Aku adalah gelap.
Merangkum cerita tanpa batas dalam kelam yang menyatu di setiap lelap. Ada perih yang memamahku dengan lahap. Pelan-pelan, ringkih tubuhku dibuatnya secara bertahap. Sebelumnya, pasrah adalah satu-satunya yang mampu kuperbuat. Namun, apakah harus menerus menggantungkan diri pada diam?
Suaraku tercekat di pangkal tenggorokan. Bahana yang lenyap, terbawa alur angin yang memecahnya ke udara luas. Jemariku mengais-ngais di atas kepala, berharap menangkap desibel yang masih bebas melayang. Hap! Kutangkap sebuah kristal vokal yang begitu mengilap. Kukecup permukaannya dengan hangat. Kulihat di sana; pantulan wajah lusuh dengan mata hitam pekat.
“Hai, kamu, bantu aku keluar dari gelita ini, ya?” pintaku pada Sang Suara.
***
Waktu yang tepat untuk secangkir kopi di hari Minggu, wanita tua berambut putih itu sedang duduk di muka rumah sembari membuka buku. Kedua kakinya saling bertumpuk dan telapaknya bergoyang-goyang dengan tempo tertentu. Diiringi kokok ayam yang saling bersahut, cairan pekat di hadapannya itu dia seruput.
"Ibu, saya boleh keluar sebentar?" tanyaku.
Ibu memberi sedikit jeda, membiarkan aliran hitam yang diteguknya menyeluruh membanjiri kerongkongan. Matanya bertumbuk pada kedua bola mata yang kupunya. Pekat yang sama. Dengan nada rendah, Ibu memecah keheningan, "Mau apa?"
“Saya mau menyelesaikan makalah biologi saya, Bu. Besok harus dikumpulkan. Saya masih butuh referensi lebih.”
“Di rumah saja, anak perempuan kok jam segini sudah mau kelayapan? Apa kata orang?”
“Ibu, saya tidak bisa menyelesaikan tugas saya di rumah. Saya perlu ke warung internet di ujung jalan. Sebentar saja.”
“Kenapa kamu suka sekali melawan kata orangtua? Ibu menyekolahkan kamu sampai tinggi bukan untuk hal seperti ini!”
Selalu. Selalu begini. Sang Suara akan dibungkam dengan cara begini. Kutundukkan kepala, menyimak celoteh Ibu yang masih berlanjut perkara internet dan sederet mudharat yang diketahuinya dari SMS berantai. Kuberanikan diri untuk sedikit menengadahkan kepala, melihat wajah keriputnya dengan raut yang sudah sangat kuhafal; kombinasi antara marah dan ketakutan.
Aku cukup memahami kondisi Ibu sebagai orangtua tunggal dengan satu-satunya anak perempuan. Aku mengerti kekhawatiran yang mungkin sedang Ibu rasakan di kala usiaku memasuki remaja dewasa. Aku memahami keterbatasan Ibu dalam menjangkau pengetahuan yang tersebar luas di internetnya Indonesia. Maka dari itu, kesadarannya perihal jaringan komunikasi yang lebih modern itu belum terbuka seutuhnya.
“Ibu…,” kuberanikan diri untuk menggelar karpet merah bagi Sang Suara.
Wanita paruh baya di hadapanku tidak menyahut, hanya menatapku dengan begitu lekat. Begitu tajam, sampai terasa seperti mengeluarkan mata pisau yang merobek dada untuk menghunjam jantungku tepat di tengahnya.
“Internet keluarga itu tidak selamanya buruk, Bu. Memang benar, hal-hal yang Ibu sebutkan nyata adanya. Namun, jika kita sebagai pengguna dapat memanfaatkannya dengan baik, maka kebaikan jugalah yang akan kita dapatkan. Semisal, saya membutuhkan akses internet untuk menyelesaikan tugas-tugas saya. Saya bisa mendapatkan nilai yang lebih baik dengan hasil tugas yang saya kerjakan tersebut. Dengan nilai-nilai yang baik, saya bisa melebarkan kemungkinan untuk mendapat prestasi yang baik juga. Dengan prestasi yang baik, saya berharap saya bisa mendapatkan masa depan yang sama baiknya. Dengan masa depan yang baik tersebut, saya yakin saya bisa menjadi manusia yang lebih berguna; untuk orang-orang di sekeliling saya, untuk Ibu, dan tentunya untuk pribadi saya juga.”
Wah! Aku sama sekali tidak menyangka, Sang Suara akan membeberkan sekaligus kalimat-kalimat yang sudah lama kukunci dalam laci pikiran rapat-rapat. Ngeri-ngeri sedap, kuperiksa dengan lebih teliti air muka Ibu. Kusipitkan kedua mataku untuk mempertajam penglihatan demi menjangkau jarak dua setengah meter ke depan. Berpikir keras. Ibu sedang berpikir dengan begitu keras. Sampai kerutan di dahinya bertambah dua garis!
“Kalau begitu, pasang saja internet itu di rumah supaya kamu tidak perlu sering-sering keluar rumah. Apa kata orang?” katanya setelah membiarkan lima belas menit terlewati penuh dengan kesunyian dan keringat dingin di kedua telapak tangan.
Ibu masih tetap Ibu. Namun, Sang Suara sudah berhasil membuat Ibu perlahan lebih terbuka. Tidak apa-apa, proses masih akan terus berjalan.
“Benar, Bu? Asyik!” seruku kegirangan.
“Iya. Kamu yang urus saja, ya. Ibu tidak mengerti,” perintahnya.
“Baik, Bu, pakai IndiHome dari Telkom Group saja, ya?”
“Boleh,” jawabnya singkat, kemudian membereskan buku dan cangkir kopinya untuk dibawa masuk ke dalam rumah.
***
Aku menjelma terang.
Satu dan satu yang kini berkelindan. Dua yang beda, tapi tetap bersama. Tanpa ekor dan kepala, nyala Sang Suara membuka peran baru di antaranya; pengemudi dan penunjuk arah. Di sepanjang perjalanan, ada diskusi yang dituangkan dalam cangkir-cangkir kopinya.
"Bu, saya boleh ikut lomba cerpen IndiHome?"
_________
Tabik!
Pertiwi