Original illustration by Henn Kim |
“Dari SD maunya sastra Indonesia,
emang kenapa?”
“Mau jadi apaan lo kuliah jurusan
kayak gitu?”
“Penulis.”
Beradu argumen perihal
kuliah-mau-jurusan-apa sudah menjadi hal lumrah untuk siswa kinyis-kinyis yang berada di ujung masa
mengenakan seragam putih-abunya. Banyak yang bingung, tak sedikit yang mantap, dan
ada pula yang ditentang. Sepertiku, dahulu. Hingga kini, saat menyandang status
sebagai mahasiswa akhir jurusan sastra Indonesia, masih ada pula yang mempertanyakan
hal macam demikian.
Sedih? Iya, sih, saat suatu
ketika mendengar jokes dari sekelompok
anak teknik yang berisi:
“Sastra Indonesia? Emangnya belum
lancar baca sama nulis? Hahaha!”
Miris.
Padahal, berada di dunia sastra
membuatku lebih paham perihal seluk-beluk kehidupan. Kok bisa? Ya, dari
banyaknya kajian yang kami lakukan. Puisi doang? Cerpen doang? Novel doang? Mungkin
tampaknya iya, tapi tidak jika ditelusuri lebih dalam. Banyak cabang keilmuan
yang dipelajari dalam kajian kesusastraan. Filsafat, psikologi, kajian budaya,
dan masih banyak lagi. Kalau dijabarkan, kubisa ngoceh ngalor-ngidul gak berhenti-berhenti.
Fakultas Bahasa dan Seni.
Aku berada di sebuah fakultas
dengan nama yang sangat cantik, Fakultas Bahasa dan Seni. Kubilang cantik
karena dua unsur yang meramaikan kehidupanku sejak dulu kala ada di situ,
bahasa dan seni. Di kampus hijau itulah aku mulai menyadari bahwa kecintaanku
sebenarnya bukan sekadar pada bidang sastra, tapi lebih kepada dunia seni yang
lebih luas.
Sastra itu seni, lho. Seni merangkai
kata. Banyak yang salah tafsir mengira kumau jadi guru bahasa Indonesia
soalnya. Enggak. Gak mau. Maunya jadi editor, biar kejam-kejam ngangenin gitu.
Di dunia kampus, kulebih bisa
mendalami aku dan duniaku. Ya, aku bukan mahasiswa yang aktif di kampus
sebetulnya. Apalagi aktif ikut demo sampai melakukan animal abuse, sangat tidak berperikehewanan. Dan, memalukan. Belum lagi
bikin macet jalan. Jakarta sudah ngetop sekali macetnya tanpa ada demo,
mahasiswa mestinya berpikir untuk menanggulangi itu. Bukan malah menambah
masalah yang sudah ada menjadi lebih besar. Di mana “maha”-mu, wahai mahasiswa?
Di dunia seni,
pemberontakan-pemberontakan untuk segala lini banyak sekali dilakukan. Dan yang
pasti, caranya jauh lebih elegan daripada turun ke jalan tanpa benar-benar
paham apa yang sedang mereka lakukan. Kusangat jatuh hati pada mural-mural yang
dibuat anak-anak seni rupa di kampusku. Satir yang sangat bisa untuk dinikmati.
Dengan kenikmatan itulah banyak kesadaran yang mulai bermunculan. Kesadaran-kesadaran
itulah yang nantinya menjadi modal besar dalam melawan.
“There is ART in your heART.”
Salah satu ciri anak sastra
Indonesia yang nyeleneh itu tiap hari
ke kampus bukannya bawa KBBI malah bawa sketch
book. Dari kecil memang sudah suka gambar, sih, tapi baru mulai melirik realism sketch mulai 2013. Semakin ke
sini semakin menjadi-jadi, apalagi setelah semakin dekat dengan CorelDRAW. Mulai dari line art, vector art, hope style,
akan menyusul pop art dan WPAP. Satu yang pernah kucoba tapi belum
kunjung berhasil, menggambar tiga dimensi.
Hi, my biggest enemy! |
Sejak zaman masih rajin bikin realism sketch, ke rangkaian gambar
digital, sampai sekarang balik manual bikin handlettering,
belum juga berhasil. Entah berapa video Youtube
yang sudah kutonton sebagai panduan. Sulit, memang. Sebab itu kuselalu
terkesima melihat banyaknya teman yang mengunggah foto mereka yang berkunjung
ke museum tiga dimensi.
Dari kekaguman dan rasa
penasaran, akhirnya Semesta berbaik hati memberikan kesempatan kepadaku untuk
berkunjung ke Alive Museum dan Alive Star yang ada di Ancol Beach City Mall,
Jakarta. Dengan memasang label sebagai wahana liburan keluarga, Alive Museum
dan Alive Star menyajikan pengalaman yang menarik dalam menikmati gambar-gambar
tiga dimensi dan pertemuan ala-ala dengan tokoh idola.
Pertama kali menginjakkan kaki di
wilayah Alive Museum dan Alive Star, aku langsung mencuri-curi pandang pada
lukisan baby Van Gogh yang ada di
dinding. Konyol. Biar yang lain berfoto dengan Elsa (Frozen) dan Putri Salju
beserta para kurcacinya, lukisan baby
Van Gogh lebih tampak artsy buatku.
Menggelitik sekali melihat penampakkan pelukis The Starry Night dalam bentuk mungil dengan pose yang sungguh tabok-able.
Opa, mau disisirin, gak? |
Bukan hanya baby Van Gogh, patung lilin penemu teori relativitas pun sudah siap
menyambut sebelum masuk ke Alive Museum dan Alive Star. Sebagai seorang pengidap
disleksia yang dulunya dipandang sebelah mata, Albert Einstein mampu
membuktikan kepada dunia bahwa dirinya berbeda dan luar biasa. Budaya popular kini
mengenal namanya bersinonim dengan kejeniusan. Sungguh sesuatu yang sangat
mengagumkan! Ada satu quote-nya yang
paling kusuka, yaitu:
“Imajinasi lebih berharga
daripada ilmu pengetahuan. Logika akan membawa Anda dari A ke B, imajinasi akan
membawa Anda ke mana-mana.” – Albert Einstein.
And welcome to the imagination world!
Sebelum masuk ke berbagai macam
zona di dalam Alive Museum, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar hasil
foto yang kita ambil nanti bisa maksimal. Pertama, mengambil foto dari titik
yang disediakan. Kedua, memastikan jarak antara kamera dan lukisan. Dan yang
ketiga, jangan sampai kameranya goyang supaya hasilnya apik dipandang. Ya, PR
untuk mengambil gambar ilusi tiga dimensi memang demikian adanya. Susah-susah
gampang. Kalau perkiraannya salah, jadi gak tampak tiga dimensinya.
Di dalam Alive Museum, kita dapat
merasakan sensasi tersendiri melalui tampilan ilusi optik dan media seni yang
dibangun dengan ide cemerlang dengan menggabungkan berbagai kegiatan interaksi
yang mampu membuat kita merasakan langsung pengalaman spesial yang unik. Sebagai
bagian dari kaum milenial kekinian, museum ini jelas tidak boleh dilewatkan. Selain
bisa menikmati kesenian dengan cara yang berbeda… ini Instagramable banget! Hasrat OOTD-ku membuncah pecah di sana.
Mau OOTD tapi kakiku lepas :( |
Mau OOTD tapi kelibet-libet, gimana ini? :( |
Nah, kalau di Alive Star, kita
bisa menemui tokoh-tokoh dunia. Aku, sih, tetap paling histeris saat ketemu figur Batman di Alive Star. Teriak dan jingkrak seketika. Kuingin punya senter
pengecilnya Doraemon, kukecilkan Batman yang gagah itu, lalu kumasukkan ke
dalam tas tanpa wajah berdosa, kubawa pulang, dan aku bahagia. Dongeng singkat
yang aduhai, bukan?
Abang ke mana aja? Kangen tau! Pulang, yuk. |
Serius, ah.
Sempat pegang-pegang bewok
tipisnya Christiano Ronaldo, sih, tapi gak begitu berkesan. Ya, karena kubukan
pengagumnya juga kali, ya. Jadi, biasa aja. Lebih masuk ke dalam… Pablo Picasso
menyambut lengkap dengan atribut lukisnya. Pelukis beraliran kubisme ini sudah
sangat menarik perhatianku sejak zaman putih-biru. Selain Affandi dan Van Gogh,
Picasso begitu pandai merenggut hatiku dengan karya-karyanya.
IDOLAAAAA! :'D |
Apalah daya seorang pencinta seni
jika disuguhkan karya-karya yang apik? Meleleh.
Ada banyak tokoh yang dapat kita
jumpai di dalam Alive Star. Kalau mau tau siapa aja tokoh yang ada di sana,
kamu bisa datang sendiri dan rasakan sensasi bertemu idolamu. Peluklah sesuka
hati sepertiku memeluk Batman, genggamlah tangannya sepertiku menggenggam Steve
Jobs, duduklah berdampingan dengannya sepertiku dan Abraham Lincoln. Bahagia
mana lagi yang akan kamu dustakan?
Sepatu samaan aja aku mau, apalagi frekuensi hati? |
Untuk mengunjungi Alive Museum
dan Alive Star, kamu hanya cukup merogoh kocek masing-masing Rp100.000 saja. Atau,
untuk tiket terusannya bisa kamu dapatkan dengan harga Rp150.000! Untuk
keseruan yang hadir di dalamnya, kurasa angka tersebut worth kok.
Oh iya, aku ke sana gak sendiri.
Iya LDR tapi gak segitu kesepiannya, kok. Yang jomblo aja gak kesepian. Ya gak, Nur? Egimana? Pada kesempatan
tersebut aku mengunjungi Alive Museum dan Alive Star bersama beberapa bloger
lainnya. Nah, kamu bisa ajak keluarga, teman, sahabat, pacar, gebetan, mantan,
atau sahabatnya pacar kamu buat main-main di zona tiga dimensi dan sensasi
ketemu idola sambil peluk-peluk manja.
Photo by: suaminya Mbak Mira |
Oh iya, kumau kasih tau beberapa
hal yang paling kamu butuhkan saat bekunjung ke Alive Museum dan Alive Star,
antara lain:
- Kamera. Kamu harus bawa kamera, minimal kamera telepon genggam dengan kualitas yang bagus. Karena, sayang sekali kalau main ke Alive Museum dan Alive Star tapi gak diabadikan. Sungguh janganlah menjadi kaum yang merugi di kemudian hari.
- Memori yang cukup luang. Kubisa pastikan kamu akan ambil lebih dari sepuluh foto di dalam Alive Museum dan Alive Star. Atau mungkin lebih dari dua puluh? Atau tiga puluh? Atau lima puluh? Aku, sih, tujuh puluhan aja kok.
- Ekspresi. Yak, untuk menunjang fasilitas gambar tiga dimensi dan patung para tokoh yang tersedia, ada baiknya kalau kita berbekal ekspresi yang cukup beragam agar hasil foto bisa lebih hidup dan membuat iri teman-teman.
- Kuota. Untuk mengunggah hasil fotonya.
Tabik!
Pertiwi
Photo doc. by @ranurri
Makasih, lho, mau handphone-nya penuh fotoku. Mwah!