Suatu malam, masuk sebuah pesan WhatsApp dari seorang teman, Nur Aini Amalia. Iya, Lia memang salah satu teman paling bawel yang saya punya. Sejak dulu, dia memiliki hobi yang unik: meminta saya untuk tidur. Sebab, ya, bisa dibilang jam tidur saya memang sangat kacau. Seringkali tidur pagi dan bangun pagi juga. Akibatnya, jangan heran jika melihat kantung mata saya yang berkantung pula.
Walaupun sempat menghilang, tapi kebiasaan itu kembali terulang. Mata yang sulit terpejam mulai datang. Sayang, saya tidak memiliki kuasa untuk menghalang. Jadilah saya terjaga hingga gelap berganti terang. Ketiadaan kegiatan yang saya lakukan membuat kebosanan menyerang. Berbekal telepon pintar dengan kuota malam dan ibu jari yang masih lincah bergoyang, timbullah keinginan untuk menyegarkan pikiran.
YouTube, aplikasi dengan ikon berwarna merah dan tombol play di tengahnya itu ternyata cukup menarik perhatian.
Kali itu, ibu jari saya memilih untuk masuk ke channel seorang Youtuber yang memiliki tagline “stay classy”. Yap, Agung Hapsah. Pemuda delapan belas tahun ini mudah sekali membuat saya jatuh hati dengan konten yang dibuatnya. Baik dari pesan yang disampaikan, maupun visual yang disuguhkan. Ada satu video yang menarik perhatian saya dengan judul “Daily Vlog? – VLOG #16”. Bisa dibilang, Agung merupakan salah satu Youtuber yang jarang mengunggah video. Lalu, dia akan membuat daily vlog?
“Aku mau coba ini karena aku mau coba hal yang sebenarnya aku tidak suka. Beberapa hari lalu, aku ketemu Mr. Deddy Corbuzier. Dan dia berbicara ke aku tentang mengapa dia berhenti melakukan sulap, mengapa dia mulai melakukan hal-hal yang aneh kayak host TV talkshow. Pokoknya, dia memutuskan untuk melakukan hal-hal yang dia tidak suka sampai dia hebat dalam hal tersebut. Jadi, aku akan melakukan hal yang sama. Aku akan melakukan sesuatu yang aku tidak suka yaitu upload setiap hari selama satu minggu.”
Quality over quantity, itulah prinsip yang dipegang oleh seorang Agung Hapsah sebelumnya. Namun di video itu, dia ingin mencoba hal yang baru, yaitu quantity over quality. Entah mengapa saya senyum-senyum sendiri saat saya mendengar statement yang berkaitan dengan mencoba hal yang tidak disukai sampai menjadi hebat di hal tersebut. Seperti mengingatkan saya pada sesuatu. Flashback. Kilas balik. Atau apalah namanya, terserah.
Menjadi berbeda dari kebanyakan itu menyenangkan.
Awal saya begitu aktif bercengkrama dengan narablog lain adalah di permulaan 2013. Saya masih menjadi narablog yang hobi curhat di balik sajak-sajak yang katanya pakai bahasa ketinggian. Para narablog yang mengenal saya pada masa itu menyebut kata “sastrawati” saat saya bertanya, “Siapa gue?” pada mereka. Eh, ngomong-ngomong, kangen juga sama teman-teman di masa itu.
Hai. Jika mungkin ada di antara kalian yang membaca tulisan ini, percayalah saya sangat merindukan masa-masa bersama kalian yang minim drama menjijikkan.
Di masa itu, sebagian besar narablog yang saya kenal memiliki kiblat yang itu-itu saja: Raditya Dika, Alitt Susanto, atau Benazio Rizky Putra. Selalu, tiga nama itu disebut saat ditanya perihal narablog idola. Jelas, berjamur sudah tulisan-tulisan personal yang sengaja diambil—atau dipaksakan—kelucuannya dengan maksud menghibur pembaca. Sementara saya, tidak memiliki narablog idola. Saya mengambil jalan saya sendiri dengan tulisan yang katanya berpotensi membuat pembaca bolak-balik buka KBBI.
Dengan perbedaan yang saya suguhkan itu, saya lebih mudah dikenal orang teman-teman narablog lainnya. Dulu, ya. Sekarang mah saya hanya butiran biji wijen yang seringkali berada di antara ada dan tiada. Menjadi berbeda itu menyenangkan. Sangat menyenangkan. Sebagai perempuan berdarah AB sejati, jelas saja saya merasa sudah berada di jalan yang tepat.
Banyaknya teman sesama narablog yang lebih responsif menanggapi masalah ini-itu tidak serta-merta membuat saya turut ke jalan yang mereka pijak. Saya masih asyik dengan curhat berkedok fiksi patah hati dengan bahasa yang tidak umum digunakan. Sebab bagi saya, kekhasan itu perlu untuk dipertahankan. Sampai pada akhirnya, beberapa orang mulai menyebut saya sebagai perempuan idealis.
Gambarnya dari pria humanis kesayangan. |
Apakah saya pantas disebut idealis?
Jika Agung Hapsah punya prinsip quality over quantity, saya pada masa itu berprinsip bahwa saya hanya menulis apa yang ingin saya tuliskan bukan apa yang mau orang lain baca. Padahal, di sisi lain saya ingin apa yang saya tuliskan bisa dibaca dan sampai kepada khalayak. Idealis? Atau egois?
Kemarin, saya sempat berdiskusi dengan Ilham perihal idealisme. Kami sepakat bahwa kata “idealis” adalah semacam gelar yang disematkan oleh orang lainnya terhadap apa yang kita jaga, atau jalan yang kita tempuh—dalam hal ini tulisan. Sekali lagi, idealisme merupakan sesuatu yang ditemukan orang lain dalam diri kita, bukan sesuatu yang kita buat sendiri. Sebab ukuran berhasil atau tidaknya kita menjaga langkah tetap stabil di jalan yang sama ada pada orang yang mengikuti langkah kita.
Lho, kan kamu gak ngikutin yang lain, Tiw. Kamu idealis, dong?
Saya sempat berpikir demikian. Namun, mungkin, tidak lagi. Dulu, saya tetap berada di ranah fiksi dengan bahasa yang aneh-aneh sesungguhnya karena saya sangat kesulitan untuk menulis tulisan non-fiksi. Iya, saya sangat kesulitan. Karena sejak awal mencintai dunia tulis menulis di bangku sekolah dasar dulu, saya terus-menerus menulis fiksi. Hanya fiksi. Itu-itu saja.
Percaya atau tidak, saya sempat ditegur oleh Kakak Promotor sebuah komunitas sekolah alternatif yang saya ikuti karena kefiksian saya begitu lekat dengan tulisan yang saya hasilkan. Posisi saya jurnalis relawan, lho. Dan hasil tulisan saya kefiksi-fiksian. Ya gimana saya gak kena tegur, kan? Kak Jona—Kakak Promotor—bilang bahwa saya harus mencoba untuk menuliskan hal yang lain. Saya harus keluar dari zona nyaman saya untuk belajar lebih banyak lagi.
Jadi kesimpulan dari pengalaman saya, mungkin saya pernah menganggap diri saya sebagai orang yang idealis sebagai alasan di balik malasnya saya belajar hal yang lain. Idealisme merupakan pemikiran kuat yang didapat dari belajar banyak, body of knowledge itu benar-benar ada di dalamnya dan berdiri dengan kokoh. Maka bisa dibedakan antara orang idealis dengan orang yang ndablek.
Teguran demi teguran.
Teguran pertama yang saya dapat dari Kak Jona membuat saya berusaha keras untuk menulis hal yang lain. Sedikit demi sedikit, saya mulai menulis non-fiksi dan melepaskannya dari jerat fiksi yang saya miliki. Ya, belajar hal baru memang selalu menyenangkan. Ada tantangan yang mesti saya pecahkan. Ada formula yang harus saya dapatkan. Ada keraguan yang wajib saya tenangkan. Dan perlahan, saya mulai mendapatkan apa yang saya inginkan. Berawal dari melakukan hal yang tidak saya suka, menulis non-fiksi, hingga mendatangkan pujian di kolom komentar.
Selesaikah? Jelas tidak. Hidup, bagi saya adalah pelajaran panjang yang hanya akan selesai ketika napas sudah berhenti mengiringi langkah.
Teguran-teguran lain kembali datang ketika saya mulai menerima berbagai iklan untuk masuk ke dalam blog yang saya kelola. Karena sebuah keadaan yang mendesak, butuh uang dan tugas kuliah padat, saya menjadi sangat tidak bijak saat mengunggah tulisan-tulisan yang apa adanya dari mereka tanpa saya perbaiki sebelumnya. Pun, dari yang biasanya saya hanya mengunggah empat tulisan dalam satu bulan, tetiba bisa jadi belasan.
Telepon pintar saya menjadi ramai. Pesan masuk dari berbagai aplikasi berkirim pesan hanya untuk bertanya, “Kok blog kamu jadi gini, sih, Tiw?”
Saya kecewa, pada diri saya sendiri. Saya sempat vakum menulis hingga kurang lebih dua bulan karena banyaknya teguran yang saya dapat dari orang-orang yang biasa membaca tulisan saya. Di jeda waktu vakum itu tentu saya tidak diam. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, kekhasan itu perlu untuk dipertahankan. Maka, saya mencoba untuk mengunci kekhasan itu dengan tetap mengumpukan pundi-pundi rupiah.
Jadilah saya yang sekarang. Saya yang tidak menyukai menulis iklan-iklan, tetapi sebagian orang bisa tetap menikmati iklan yang saya suguhkan dengan sentuhan-sentuhan lain yang mungkin tidak banyak dilakukan orang. Terima kasih untuk segala teguran, komentar, saran, kritik, dan semacamnya. Kalian semua membuat saya banyak sekali belajar. Silakan, lho, kalau mau menambahkan apa yang perlu saya perbaiki di kolom komentar.
Gambar dari pria humanis kesayangan. |
Saya tidak berusaha menjadi seorang idealis lagi, saya hanya ingin lebih banyak belajar dan menemukan apa-apa saja yang bisa saya lakukan. Tidak membatasi diri dengan konten yang itu-itu saja.
Merayakan konten.
Back to Agung Hapsah’s video. Poin penting lainnya yang saya dapat dari video tersebut adalah sebuah pernyataan yang sedikit banyak ada hubungannya dengan apa yang saya tuliskan sebelumnya tentang saling follow di media sosial. Perihal konten.
Di dalam videonya, Agung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk perihal dirinya. Dan salah satu yang ditanyakan adalah, “Gung, kalau subscribers lo satu juta, lo mau ngapain?”
“Nothing. Seratus ribu aku ngapain? Nothing. Setengah juta aku ngapain? Nothing. Satu juta aku ngapain? Nothing. Subscribers itu cuma angka. Angka itu jangan dirayakan. yang dirayakan itu konten.”
Dalam dunia blog atau media sosial, banyak orang yang berlomba-lomba mendapatkan banyak viewers atau banyak pengikut. Namun sayangnya, konten yang disajikan tidak berkembang. Pengikutnya banyak, views-nya banyak. Iya, karena mereka melakukan hal yang sama kepada orang yang menginginkan hal yang sama. Orang-orang yang terlalu peduli dengan angka dan mengenyampingkan konten yang dibuatnya.
Perihal salah dan benar, biar saya lemparkan kepada kalian saja. Mungkin bisa jadi bahan perenungan.
Untuk setelahnya, saya harap saya—dan kita tentunya—bisa merayakan pesta atas konten-konten yang beragam dan menakjubkan.
Tabik!
Pertiwi