaget aja pas kamu bilang "aku sesungguhnya gak ngerasa maksimal". Ya gimana gak kaget, jika kamu gak ngerasa maksimal aja sudah sebagus ini, lalu bagaimana jika kamu merasa maksimal?

    Sekiranya aku pun bingung, bingung mau mengkritik apa wi, sebatas pengetahuanku ini sudah bagus, sangat bagus, dari segi pemilihan diksi, dan gaya tulisan. Tapi entah bagaimana juri menilainya. Semoga saja ini menjadi salah satu dari ketiga pemenangnya.

    haha mungkin ya sedikit saran saja wi, untuk terus mempertahankan gaya tulisannya, gaya penjabaran suasana latar ceritanya, dan juga pemilihan katanya.

    Tiada hal yang sempurna di dunia, yang sempurna hanya milik Sang Pencipta, Andra and the backbone, dan Demian tentu saja.

    Semoga menang wi.
    Salam hormat dari tim hore-hore :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Fan, kamu terlalu memuji aku. Nanti aku geer gimana :(
      Aamiin. Makasih lho ya komen panjang lebarnya. :D

      Hapus
    2. hahaha ini bukan memuji wi, cuma mengatakan apa yang perlu dikatakan saja.
      Sekiranya tulisan bagus ya emang bagus, haha

      Tugasmu sekrang tinggal mempertahankan gaya bahasa, diksi, dan pemilihan suasana yang berbeda, anggap saja sebagai latihan untuk membuat dan menambah cakrawala sudut pandang cerita yang lebih baru :D

      Hapus
    3. Yap, aku catat pesannya. Makasih! :D

      Hapus
  4. Selalu hebat tulisannya Mbak Tiwi,
    Sukses Mbak untuk lombanya
    😉

    BalasHapus
  5. Bagus itu tulisannya, semoga menang yaa.😁

    BalasHapus
  6. Untuk yang didera rindu teramat tapi tetap berusaha kuat.
    Tulisannya menginspirasi, bukan cuma untuk minum kopi (haha) tapi juga tuk kuatkan diri.
    Dan aku suka tulisan yang menguatkan. Semoga sukses Tiwi! ��✊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah kalau bisa jadi inspirasi, atuhlah padahal masih ngerasa banyak yang kurang ini, Him. :(
      Aamiin. Makasih ya, Himma. :*

      Hapus
  7. Suka banget bagian "Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit".

    Semangat Tiwi. Good luck ^.^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga suka bagian itu hehehe
      Aamiin. Makasih, Kak! :D

      Hapus
  8. "...Lebih lugu dan sederhana, Mbak, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam...."
    Seperti pernah baca ini. Filosofi Kopi Dee Lestari? :/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyap, itu jadi salah satu referensi. Nanti aku tulis detailnya di post, ya, dapat referensi dari mana aja. Makasih ya, Kak. :D

      Hapus
  9. Diksinya itu loh :") hahaha
    Sukses ya tiwiiii :D Sukaaaa :)

    BalasHapus
  10. Ada kopi rasa jeruk ga?
    Boleh dund kalo ada

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pernahnya dapet rasa nangka, pas bikinnya pake syphon. Kalo jeruk, coba tanya Afika.

      Hapus
  11. Selalu saja setiap ada tulisan yg bercerita tentang kopi mau dipadukan dgn gaya penulisan sperti apapun tetap saja menarik untuk saya.. Diracik dengan kebimbangan atau kegalauanpun yg namanya kopi tetap akan membawa kebahagiaan buat mereka yg bisa menikmatinya, apalagi dibuat dengan cinta sudah pasti jadi sesuatu yg luarbiasa dsetiap rasa tulisannya juga dsetiap sruputannya..

    Kopi adalah salah satu dari kenikmatan yg Tuhan kasih untuk kita, jadi kalau kita gak ngopi berarti kita sudah membuang satu nikmat yg Tuhan kasih untuk kita..
    Mari lajutkan ngupinya, asalnya tetap ngupi dengan bijaksana..

    Semangat tiwi trus nulisnya yaaa.. Juga ngupinyaa.. \m/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tjieeee dikomenin sama ketua komunitas pencinta kopi nusantara azeeq~

      Hapus
    2. Sapa dah sapa.. Mana orangnya manaaa... :D :D

      Hapus
  12. Jadi penasaran sama kopi. Akan kah dia semacam cinta yang menjelma dia? Love this memoar

    BalasHapus
  13. Nama: Yosfiqar Iqbal
    Kelemahan: Menganggap tulisan ini karya Dee Lestari =)

    BalasHapus
  14. Dan akunpun dibawa terhanyut larut dalam untaian kata-kata indah ini. Seakan aku bisa turut merasakan kopi arabika Toraja. Hari masih pagi, waktu yang tepat untuk menikmati secangkir kopi hangat.

    Ahhhhh suka banget sama tulisannya. Semoga menang ya. Terus nikmati pelesir ke Toraja. Aamiin

    BalasHapus
  15. Tulisan yang bagus... untuk cup of my story, ya.
    Semoga memang hingga terangkut di buku ya. Aku suka gaya cerita dan apa yg kamu ceritakan informatif & naratif.

    BalasHapus
  16. "Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit."

    Ini apa-apaan. Kok pas banget. Hahaha..
    Tapi kok aku ingin menimpali juga. Bagaimana dengan pencinta teh? Bukankah teh juga pahit? :D

    Semangat lombanya tiw!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bhahaha aku juga paling suka yang bagian itu.
      Kalau teh itu ada khasnya sendiri-sendiri gak sih tiap daerah?

      Hapus
  17. mantaps.. bagus tulisannya. Mampu memberikan pengetahuan tentang kopi ditengah2 roman. Kayak AADC hihi
    Bahasanya juga bagus, sebagai orang awam dan umum harus pelan2 bacanya biar bs menikmati setiap katanya.

    semoga sukses dan memang lombanya yaaa. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh jauhlah sama AADC mah hehehe tapi makasih, ya.
      Aamiin. Semoga mbaknya juga sukses dengan apa yang dikerjakan. Aamiin.

      Hapus
  18. Jadi ikut ngebayangin menghirup kopi aroma buah, terus bertanya aroma buah apakah?

    Bagus mbak tulisannya. Sukses ya! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebagai orang yang masih awam di bidang kopi sih yang aku cium baunya asam gitu, belum peka banget. Tapi kuakan coba terus wkwkwk
      Aamiin. Makasih ya, Mbak. :D

      Hapus
  19. bahasanya dalem..
    memberikan banyak pengetahuan tentang kopi..
    semoga sukses Mbak..
    saya juga pecinta kopi 😉

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Terima kasih ya, Mbak. Jangan lupa ngopi hehehe

      Hapus
  20. sorry aku malah fokus sama kopinya,
    aku sendiri kadang suka bingung perbedaan kopi2 di nusantara, tapi kalau pecinta kopi pasti tau bedanya kopi2 di nusantara ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, lidah dan hidung mereka sudah terlatih wkwkwk

      Hapus
  21. Keren banget wiiii. Deskripsi kopinya bagus. Btw aku udah pernah coba kopi toraja dan itu enaaaak :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Tiw. Hehehe
      Aku malah belum pernah, nih. Heu.

      Hapus
  22. Wahh kopi flores..
    manis Ntiw cerpennya :)Ini bukan curhat kan? *eh gimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dikomen wanita hitz Flores aw~
      Makasih, Kak Ajen. :*
      Bukan, kok, bukan curhat. Dikit, sih. Ah, bukan kok. :p

      Hapus
  23. Favorit Ku Kopi gayo tiw! Pahit-asam yg pas kaya lika-liku kehidupan #eh

    Selalu ada cerita ya di balik secangkir kopi, sama seperti kisah Ku dengannya dibalik Kopi tubruk yang disesap di warung kopi *eh*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kemarin malam kuminum kopi gayo, walah pahitnya mantap sekali hahaha
      Kak, curhat? :3

      Hapus
  24. Kalau ga ada kalimat 'Tulisan ini Diikutlombakan' mungkin kupikir ini cerita nyata alias curhat, Mba Tiw. Hahaha.

    Tulisannya bagus, mengalir, kaya akan diksi. Mungkinkah akhirnya Artha akan mengganti Tuan di hati Nana? Hahaha aku jadi pengen tau kelanjutannya *eh emang ada?

    Semoga menang, Mba Tiw! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. InsyaAllah nanti kalau ada mood bagus kubuta lanjutannya, Kak Ayi. InsyaAllah hehehe

      Hapus
  25. Pemilihan kata gaya bahasanya nendang banget..pecah di mata ngebom di kepala..mantap nian tulisan kak tiwi ini..no comment about coffee...udah berasa walau nda minum

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiperbola hahaha tapi terima kasih banyak, ya, Om.

      Hapus
  26. Cerita tentang kopi selalu menarik. Mengalir kengahatan dan keharuman aroma kopi ketika membacanya. Sukses untuk kontesnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yes, Kopi memang inspirasi yang begitu apik.
      Aamiin. Terima kasih, ya.

      Hapus
  27. Tadinya sih aku mau mengakhirkan kunjungan hari ini di sini. Tapi entah kenapa ada daya tarik untuk harus disegerakan. Dan saya tidak menyesal.

    Saya sedang menulis, membaca tulisan ini saya jadi malu melanjutkannya, butuh banyak sekali perbaikan rasanya.

    Duh, wi. Kamu ini nulis beginian berapa lama? Kaya yang aku bilang sebelumnya, tulisan kamu itu sederhana tapi keren untuk dibaca. Gak berbelit belit. Banyak sekali rima yang pas yang natural, kaya ga dibuat-buat.

    Ah, ajari aku lah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, Om Andhika bisa aja hehehe
      Aku buatnya kurang dari sehari, sih. Biasanya kubuta cerpen satu setengah bulan. Makanya aku merasa cerpen ini gak maksimal. Pun pengetahuan tentang kopi yang masih minimal. Huft, rasanya ada sesal. Setahun lebih gak nulis fiksi, hasilnya cuma begini. :(

      Hapus
  28. Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit.

    Ini kutipan terbaik, dan aku pikir ini sebuah kode dari Artha untuk Nana. Aku setuju sama Ayi. Ini cerita harus dilanjutin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga paling suka bagian itu hehehe
      Iya, kode. Eaak~
      InsyaAllah nanti kalau ada mood dan sudah tambah pengetahuan soal kopi, ya.

      Hapus
  29. asyik benar mengikuti rangkaian kalimatvmbak Tiwi ini. hot cappuccinonya mengingatkanku ke seseorang yang kupanggil mr.cappuccino :D

    BalasHapus
  30. Bolehkah Saya berkenalan dengan Artha? Aku suka baca tulisannya, berharap one day bisa nulis kayak gini juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau Artha itu nyata, aku juga mau, Kak Rin hahahaha tulisan ini sederhana kok, Kak. Bisalaaah~

      Hapus
  31. Kepada dia yang ku cinta, kepada dia yang tak bisa ku gapai.
    -mia,2016-
    Pedih ya bagi mereka, yang mencinta namun tak bisa memiliki. Hendak mengakhiri padahal belum ada permulaan.
    Hendak pergi, tapi belum sampai ketempat tujuan.
    Bingung.
    Bagaimana kelanjutannya? Haruskah mengikhlaskan sesuatu yang sulit diikhlaskan?
    Merenungi kala bersama hanya bisa membuat pilu hati, yang hanya bisa diobati oleh waktu yang terus berganti.

    Kok malah curhat😂😢😢😢 karena sejujurnya, tulisan ini sejalan dengan cerita daku saat ini.
    Sukses,ntiiw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dilarang curhat di lapak orang! Wakakaka
      Aamiin. Thanks, Mia. :*

      Hapus
  32. Begitu banyak orang yg terinspirasi dengan kopi... Dari rasa kangen atau kesel.. Dengan kopi bisa menyeruak keluar kata-kata dari imajinasinya. Nana... Kamu keren.. :D

    BalasHapus
  33. Penggambaran yang menginspirasi. Aku bukan penyuka kopi, tapi pasanganku pecinta kopi. Semoga dia mengerti bagaimana menikmati pahit, sehingga bisa selalu membimbingku.

    Eh malah curhat he he he... sukses dengan lombanya ya ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin hehehe
      Terima kasih doanya, Mbak. Aamiin yaa Rabb.

      Hapus
  34. Cara berceritanya real sekali mbak.
    Saya diawal menyangka ini betul2 kisah mbak, karena cara penyampaiannya betul2 seperti curcol, eh ternyata cerpen ya.
    Semoga menang ya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada curcolnya, sih. Eh. Ada Ufo, Mas. Ngiiiiing~

      Hapus
  35. Suka sekali dengan pemilihan katanya 😆 seolah dibuat ikut menghirup aroma kopi yag disajikan (*˘︶˘人)

    BalasHapus
  36. "Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit."

    Sukak sama quote itu.

    Meski suamiku bukan pencinta kopi, melainkan teh. Tapi teh kan juga bisa pahit juga. Jadi aku tetep cinta. Hahahaha... Analoginya maksa ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Muehehehe iya, sih, ya. Tapi mungkin kopi lebih artistik untuk dijadikan bahan penceritaan.

      Hapus
  37. selesai baca jadi langsung pengen ikutan ngopi nih hehe, jadi penasaran kalau ada lanjutan ceritanya.. sukses ya mba untuk kompetisinya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuk kita ngopi!
      Orang ketiga yang minta lanjutan. Yak, insyaAllah ya hehehe
      Aamiin. Terima kasih, Mbak.

      Hapus
  38. Oke sesuai saran mbak tiwi aku tak mencintai pecinta kopi heheh..
    Mbak btw sebenernya tadi pagi aku udah baca ini dan rasanya mau dan mau baca lagi. Mungkin aku terlalu tergerus arus pahitnya kopi toraja yang nyatanya lebih bisa diharapkan keberadaanya. *halah*
    Btw lagi semangat mbak tiwi semoga menang sukses ikut lombanya. Pun bagiku tulisan tulisan mbak tiwi ini "menang". Aku suka ♡

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haduh banyak yang baper hahaha
      Aduh aamiin. Terima kasih banyak ya, Mbak. Hehehe

      Hapus
  39. Sukaaaa

    Jd ngiri krn aku sering kesusahan nulis ttg kopi. Krg suka sih

    BalasHapus
  40. Saya sangat suka dengan tulisannya, apalagi temanya tentang kopi. Orang yang suka kopi biasanya sudah terbiasa merasakan pahit apalagi pahitnya kehidupan di dunia :)

    BalasHapus
  41. Anjirrr.... ((Nana))

    Wakakakak.

    Btw, ini buat lomba atau apa, sih? Bagus tokhay! Apalagi tentang barista yang tau menikmati pahit. Keren diksinya. Menanglah ini. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa? Inget mantan? Bhahaha
      Lomba, Yog, dari Nulisbukudotcom.
      Aamiin. Thanks, yaa~

      Hapus
  42. Cerpennya bagus Mbak Tiwi. Moga menang ya!
    Btw kalau saya lebih milih kopi dgn banyak gula ketimbang rasa original hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku gak begitu suka manis sih memang pada dasarnya hehehe
      Aamiin. Makasih ya, Mbak hehehe

      Hapus
  43. sukaaa bacanya, jd ikut terhanyut dlm hati terkoyak oleh kopi ❤️❤️

    BalasHapus

  44. 50% 40% dan 10% pembagian yang cukup adil ya. Sementara artha sang eksekutor mampu menyempurnakannya dengan baik.

    Good job artha :)

    BalasHapus
  45. Alur ceritanya bagus banget jadi senang membacanya. Kopi memang enak buat mengisi hari hari yang cerah maupun mendung. Semoga dalam lombanya yaa kak

    BalasHapus
  46. Duj sesama pecinta kopi, kadang kesyahduan kerap menggelayuyi alam pikiran dan menyeruputnya dari balik imajinasi kata-kata... indah.

    Good luck ya Tiw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah ulang tahun sama, kesukaan sama. Romantis banget sih kita, Mbak hahaha

      Aamiin. Makasih ya, Mbak Yulia :*

      Hapus
  47. Dulu pernah kecanduan kopi dan waktu mau melepas kopi benar2 susah :)

    Tulisannya bagus, tapi aku harus mengulang bacanya baru bisa memahami maksudnya. Semoga menang ya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, kenapa udah gak ngopi, Mbak?
      Kopi itu baik kok, yang jahat itu perlakuannya. Eaaak hahaha
      Aamiin. Makasih ya. :3

      Hapus
  48. Tulisan tentang kopi
    Tiada henti aku membaca apabila kopi yang menjadi topik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat berbahagia dengan secangkir kopi di depan mata! :D

      Hapus
  49. Goresan-goresan tinta mu mengajarkan ku apa arti sebuah kopi bagi para penikmat kopi

    Aku jadi semakin mengerti mengapa kopi lekat dengan sang penulis yang mampu berceloteh dg segarnya.

    Trims mba

    #Kandida

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ketika kopi dan kenangan tentangnya berkelindan, pahit yang disulap dalam aksara bisa juga dinikmati semua hehehe
      Terima kasih juga sudah mampir, Mbak.

      Hapus
  50. Seduhlah kopi, nikmati kenangan pahit tentangnya, dan sembuhkan luka pada waktu yang sama. Karena hanya dia yang ingin moving-on sajalah yang berani menyeduh kenangan pahit dalam secangkir kopi.

    BalasHapus
  51. Asyik nih tulisannya. Mengalir. Keren. Meski saya jarang ngopi, tapi saya menyukai kopi. Ada sensasi tersendiri di setiap seruputnya. :)

    BalasHapus
  52. Secangkir kopi, memberi berlaksa inspirasi. Oleh karenanya, dunia saya tak bisa lepas dari kopi. Sebab dalam setiap teguk, akan ada goresan cerita yang berbeda.
    Apalagi kopi tubruk. Yang mungkin hanya bisa ditemui di cafe2 tertentu saja. Atau malah hanya bisa ditemui di warkop sederhana.

    Salam
    @nuzululpunya

    BalasHapus
  53. waah keren tulisannya. saya ijin share link ya kak

    BalasHapus
  54. Kunbal..

    Stuju ndak pake lama di bagian, 'Cintailah pecinta kopi, karena mereka cara terbaik menikmati pahit'. Dus, pahit sempurna penjala luka.

    BalasHapus
  55. ini buat lomba ya? wah...bagus kata2nya.

    BalasHapus
  56. Selalu suka dengan gaya bahasanya kaktiw.

    Aku berimajinasi ini kejadian nyata yang kau alami kak. Ya tokohnya kamu. Jadi buyar karena tetiba kenalan dengan Artha namanya Senandung. Hoho
    Sukses lombanyaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Artha dan Senandung itu nama yang kupilih buat jadi nama calon anakku nanti wkwkwk suka banget pakai nama-nama itu jadi nama tokoh di dalam cerpenku hahaha

      Hapus
  57. Kopi selalu punya cerita ya mba. Kopi juga punya ikatan kuat dengan masyarakat kita. Kopi juga yang melahirkan banyak inpirasi.

    Seperti narasi Mba Tiwi yang mengalir penuh intuisi. Suka.

    Jadi penasaran dengan "kamuku." Hihi.. terus yang kamumu nya ada ga..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih ya, Mbak Ira hehehe
      Kamuku masih rahasia ehehehe

      Hapus
  58. suka sama yang nulis, cantik...

    eh nambahkan share kayak di samping blogmu itu gimana ya?

    BalasHapus
  59. Dari semalam aku cari kolom 'Ayo ke Pelaminan' kok nggak ada, ya? Cuma ada kolom komen. :|
    Btw, ada beberapa kalimat yang dipaksakan demi senada rima. Aku bacanya kurang asyik sih. Entah karena aku punya masalah personal dengan penulisan semacam ini atau bagaimana. Tapi, secara tak sadar aku mengikuti arus ceritamu. Terima kasih, Nengtiw, sudah diberi kesempatan berkomentar. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kakak yang satu ini nggombal terus hahaha
      Iya sih, Kak, kujuga ngerasa. Makasih koreksinya! :D

      Hapus
    2. Kukumpulin orang yang minta lanjut dulu baru nanti lanjut kalau mood ehehehe

      Hapus
  60. keren mba, saya suka suka quote dan filosofi kopinya... sukses untuk lombanya yah

    BalasHapus
  61. kosakata yang satu ini agak dalam, tapi dibalut dengan sedikit ngenes tapi cukup relevan dengan kehidupan remaja single jaman sekaran --> "bercinta dengan sepi" :")

    BalasHapus
  62. Kadang-kadang suka iri sama mereka yang suka kopi. Gue gak suka kopi :'( Kenapa ya Allah....kenapa oh kenapaaa...
    kayaknya kalo liat orang minum kopi tuh nikmat bangeeet....
    Tapi pas gue yng minum, lidah gue gak demen aja rasanya.
    :-/

    BalasHapus
  63. Keren teh tiwi saya baru menyimak karya sebagus ini bukannya terlalu berlebihan tapi memang betul mbak dan saya jadi termotivasi nih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah terima kasih banyak, Kang. Mari ikut #memfiksikan :3

      Hapus
  64. mbak tiwi aku kagum banget sama semua tulisan mbak tiwi. keren tulisannya...sukses terus ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Allahu akbar! Terima kasih banyak, Mbak. Aamiin, yaa Allah. Semoga Mbak juga sukses selalu, ya. :3

      Hapus
  65. Saya kemana-mana sendiri, termasuk nongkrong untuk ngopi. Harapannya sih dapat kenalan yang asik. Tapi sepertinya gadget merusak keromantisan itu. Sekarang, meski banyak orang ke cafe sendirian tapi sibuk sama gadget-nya. Mau ngajak kenalan jadi ragu-ragu. Hahahaha

    BalasHapus
  66. Wah kak keren banget.. Ganyangka ternyata kakak ikutan lomba itu. Waktu itu mau ikut tp gada ide jadi males wkwk semangat ya kak semoga sukses^^

    BalasHapus
  67. Bikin ngilerrrrrrr ~

    BalasHapus
  68. Gaya penulisannya puitis sangat.

    BalasHapus
  69. Ah telat baca :) "Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit." nice quote

    BalasHapus

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer