Banyak orang yang berkata bahwa cinta itu buta. Sementara, aku masih dalam kondisi menerka-nerka, apa itu cinta? Sebab, yang kutau hanya dua: untuk Tuhan dan orangtua. Sedangkan mereka? Terlalu mengumbar kata cinta hanya untuk hal-hal yang fana. Karenanya, cinta seringkali kehilangan makna. Bukan salah cinta, tapi tudinglah mereka.
Banyak orang yang berkata bahwa
cinta itu buta. Kebutaan yang, katanya, seringkali membuat mereka menghalalkan
segala cara. Hanya untuk satu kata, c-i-n-t-a. Banyak kegilaan yang dianggap
lumrah dengan berdasar atas kebutaan akan cinta. Lalu, mereka berdiri di mana?
Ruang gelap kembali terbuka.
Banyak orang yang berkata bahwa
cinta itu buta. Benarkah?
***
Kupernah tersentak, nyengir-nyengir sinis saat menonton
sebuah film yang menayangkan adegan tanya jawab antara abang-adik. Dikisahkan seorang
adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar mulai jatuh cinta pada teman
sekelasnya yang bernama Putri. Kemudian, abangnya—yang sudah berumur tapi tak
lekas dapat pacar—menganggap hal tersebut merupakan suatu kelucuan yang layak
ditertawakan. Si abang menanyakan alasan adiknya mencintai Putri. Kemudian,
dengan polosnya si adik malah balik bertanya, “Emang cinta butuh alasan, Bang?”
Abangnya bangkit dari duduk dengan pandangan yang seolah tersadarkan akan
sesuatu. Lalu pergi.
Jika kalian bisa menebak ada di
film apa adegan tersebut, maka kalian sukses menjadi generasi milenial yang
sungguh kekinian. Namun, bukan film tersebut yang akan kubahas di dalam tulisan
ini. Ya, bukanlah anjir! Yakali Tiwi
bahas film gituan bhahahak!
Mari kita sorot kembali
pertanyaan si adik: Emang cinta butuh
alasan, Bang?
Sebagian besar orang setuju
dengan pernyataan bahwa cinta tidak membutuhkan alasan. Termasuk aku, dulu. Aku
sempat berdiri di kubu yang sama dengan kebanyakan orang itu. Aku pernah ada di
antara mereka yang menuhankan kebutaan cinta. Aku telah melewati masa di mana
cinta menjadi alasan kuat atas perilaku yang tidak layak. Aku sudah merasakan
bagaimana meyakini ketiadaan mengapa dan
karena dalam sebuah rasa yang disebut
cinta.
Namun, perkenalanku dengan Efek Rumah Kaca membawaku pada
perspektif lain. Aku mulai jatuh cinta pada band yang digawangi oleh Cholil
dkk. ini lewat lagu yang berjudul Jatuh
Cinta Itu Biasa Saja yang diambil dari album pertama mereka, Efek Rumah Kaca. Terima kasih untuk Nurul
Lathifah yang sudah memperkenalkanku pada Efek Rumah Kaca. Lagu-lagu mereka
sungguh bermakna dalam hidupku. Selalu membantuku bangkit dan kembali kokoh
dalam menjalani hidup. Membantuku untuk tetap menjadi aku.
Kita berdua hanya berpegangan tangan, tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita, tak perlu memuji
Kita berdua tak pernah ucapkan maaf, tapi saling mengerti
Kita berdua tak hanya menjalani cinta, tapi menghidupi
Generasi milenial kekinian dan
cintanya.
Maraknya penggunaan media sosial yang
sejak beberapa tahun terakhir membawa perubahan yang cukup besar dalam
hubungannya dengan cara berkomunikasi masyarakat modern membuat sebagian besar
dari mereka mengekspos gaya hidupnya untuk dipamerkan ke banyak orang. Salah? Tidak,
karena telah dianggap lumrah. Salah satu yang seringkali menjadi bahan untuk
dipamerkan adalah cintanya yang begitu entah.
Baru monthversary sudah belikan cincin segala. Baru anniversary pertama sudah hambur-hamburkan uang untuk sewa café mewah.
Iya, tak apa jika yang digunakan bukan uang orangtua. Kemudian, ribut sedikit sudah
pusing hapus foto mesra di Instagram.
Ribut sedikit main no-mention di Twitter yang membuat orang lain
(mungkin) akan tertawa terbahak-bahak. Sungguh, sebuah cinta yang begitu fana.
Bukan hanya sebatas maya, tapi
pada kenyataannya pun perilaku mereka seringkali mengundang gelengan kepala. Merujuk
pada lirik yang terlampir di atas, Efek Rumah Kaca mencoba untuk memberikan
pandangan lain perihal cinta. Bahwa jatuh cinta bukanlah alasan untuk kita
kehilangan logika. Bahwa jatuh cinta bukan sepenuhnya kunci dari hidup yang
sedang berjalan. Tak perlu menganggap putus cinta sebagai akhir dunia. Cukup
dengan sikapi sewajarnya.
Sebab, kita tak hanya menjalani
cinta, tapi menghidupi. Di dalam lagu ini, kita diajak untuk hidup bersama
cinta dengan lebih bersahaja. Tepat pada porsinya. Dan indah yang akan kita
tuai setelahnya. Bukan sekadar putus-balikan ala remaja labil yang mendamba
dewasa.
Ketika rindu menggebu-gebu, kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Saat cemburu kian membelenggu, cepat berlalu
Jatuh cinta itu biasa saja
Seringkali kita mendengar istilah
posesif dalam hubungan demikian. Banyak yang beralasan melakukan hal tersebut
atas dasar cinta yang mendalam. Cinta tidak semestinya membebat. Cinta,
bagaimanapun juga, membutuhkan jeda. Karena cinta ada di antara dua pribadi
yang berbeda. Tetap berbeda, sampai kapan pun juga.
Katanya, cinta itu buta. Maka,
mereka menghilangkan alasan-alasannya dalam mencinta. Selepas itu, akan muncul
pula yang dinamakan cemburu buta dan buta-buta yang lainnya. Sehat? Jelas tidak.
Bukankah kita semua tau bahwa apa pun yang berlebihan tidak akan menjadi
sesuatu yang mengarah pada kebaikan? Begitu pula dengan cinta. Biasa saja.
Hegemoni cinta.
Menurut Gramsci, hegemoni
merupakan suatu situasi di mana yang dikuasai mematuhi penguasa.Yang dikuasai
tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta
norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas
subordinasi mereka. Perihnya, ternyata masyarakat umum menganggap hegemoni di
dalam hubungan percintaan sebagai suatu hal yang lumrah.
Seringkali di dalam sebuah
hubungan ada yang disebut dengan pihak dominan. Ini bisa dipegang oleh
laki-laki maupun perempuan. Pihak yang membuat peraturan yang harus dipatuhi
oleh pihak lainnya. Pihak yang memberikan sanksi atas kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh pihak lainnya. Pihak yang memegang kuasa atas hubungan yang
mereka sebut berdasar atas cinta. Entah cinta yang seperti apa.
Keadaan yang demikian
sesungguhnya adalah tindakan menginjak yang disamarkan dengan rangkulan.
“Ya, aku kan pacar kamu. Aku
sayang sama kamu, makanya aku pengin kamu lakuin ini buat aku. Mau, kan?”
“Kamu sayang gak, sih, sama aku?
Kalo kamu sayang sama aku harusnya kamu nurutin permintaan aku.”
“Aku gak mau jadi pacar kamu lagi
kalo kamu masih main sama dia!”
Gengs, please, tinggalkan
yang demikian. Karena sesungguhnya kalian hanya sedang dalam kepura-puraan. Banyak
orang yang ada di dalam posisi demikian namun enggan melepaskan. Katanya,
sayang dengan usia hubungan yang sudah sekian lama. Sayang dengan usia
hubungannya, ya? Lalu membiarkan hati kalian tersiksa? Sungguh bijaksana.
Jika jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat
Saling mencari di dalam gelap
Kedua mata kita gelap, lalu hati kita gelap
Hati kita gelap, lalu hati kita gelap…
Jadi, jatuh cinta itu buta?
Jika benar jatuh cinta itu buta,
maka bagaimana menjabarkan tentang perpisahan? Sebuah hubungan percintaan yang kandas
biasanya punya dasar yang cukup kuat, entah dari dalam maupun dari luar. Jika jatuh
cinta memang buta, semestinya dasar-dasar untuk membuat kandasnya suatu
hubungan pun tidak akan terlihat. Maka, tidak akan ada perpisahan.
Efek Rumah Kaca menegaskan bahwa
cinta tidak buta. Karena jika ya, maka kita akan tersesat di dalam ruangan yang
gelap. Meraba-raba apa saja untuk mencari jalan keluar. Terantuk, jatuh, sakit,
takut. Sementara, kurasa cinta jauh lebih indah dari sekadar berada di ruang
gelap. Cinta itu, bahkan, menerangkan. Tentunya jika kita jatuh pada orang yang
tepat.
Untukku pribadi, sekarang,
mencinta jelas memiliki alasan. Begitu pun dengan meninggalkan yang satu untuk
memilih yang lain. Semua punya alasan. Karena aku sudah tidak lagi buta. Cacat karena
cinta? Tidak. Sebab cinta yang menyempurnakan kekurangan.
Kamu, masih jadi kaum proletar di
bawah kuasa hegemoni cinta?
Tabik!
Pertiwi