PINK: Gaung yang Termarjinalkan | Your Favorite Devil's Advocate
review

PINK: Gaung yang Termarjinalkan

Jumat, Desember 09, 2016

PINK: Gaung yang Termarjinalkan

Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini
Menanti seperti pelangi setia menunggu hujan reda
Aku selalu suka sehabis hujan hujan di bulan Desember
di bulan Desember

(Efek Rumah Kaca – Desember)


Hujan. Katanya, setiap orang punya kesan tersendiri mengenai hujan. Baik suka maupun duka, hujan sedemikian bermakna. Dan hujan kali itu membuat mata saya tertumbuk tak henti-hentinya pada kaca pintu commuter line yang begitu padat.

Di sana hadir garis-garis vertikal dari bulir hujan yang memainkan kesenduan di hati saya. Dalam kesesakan begitu banyak orang yang masing-masing sibuk dengan urusannya, saya lebih dan lebih lagi merasa terkungkung karenanya. Bagaimana tidak? Peluang pergerakan yang begitu sempit bahkan tidak membiarkan saya untuk dapat meraih pegangan tangan yang tepat berada di atas kepala.

Di minggu sebelumnya, seseorang begitu sukses membuat saya iri habis-habisan karena berhasil bertemu dengan penulis favorit saya, Djenar Maesa Ayu, dalam event nonton bareng film Nay di JAFF. Namun ternyata, Semesta masih berbaik hati kepada saya dan memberikan saya wadah lain untuk menumpahkan keirian saya dengan datangnya informasi event yang serupa tapi tak sama.

PINK: Gaung yang Termarjinalkan

PINK?

Sebelumnya, saya belum pernah sama sekali mendengar judul film tersebut. Apalagi, saya bukan termasuk perempuan pencinta warna merah jambu. Jadi, apa yang membuat saya tertarik dan merasa harus menghadiri acara tersebut? Yap!

DISKUSI RAPE CULTURE DAN WOMEN’S SEXUAL CONSENT ISSUE

Masalah krusial yang tak kunjung mendapatkan tempat di hati masyarakat dominan. Terlalu banyak pertanyaan, atau bahkan kritik dan pengajuan keberatan, di balik hal-hal yang selalu dianggap biasa olehnya. Namun, kuasa tetap dipegang oleh pengabaian. Apalagi kalau bukan memprihatinkan?

Peradaban semu bersembunyi di balik suara-suara lantang mengenai emansipasi yang nyatanya masih merupakan sebuah konstruksi dari kaum patriarki. Alhasil? Kesetaraan gender masih begitu jauh dari kata adil. Sedih? Sudah pasti.

Lebih dari seratus orang dari kalangan mahasiswa, aktivis perempuan, aktivis kemanusiaan, akademisi, seniman, dan masih banyak lagi hadir di Auditorium Gedung Komunikasi, FISIP, Universitas Indonesia. Lalu saya? Saya hanyalah golongan lainnya yang merasa resah dengan adab yang tak teradab. Merasa harus berada di antaranya. Merasa bertanggungjawab untuk kemudian menyuarakan cacatnya konstruksi sosial kita.

Oke, sebelumnya: apa yang selalu kita bayangkan dari film India? Taman bunga? Pilar-pilar? Nyanyian? Tarian? Jika bayangan kita mengenai film India melulu berpatok pada Kuch Kuch Hota Hai atau Kabhi Kushi Kabhi Gham, maka PINK menyajikan hal yang benar-benar lain. Hal-hal yang seringkali dianggap wajib ada di dalam film India tetiba lenyap. Kecuali inspektur Vijay. Yha. Eksistensi yang begitu luar biasa.
PINK: Gaung yang Termarjinalkan

PINK: Gaung yang Termarjinalkan

Penyajian film India yang pada umumnya terkesan colorful ditebas habis dengan hadirnya PINK. Suasana yang “dark” begitu terasa di sini. Apalagi dengan pengambilan latar tempat yang dominan di ruang pengadilan membuat ketegangan-ketegangan muncul tanpa henti. Sejujurnya, adegan-adegan di sini membuat saya cukup pedih. Sebab, bukanlah suatu hal yang mudah, pasti.

Fitnah yang dilakukan oleh Rajveer dkk setelah melakukan serangkaian pelecehan seksual kepada Minal dkk membuat para perempuan ini benar-benar berada di posisi yang tersudut. Kekuasaan dari kaum laki-laki yang telah dikonstruksi oleh masyarakat dan keberadaan norma yang berlaku di dalamnya membuat mereka sulit untuk bergerak. Kalau kata Raisa, serba salah.

Diam, jelas bukan solusi yang tepat. Namun berbicara, di depan puluhan pasang mata di pengadilan, sama dengan membenturkan diri pada begitu banyak ketakutan. Bagaimana tidak? Sebab mereka tidak memberi ruang kepada para perempuan tersebut untuk dipercaya. Miris, ya? Praduga tak bersalah seakan lenyap entah ke mana. Intimidasi terus menghunjam tanpa lelah.

Perempuan butuh ruang.

Pada kehidupan yang sebenarnya, seringkali kita menemukan ketidakpercayaan yang dilancarkan secara halus oleh pihak-pihak tertentu kepada perempuan karena adanya asumsi bahwa semuanya baik-baik saja. Padahal? Sama sekali tidak. Bahkan di dalam sebuah diskusi mengenai pelecehan seksual terhadap perempuan pun tak jarang kita dengar kalimat, “Saya yakin pasti yang ada di sini gak pernah mengalami hal demikian.” EALAH TELEK PITIQ! Kalimat tersebut secara tidak langsung sudah membungkam kaum perempuan untuk mengungkapkan fakta yang ada. Padahal, pelecehan terhadap perempuan banyak sekali terjadi di mana-mana. Bahkan yang dibilang sekadar catcall pun merupakan pelecehan secara verbal terhadap perempuan.

Perempuan dan ruang pribadinya diungkapkan secara apik oleh Virginia Woolf di dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own. Secara tradisional, perempuan adalah sosok yang tidak independen dengan menjadi milik keluarga atau kelompok, bukan milik dirinya sendiri. Di sinilah sebetulnya ruang pribadi untuk perempuan dibutuhkan, sebagai suatu realitas maupun perlambang/simbol. Perempuan butuh mengundurkan diri dari “dunia” selama beberapa saat. Untuk mengembangkan dirinya. Untuk lebih mencintai dirinya. Namun sayang, terlalu banyak dari mereka yang tidak mengizinkan perempuan mendapatkan hal demikian karena ketidakpercayaannya kepada perempuan.

PINK: Gaung yang Termarjinalkan
Jangan hilang kesadaran seperti ini.

Laki-laki baru.

Sosok laki-laki baru di dalam film PINK ini bisa kita saksikan di dalam tokoh Deepak Sehgal yang diperankan oleh Amitabh Bachchan. Aktor senior yang pamornya sudah tak perlu dipertanyakan lagi ini menjadi satu sosok yang paling memukau bagi saya. Pensiunan pengacara yang mengidap bipolar disorder ini menjadi satu-satunya saksi yang melihat bagaimana Rajveer dkk menculik Minal setelah Minal melakukan pemberontakan dari pelecehan yang dilakukan Rajveer di sebuah pesta. Namun, di sinilah letak kekecewaan saya. Hal yang bagi saya merupakan hal penting, penculikan Minal dan pelecehan yang terjadi di dalam mobil, tidak dibahas sama sekali di pengadilan.

Kecewa? Sempat, sih. Apalagi dengan cara Sehgal yang akhirnya memutuskan untuk kembali ke dunianya dan menjadi pembela Minal dkk. Bikin gemash! Pokoknya geregetan. Saat di mana pengacara kubu lawan dengan gencar mengintimidasi kliennya dengan pertanyaan-pertanyaan yang apalah-apalah, Sehgal tetap kalem tanpa perlawanan. Kliennya jelas tampak kesal.

Satu-satunya orang yang tampak jelas berada di pihak perempuan untuk membela mereka di tengah kungkungan keadaan yang begitu pelik tersebut mengungkapkan satu argumen yang sukses membuat mata saya berkaca-kaca:

Tidak artinya tidak. Tidak bukan sekadar kata, ia merupakan sebuah kalimat lengkap yang tidak membutuhkan kalimat lebih lanjut. Para lelaki harus mengerti, siapa pun perempuan yang mengatakannya, apakah perempuan itu seorang kenalan, teman, kekasih, pekerja seks, atau bahkan istri sendiri, tidak berarti tidak. Ketika seorang perempuan mengatakannya, maka kita harus menghentikan perbuatan kita. – Deepak Sehgal.

Sosok laki-laki baru yang lain muncul di hadapan saya. Walaupun bukan dalam wujud nyata, saya merasa terenyuh dengan pembelaannya. Selama hidup saya, saya baru mengenal dua orang laki-laki baru yang benar-benar luar biasa, dosen pembimbing dan kekasih saya. Saya begitu bangga diberikan kesempatan untuk mengenal keduanya. Apalagi, jika jumlah laki-laki baru di lingkaran kehidupan saya dapat kian bertambah.

Frasa laki-laki baru yang sedari tadi saya sebutkan merujuk pada satu kelompok yang dianggap selalu diuntungkan dalam budaya patriarki, yaitu laki-laki. Namun laki-laki baru ini memiliki kesadaran yang lain yang muncul dari refleksi bahwa budaya patriarki membawa dampak negatif bagi laki-laki sendiri. Konstruksi kelelakian, atau yang sering dikenal dengan maskulinitas, yang diandaikan oleh budaya patriarki ternyata melahirkan budaya hirarki di kalangan laki-laki sendiri. Dan pada akhirnya, laki-laki menyadari bahwa hirarki itu menimbulkan ketidakadilan dan penindasan laki-laki atas laki-laki lainnya.

“Laki-laki tidak bisa menjadi bagian dari solusi jika laki-laki belum menyadari bahwa laki-laki adalah bagian dari persoalan.” – Nur Iman Subono, pengajar Ilmu Politik dan Kajian Gender, Universitas Indonesia. 
PINK: Gaung yang Termarjinalkan
Sumber gambar: lupa, pokoknya nyari di Google.

Cewek selalu benar.

Seringkali laki-laki dari golongan dominan menganggap bahwa mereka telah memberi ruang kepada perempuan untuk “dipercaya” dengan melontarkan kalimat tersebut. Padahal, kepercayaan yang diberikan hanyalah sekadar kesemuan yang diolah sedemikian rupa. Mengapa? Karena mereka secara langsung maupun tidak langsung tetap menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Posisi di mana mereka tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri sehingga butuh kalimat tersebut untuk menopang kebangkitannya.

Perihnya, bukan hanya laki-laki dominan yang seringkali mengeluarkan kalimat tersebut. Namun juga mereka dari kelompok perempuan yang masih dikuasai jajahan patriarki. Dengan bangga mereka mengatakan, “Cewek selalu benar!” dan kemudian merasa menang. Kemenangan atas apa? Konstruksi sosial yang terus-menerus membuahkan kebodohan yang timpang?

“Perempuan tidak boleh membiarkan dirinya diitimidasi oleh masa lalu karena dalam bidang ini, sebagaimana di semua bidang lain, masa lalu tak pernah dapat berdusta pada masa depan.” –  Simone de Beauvoir, dalam esai berjudul Perempuan dan Kreativitas.

Dari film PINK ini kita dapat sama-sama mempelajari bahwa bukan hanya pihak perempuan yang harus disadarkan untuk melakukan self-defense, tetapi juga pihak laki-laki yang harus lebih menghargai perihal kata “tidak” yang yang dilontarkan oleh perempuan. Sejatinya perihal ini akan tampak begitu sederhana. Namun dalam praktiknya? Apa kegetiran dari sebuah senyum masih bisa menjadi jawaban?

Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka

Seperti apa yang dilantunkan oleh Cholil yang melulu saya dengarkan, ada saat di mana keadaan yang menyesakkan itu dapat pulih kembali. Tentunya tidak secara simsalabim, maka itu kesadaran kita untuk mengubah dan berontak dari ketidakadilan akan sangat diperlukan. Bukan hanya untuk perempuan, tapi laki-laki juga termasuk dalam hitungan.

Laki-laki dan perempuan. Berjalan bersama-sama dan menghirup udara sampai embus napas terasa jauh lebih lega. Seperti yang saya rasakan sekarang. Mungkin, saya tidak mendapat kesempatan untuk menggerakkan tangan saya dan menggapai pegangan dalam commuter line yang berada tepat di atas kepala karena kesesakan sekeliling saya. Namun saya masih diberi kesempatan untuk merasakan bebasnya menjadi perempuan tanpa kungkungan yang teramat pelik, paling tidak dalam hubungan saya dan kekasih saya saat ini.

Jadi, siapkah kamu menjadi orang-orang baru yang menyadari kesalahan patriarki?

PINK: Gaung yang Termarjinalkan
Sekali-kali majang OOTD di blog, ah. Pake rok, nih, jarang-jarang. Peace, love, and gawl.





Salam sayang,




Pertiwi Yuliana

You Might Also Like

104 komentar

  1. Kalau disandingkan dengan tulisanku, kelihatan ada polanya, ya? Padahal gak sengaja. Hahahaha

    Pembawaan kalem gitu. Mana yang katanya galak? Jauh lebih anarki akulah. :p

    Di samping itu saya setuju sama kamu. Perempuan perlu melek dengan hal-hal demikian. Pada titik itulah saya mulai menperhatikanmu. Hingga sampai saat ini mata saya tak bisa menangkap yang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah mbuh banget kalo dianuinnya sama tulisanmu mah. Mirip njir, kampret hahaha

      Lha ya tulisanku mah kalem, kepribadianku yang sangar. Coba di dunia nyata, galak siapa? Aku~

      Alhamdulillah yah ada yang nebar cinta di kolom komentarku. Bahagia deh. :')

      Hapus
    2. Sempet-sempetnya ngegombal. #SelaluAdaCelah

      Hapus
    3. Baru liat ini dan ngakak mahaha

      Hapus
  2. Aroma feminisme dalam tulisanmu kental sekali.

    Maaf kalau boleh berpendapat. Dalam ajaran agama Islam, feminisme dan kesetaraan gender itu tidak dikenal. Adanya, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya alias adil. Dalam hubungannya antara perempuan dan laki-laki, maka harus diletakkan ditempat yg tepat. Sudah kodratnya laki-laki melindungi wanita. Dan laki-laki yang baik pasti menjaga wanitanya dengan sebaik-baiknya. Bahkan menjadikan seorang wanita sebagai ratu.

    Tapi juga, wanita tidak boleh berlaku sewenang-wenang alias seenaknya dhewe. Tidak sedikit wanita yang jadi korban laki-laki karena si wanitanya sendiri berperilaku atau berpakaian yang "mengundang" laki-laki untuk berlaku tidak sopan. Kalau sudah begitu, introspeksi diri saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya punya argumen lain untuk menjawab ini. Mungkin di post selanjutnya ya.

      Hapus
    2. lho? ini gimana ya tiw heuheuheuuu

      Hapus
    3. Nanti kubahas lagi, Njus, buat jawab yang ini. InsyaAllah. Cari bahan lebih banyak dulu.

      Hapus
  3. Salah satu hal baru yg bisa gue petik adalah...

    Tiwi udah pacaran lagi ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan terlalu sibuk sama personel jeketi makanya biar tau kabar temennya kek apa :(

      Hapus
  4. Satu kata pertama untuk tulisan ini. Setuju.
    Sudah saatnya perempuan sadar dan mulai "menghargai" dirinya sendiri. Btw, itu yg skrinsutan chat rasanya ku ingin gampar cowok yg ngomong begitu. Hhmm

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terus buka mata, supaya masa depan kita selamat. :)
      AYOK GAMPARIN!

      Hapus
  5. Terkadang aku suka kesal dg beberapa cewek yg ingin dispesialkan, tapi tanpa mereka sadari mereka sdg dijajah.
    Btw, aku suka kalimatnya Deepak Seghal tentang kata "tidak".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu kaum-kaum jadi-tuan-putri-lebih-enak, jadi bodo amat walaupun secara konstruksi mereka dijajah. Sedih. :(
      Yap, Sehgal warbiyasak!

      Hapus
  6. Sama kayak di atas. Aku juga suka sama kalimat tentang kata "tidak." Menunjukkan bahwa laki-laki harusnya menghargai keputusan wanita, perkataaan wanita. Dan jangan memaksakan kehendak kepada wanita.

    Nice review, Tiw. Anggapan cewek selalu benar dikupas di sini sementara di blog Ilham bijingek mengupas cowok selalu salah. Btw aku nggak ada kepikiran kalau ini film India. Keren deh! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga tadinya gak percaya ini film India hahaha tapi beneran. Kunonton film India dengan english subtitle. Hamdalah masih paham wkwkwk.

      Argumen Sehgal yang itu memang ngelekit banget, bikin melek banget. Dan cowok-cowok serasa wajib banget nonton ini biar lebih paham.

      Oiya, kalimat "cewek selalu benar" di sini dan "cowok selalu salah" di blog Ilham itu benar-benar gak janjian, lho. Kebetulan banget wkwkwk

      Hapus
  7. sekarang mah cewek yang bilang cwek tu slalu benar dan cowok tuh slalu salah, kebanyakan cewek yg ngomong gini cewek alay. itu menurutku yah.

    kalo cerita yg di screenshoot itu.. kasian abang bengkelnya :'(( gw rasa si istrinya gengsi, padahal yg membuat dia sukses ke puncak itu suaminya. kenapa gk membangun saling mengisi kekurangan n kelibhan masing2 sik. eh. kok gue jadi terbawa suasana ya hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apaan, gue masih nemu kok cowok-cowok yang bilang gitu. Itulah sebabnya gue masukin kalimat itu ke dalam tulisan ini, karena ada cowok-cowok yang menggadang-gadangkan kalimat tersebut.

      Lebih alay mana sama yang upload foto ke IG pake #lfl #fff #u1, Lam? Wakakakak XD

      Ah elo mah fokusnya ke situ bukan ke isi chat orang-orangnya :/

      Hapus
  8. TULISAN YANG BERKELAS DARI SEORANG PERTWI YULIANA!

    Entah kapan saya bisa menulis dengan kutipan2 orang hebat dan dengan kata2 yg ilmiah kyak tulisan diatas. Klo saya baca tulisan ini, saya juga lngsung ingat dngan gaya bahasa ilham, klo dbnding2kan dengan tulisan nya ilham, tulisan kalian agak2 mirip loh.

    Brbicara tntang isu feminisme dan pemikiran2 patriarki, saya masih belum bisa brbicara bnyak. Referensi saya tntang isu patriarki dan emansipasi ini masih sangat dangkal.

    Trakhir, saya mau brtanya, sebenarnya yg dimaksud "TELEK PITIQ!" itu apa? prasaan sya juga mmbacanya di tulisannya ilham yg mngulas tntang film Nay...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mirip ya sama Ilham hahaha
      Untuk bagian masuk-masukin adegan yang ada di filmnya, kubelajar banyak dari Ilham. Selebihnya, pola tulisan kami memang mirip ternyata.

      Kedangkalan yang kamu sebutkan bisa diperalam, Rey. Kami butuh dukungan hacker sepertimu untuk mengubah peradaban. :)

      BHAHAHA TELEK PITIQ ADALAH SEBUAH KENISCAYAAN YANG HARUS KAMU PERCAYA!

      Hapus
  9. Kayanya film PINK ini terinspirasi dari beberapa kasus perkosaan di India yg beberapa waktu lalu gempar ya.

    Kalo nggak salah, kasus-kasus itu sampe sekarang masih menyisakan pilu, karena pelakunya nggak dihukum sesuai.

    Artikelmu ciamik beut, wi. Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyakah? Wah, aku malah gak tau ini. Kuharus cari tau lagi berarti. Terima kasih informasinya, Mas. :)

      Makasih sudah menyempatkan diri membaca ini, Mas. Semoga bermanfaat. :)

      Hapus
  10. Aku suka tulisanmu, cara membahasmu, dan aku ingin nonton itu film PINK!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Tiw. Tonton, wajib! Bagus banget :')

      Hapus
  11. Kadang bingung, cewek minta kesetaraan gender tapi kadang malah jadiin 'kelemahannya' sebagai tameng dan akhirnya bentuk pola pikir bahwa cewek itu mahluk lemah. Misalnya aja cewek nyuruh cowok angkat harga diri bangsa, oke bukan, angkat lemari, lalu sambil dibilangin, "masa cowok kok gak kuat? Kayak cewek aja. Pake rok aja sana!"

    Sedangkan di sisi lain pas cowok yang ngomong gitu ke cowok lainnya malah jadinya "merendahkan" cewek.

    Btw, nice post. Lain kali bahas lebih dalam pandanganmu soal catcall, mumpung lagi hangat isunya, siapatau pejwan. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. NOTED!

      Nanti kucoba bahas ya, Yog. Aku semedi lagi dulu.

      Iya memang gak kupungkiri kok kalau perempuan juga sering menempatkan diri mereka sendiri pada posisi yang lemah. Makanya kuberikan kutipan Simone itu. :(

      Hapus
    2. Iyaaa cowok juga jadi korban stereotipe termasuk yg disampaikan Kak Yoga :'

      Hapus
    3. Siap nanti kucoba ulas, cari bahan dulu yaa :')

      Hapus
    4. Kupikir perempuan yang memang membaca feminis, tidak akan mengatakan hal itu, kok, Yog.
      Bahkan jika memang ada kejadian aku gak kuat ngangkat lemari, setidaknya ada satu perempuan yang gak akan ngatain kayak gitu. Tentu yang kumaksud adalah Tiwi. Bagiku, itu cukup. :))

      Hapus
    5. Kok manis banget sih, Ham? Muahaha

      Hapus
  12. Cara menulis dan menyusun kalimat mengingatkan saya sama seseorang di masa lalu. Ah sudahlah.

    BalasHapus
  13. ulasan mu mbak, apik sangat, daleeeem ajah

    BalasHapus
  14. Post lagiiii yang kayak gini, meski bingung mau jawab apa, seenggaknya ada ilmu feminisme yang baru :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di sini banyak tulisan yang berbau feminis kok, Meg. Muehehe. Dan setelah ini kayaknya akan lebih banyak lagi. Doakan saja banyak bahan ehehe.

      Hapus
  15. Gue setuju tuh sama yang "Katakan tidak!"

    Ya, tidak pada narkoba. Tatoan tapi gak pakai narkobaaaaaahhhh~ *dengan menirukan suara Awkarin mendesah* Wahaha. Apaaan!

    Hal kayak gitu udah jadi kebiasaan sejak lama yang selalu dibawa-bawa sampai saat ini, ya. Apalagi tentang patriarki. Cowok yang harus ngomong duluan, cewek harus nunggu. Halah titit kambing.

    BalasHapus
  16. tiw... bahas kaya gini itu sensitif ya..heuheu
    belum kalo entar komentarnya cewe jadi seenake dewe, heuheu, aku jadi emosi heuheu, aku ga isa komen banyak tiw, aku nangis dulu ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. He em, sensitif banget. Padahal hanya ingin memanusiakan manusia. Ya, itu kayak yang di atas tadi, dianggap melenceng hehehe tapi kurasa, ya, harus tetap digaungkan.

      Yah, Njus, jangan nangis :(

      Hapus
  17. Saya pikir Tiwi itu Rido Arbain versi cewek. Tapi setelah baca ini, fix kamu Ilham Bacha versi cewek.

    BalasHapus
  18. Di luar beberapa adegan film yang diceritakan, lalu kemudian jadi spoiler, tulisan ini ciamik betul.

    Setiap kali membahas penyetaraan, pengakuan, hormat menghormati, bagaimanapun akan selalu menghadirkan bahasan lanjut yang tidak akan pernah selesai. Panjang dan bobot diskusi yang hadir tergantung dari objektivitas pelaku diskusi.

    Tapi untuk saya pribadi, tulisan ini, sudah sangat mewakili apa yang saya pikirkan. Kita berada dalam lajur yang sama.

    Beberapa poin yang menjadi highlight saya.

    1. Pernyataan tidak.
    2. Biadabnya rangkaian percakapan yg disematkan.
    3. Mesranya tiwi-ilham di kolom komentar.

    Wi, serius. Saya ingin bisa menulis seperti ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Review film pertama, belajar dari Ilham hahaha

      Pro dan kontra sepertinya memang akan terus hadir untuk persoalan ini jika pentingnya kesetaraan masih terus dipinggirkan oleh orang-orang yang enggan membuka pikiran dan melihat keadaan sekitar. Tapi, ya, kalau gak disuarakan lewat orang-orang yang sudah sadar, bisa jadi lebih terpuruk nasibnya kan? Hehehe.

      ITU HIGHLIGHT YANG NOMOR TIGA LUAR BIASA, YA HAHAHA

      Menulislah, Om Dhik. Suarakan!

      Hapus
  19. Keren ka bahasannya kalem banget. pengen banget bisa belajar nulis kaya gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. YAH! PENGUATAN TIWI KALEM. MAKASIH YHA HAHAHA!

      Hayuk lebih banyak lagi nulisnya :3

      Hapus
  20. Komen dulu. Baca nanti. Scroolnya jauh amat buat komen. Tumben nulisnya panjang. Good.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena ini bukan iklan, karena ini adalah keresahan yang nyata. Yha.

      Hapus
  21. Mampir kmari ada yang ganti keknya, Iya..headernya

    Hmm pink takkirain ada hubungannya ama cancer, soalnya kan simbol cancer pita pink, ternyata film india tah wuahahhahahah

    Akhir2 ini misuaku hobi tu nonton india, owalah ternyata temanya cukup berat juga yes, tapi kmaren yang ditonton bukan ini sih, klo ga salah yang hampir samaan juga cuma bukan judul ini. Ceritanya cewek sd nyiram air keras ke muka preman yang ngolok2 kakak perempuan yag digodanya dan si preman itu nyirem air keras juga ke kakakknya, trus si anak sd itu dipenjara gitu2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Headernya udah lama kok itu, Mbak muehehe

      Hoalah, kok kasian sih dedek SD-nya? :(

      Hapus
  22. Duh ini yang dibahas kok rasanya berat banget yah? Otak gw serasa gak nyampe. Btw bagus sih ulasannya.

    BalasHapus
  23. Aah Tiw!

    Aku ingin melontarkan makian karena tulisan ini keren. Rangkap saja kali ya, sama tulisan bang Ilham di sini. Kalian berdua *kata kasar*!!!

    Kalau baca ini, jadi inget kasus-kasus yang heboh di tv, dan status-status yang saling menyalahkan antar gender. Teriris.

    Tidak tahu mau komentar apa lagi. Pokoknya *kata kasar*!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak usah disensor-sensor gapapa, Mif, di sini hehehe

      Terima kasih, ayo lebih peduli. :)

      Hapus
  24. wah bakal tayang di ANTV ini hhe wkwkk

    BalasHapus
  25. Sepertinya ini cukup membuktikan bahwa Tiwi seorang aktifis feminisme. Hahaha..

    Pemikiran gua mirip Yoga Tjahya dan Rimutho di atas. Ditunggu tanggapannya, Tiw. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kutau kok kecenderungan lo ke mana muehehe
      Nanti ya gue kumpulin bahan-bahannya dulu. Kalo udah gue kabarin~

      Hapus
  26. Dari hari ke hari tingkat pelecehan seksual makin tinggi yah.. jadi serem mau jalan sendirian ke sana-sini. Gak berani pulang malem. jaman makin gila. bapak kandung aja banyak yang perkosa anaknya sendiri. iblis merajalela. ketawa puas liat kelakuan manusia jaman sekarang. bakalan punya banyak pengikut di neraka nanti...
    ._.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku kok merinding baca ini? Muahaha tapi bener, sih. :(

      Hapus
  27. Aku betah banget bacanya sampe ending mbak Tiwi.
    Ngalir gitu aja ttg rulisan ini.
    Kukira awalnya Pink ini termasuk film Indo, trnyata India yaa.. hhee
    Quuote tentang "tidak" suka pake banget.
    Tema yg diangkat di film ini nggak akan ada abisnya tentunyaa,

    BalasHapus
    Balasan
    1. India dan subtitle bahasa Inggris, mumet tapi seru muahaha. Iya, temanya akan terus jadi perdebatan sepertinya.

      Hapus
  28. Biasanya film India ringan ringan baru kali ini ngambil tema agak berat ya. Dan ulasannya juga menarik. Setuju sekali, bahwa wanita perlu dihargai bukan penghargaan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya lebih berat dari yang biasa beredas ya muehehe. Yap, perempuan itu berharga.

      Hapus
  29. Mbak tulisannya bagus banget, bahkan judulnya pun bikin penasaran jadi inget chat semalam. Musti banyak belajar lagi nih aku. Dan setuju dibagian wanita selalu benar...hihihi...

    BalasHapus
  30. ehmmm .. kayaknya orangnya kalem ... tapi aslinya galak ya ... :)

    BalasHapus
  31. Sepenggal kata "Tidak" yg dijabarkan sempurna dgn makna yg kereen dan banyak org tak ingin memahami karena ego

    BalasHapus
  32. jadi karena aku belom punya, aku harus donlot dulu nih biar bisa merasakan sendiri sensasinya dan makin kekinian

    BalasHapus
  33. Jadi sebenernya..
    ini review film apa bukan?

    Oh oke iya sepertinya
    Tapi jujur kalo ini review film, maka ini pertama kalinya saya baca review dari mata yang berbeda.
    hahahaa
    Bahasanya


    Bikin manggut mnaggut

    Dan saya sempet mikir apasih "kesalahan patriarki"

    Yaampun aku baru tau hal hal beginian :D

    Btw jadi penasaran sama film nya euy

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huehehe beda, yak? Maapin wkwkwk

      Nonton, dong, bagus banget.

      Hapus
  34. Tulisan yang bikin nama Tiwi ada di daftar penulis favoritku. Tulisan yang bikin jd sering ngobrol sama Tiwi.

    Main lagi ke sini setelah sekian lama. Dan aku sudah nonton filmnya, mengoreksi komentarku sebelumnya. Ternyata enggak se-spoiler itu.

    Nonton Pink, gemes sendiri. Kesel, tapi juga cemas, apakah aku, sadae atau tidak, juga pernah jadi 'pelaku'.

    Baca lagi, dua tahun lebih setelahnya, bahkan aku masih belum bisa nulis kaya begini.

    Ada level di kamu yang ndak bisa aku deketin ternyata.

    Btw, kali ini aku baca bahkan sampe ke kolom komentar, ada janji kamu nulis isu lanjutan dr tulisan ini? Sudah kah? Kelewatkah aku?

    BalasHapus
  35. Kalau boleh jujur, aku kurang paham sama tulisan (filsafat) macam punya Tiwi. Aku gak tau harus berdiskusi apa.
    Karena yang aku pahami, wanita adalah mulia di mata Allah.
    Tidak ada kesetaraan gender.

    Karena nyatanya, dalam Islam pun memang Allah sudah menjanjikan wanita boleh masuk pintu syurga dari mana saja, asalkan memenuhi persyaratan.

    Jadi...
    Pada dasarnya, kehidupan bila dikembalikan lagi pada hukum syariat, in syaa Allah.

    BalasHapus
  36. Menurutku kata kesetaraan gender agak kurang pas memang, mungkin lebih tepat "keadilan". Karena kalau setara agak susah nyetaraainnya. Contoh aja yang tertulis di percakapan foto di atas. Peremouan diminta angkat semen satu zak bakalan komplain pasti. Tapi kalau dikelola dengan prinsip keadilan

    BalasHapus
  37. Aku selalu suka tulisan kakak. Apalagi yang ini. You have no idea how i adore this writing actually. Dan bagu mas mas di atas yang bilang kalo Di Islam gak mengenal kesetaraan gender, Yuk diskusi.

    BalasHapus
  38. Tulisannya bagus sekali, dengan pemilihan diksi yang cermat. Tapi sayangnya otakku enggak nyampai mikir rumit begitu. Hiks. Kasihan ya perempuan satu ini. Yang aku tahu, perempuan itu sebenarnya mulia, dan memang dimuliakan dalam agamaku, Islam. Jadi jika kita para perempuan sudah melaksanakan kewajiban-kewajiban dari Tuhan-Nya, maka hak dimuliakan itu insya Allah pasti ada :)

    BalasHapus
  39. Jadi penasaran sama film Pink ini. Aku biasanya nonton film India romance sih. Masalah yang dibahas juga oke, tentang perempuan

    BalasHapus
  40. Belum pernah nonton film Pink. Ya, apalagi film India. Terakhir nonton ya 3 Idiots doang. Cukup suka dengan konten yang dibahas, terkait dengan sexual abuse dan sexual consent. Menarik.

    BalasHapus
  41. Baca artikel ini jadi inget masa kuliah, mesti bedah film dan bikin artikel dari teori kesusasteraan, pilihan diksinya keren pantesan jadi artikel favorit

    BalasHapus
  42. Nah kannn. aku pernah mampir ke tuliannya Mbak Tiwi yang ini, terus lagi setelah itu aku bikin postingan di feed instagram aku heheee
    Terima kasih untuk sharing postingan ini yah Mbak Tiwi ^_^

    BalasHapus
  43. Seingatku kayaknya pernah nonton film Pink ini deh bareng suami, dan emang bagus ya filmnya.
    Kalau aku suka sedih sih lihat budaya patriarki yang udah mengakar di kehidupan masyarakat kita, aku juga merasa beruntung banget punya suami yang menolak budaya patriarki ini dan sangat2 menghargai perempuan padahal di lingkungan keluarga termasuk orang tua ya gitu deh hehe

    BalasHapus
  44. film pink aku blm pernah monton niih. ternyata film india toh.

    tulisan tiwi selalu apik. suka.
    bicara mengenai catcalling hmm aku pernah beberapa kali mengalami sih.
    thankyou buat sharingnya tiw. buatku, semua harus seimbang ya porsi lelaki dan porsi perempuan

    BalasHapus
  45. Ini film india?

    WOW...
    WOW..
    WOW..


    Aku belum pernah nonton ini sih, tp krn baca post ini jd kepengen nonton kan, hehehhe



    Cewe selalu benar?

    Terima kasih telah menjabarkannya :)

    BalasHapus
  46. Tulisan ini mungkin menjadi salah tulisan review film yang mana tidak melulu membahas isi filmnya. Namun jauh lebih mengulik sisi lain, mengulik nilai yang terkandung dalam film. Dan entah kenapa, ketika membaca tulisan ini, mengingatkan pada kuliah filsafat, yang membahas semiotika, semiotika audio visual.

    Dan, dalam tulisan review film juga membahas sisi feminisme, yang mana membalasnya lewat sudut pandang wanita yang kemudian dituangkan secara gamblang pada tulisan yang tentu diselipi dengan kutipan kata kata dari simone de beauvoir.

    Setelah membaca tulisan ini, yang muncul di kepala adalah berbagai macam.pembenaran2 yang mana banyak sekali kasus pelecehan kepada perempuan. Yang terkadang secara tidak disadari itu adalah salah satu bentuk pelecehan. Ya semisal catcalling..

    Selain itu, kutipan dari salah satu bagian dalam film yang membahas TIDAK itu sungguh menyadarkan, bahwa terkadang tidak perlu ada alasan lain untuk melanjutkan kata Tidak. Tidak bisa menjadi tidak, tanpa perlu alasan kenapa menjadi tidak.

    Dan, entah mengapa setelah membaca tulisan ini, sepertinya melihat perpaduan antara diksi, tata bahasa, ulasan film, dan tambahan data dari referensi, yang membuat tulisan begitu memukau.

    Dan sungguh heran, ketika menyadari bahwa tulisan sebagus ini telah saya lewatkan lebih dari dua tahun yang lalu.

    Terima kasih tiwi, telah membuat tulisan yang mencerahkan seperti ini, semoga para lelaki membacanya juga, agar lebih menghormati perempuan .

    BalasHapus
  47. Laki-laki sedalam apa pun dia mempelajari feminisme, nalurinya tetaplah patriarki

    BalasHapus
  48. Cerita filmnya menarik, kalau bahasa kesetaraan gender memang hrus benar2 hati2 sih mnurut aku. Krna akan menyangkut budaya, agama dan juga pandangan yg berbeda disetiap daerah.
    Semoga semakin bnyak org yg sdar pentingny saling mnghargai tnpa membedakan gender .

    BalasHapus
  49. Jadi ingat kalau di tv2 pernah booming film India.., dan orang2 beneran suka

    Tapi kini lebih senang ngedrakor ya

    Mungkin dilihat dari sisi romantisme dan rasa baper

    Wkwkwkwk

    BalasHapus

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer