“Aku boleh tanya sesuatu, gak?”
“Boleh, tanya apa?”
“Maaf kalau nyinggung. Kenapa, sih, kamu sering menyendiri? Padahal rame itu asyik.”
Asyik buat siapa? Pikiranku mulai menerawang. Bingung mau menjawab dengan kalimat yang bagaimana. Bingung akan membalas dengan pernyataan seperti apa. Pun lagi, bingung memberi pengertian perihal perbedaannya bagaimana.
“Karena aku lebih suka begitu. Sesederhana itu jawabannya. Bingung juga mau jelasinnya gimana.”
Ya, hanya itu yang bisa terucap.
***
Namanya Manusia. Sebuah koloni besar yang hidup berdampingan di tengah banyaknya perbedaan. Namanya Manusia. Berjalan beriringan walau tidak satu tujuan. Namanya Manusia. Seringkali luput dari pemahaman kecil tentang yang lainnya. Namanya Manusia. Mereka yang tak dapat membantah lupa.
Ada sosok penyendiri di antara mereka yang asyik berkumpul. Ada si pendiam yang ada di tengah ramainya interaksi hahahihi ngalor-ngidul. Ada pikiran serius di tengah orang-orang yang bercanda. Ada sosok yang tampak tak acuh dengan sekitarnya. Sosok yang seringkali dianggap berbeda di antara kebanyakan orang. Mereka ada.
Carl Gustav Jung memopulerkan keadaan manusia yang demikian dengan sebutan introvert. Beliau menempatkan introvert di dalam kelompok minoritas. Mungkin, ya, karena kepribadian mereka yang tampak begitu kontras dengan kelompok dominan, ekstrovert. Namun, berada di kelompok minoritas bukan berarti menghilangkan peranan mereka di dalam masyarakat. Mereka ada. Mereka berbeda. Dan mereka bermakna.
Aku berbeda
Aku berbeda
Berlari-lari di taman mimpiku
Imajinasi telah menghanyutkanku
Mimpiku sempurna, tak seperti orang biasa
(Fourtwnty – Aku Tenang)
Saya pernah membaca sebuah cerita pendek dari sebuah buku antologi cerpen yang berjudul sama, Dunia di Dalam Mata. Cerita pendek yang ditulis oleh Ria Soraya ini mengisahkan tentang seseorang yang begitu suka duduk berlama-lama di hadapan cermin. Akan tampak aneh bagi sekitarnya, tapi dia bahagia. Sebab, di dalam cermin itu dia melihat kehidupan yang berbeda. Kehidupan yang tampak dari sebuah kota yang ada di dalam matanya.
Begitulah kira-kira sedikit gambaran kehidupan seorang introvert. Ada dunia lain di dalam dirinya yang tak dapat dimasuki oleh sesiapa. Ada dunia lain yang hidup di kepalanya dan bisa jadi begitu nyata. Ada dunia lain yang tumbuh dari imajinasinya yang membuncah. Dunia di dalam pikirannya.
Bagi kalian yang belum mengenal pribadi introvert ini, mungkin akan menganggap mereka adalah orang-orang yang begitu dingin, begitu tidak memedulikan apa yang terjadi di sekitarnya, dan begitu sibuk dengan dirinya sendiri. Namun ternyata, tidak. Orang yang cenderung berkepribadian introvert memang lebih suka menyendiri, tertutup, dan tidak melibatkan diri pada kelompok sosial yang hingar-bingar. Kita hanya butuh untuk saling percaya dan menghargai kepribadian satu dan lainnya.
“Sementara introvert adalah kelompok minoritas dalam masyarakat, mereka membentuk sebuah mayoritas bagi orang-orang yang berbakat.” – Nicole Kidman.
Saya percaya setiap manusia dilahirkan dengan kehebatannya masing-masing, dengan bidangnya masing-masing, dengan bakatnya masing-masing. Termasuk para introvert. Bukan karena mereka lebih menyukai keheningan sambil meminum segelas kopi panas dan membaca buku, lalu mereka benar-benar hilang dari dunia nyata dan tidak berarti apa-apa. Justru, banyak bidang yang bisa dengan fasih dikuasai oleh para introvert ini.
Salah satunya, seni.
Di dalam dunia seni, orang-orang berkepribadian introvert adalah lakon utamanya. Menurut pernyataan ahli psikologi sekelas Mihaly Csikszentmihalyi dan Gregory Feist, orang-orang introvert adalah orang-orang dengan kreativitas berkelas nomor satu. Wow! What an amazing thought!
Saya rasa, pernyataan tersebut bisa sangat jelas diterima jika kita kembali menilik perihal kebiasaan seorang introvert yang lebih suka menyelam penuh ke dalam pikirannya. Mereka berbaur bersama dengan intuisi dan ketenangan yang bersinergi dengan kesunyian. Dari sanalah, beberapa mereka akan mencipta berbagai karya. Dengan begitulah mereka bisa menunjukkan eksistensi mereka kepada dunia.
Namun, tunggu. Menurutku, orang-orang berkepribadian introvert bisa sangat terganggu jika mereka dihadapkan oleh keadaan-keadaan tertentu. Keadaan-keadaan seperti apakah itu?
Pertanyaan yang lebih dalam tentang keadaannya.
Dengan pribadi yang begitu tertutup, orang-orang introvert akan merasa tidak nyaman jika kita terlalu dalam bertanya tentang keadaannya. Biarpun mereka tampak murung, tapi jika mereka berkata tidak apa-apa maka biarkanlah mereka tetap pada dunianya. Orang-orang introvert akan memilih kepada siapa mereka akan bicara lebih banyak. Tak perlu tersinggung jika mereka lebih memilih diam, mereka hanya butuh ruang yang nyaman.
Terlalu banyak dicari tau tentangnya.
Kalau boleh saya sarankan, sebaiknya kita tidak terlalu banyak mencari tau tentang siapa dan bagaimana orang-orang introvert ini. Walaupun, ya, kepo sudah menjadi semacam trend masa kini yang sulit dihindari, jangan lakukan pada orang-orang berkepribadian introvert. Mereka bisa jadi marah dan membenci karena merasa privasinya dicampuri. Ketika kita mencoba untuk masuk ke dalam dunianya, mereka akan begitu tegas untuk menolak. Karena baginya, dunianya adalah miliknya sendiri. Sekali lagi, jangan tersinggung. Kita hanya butuh untuk saling memahami.
Dicampuri urusannya.
Bagian ini, kurasa bukan hanya untuk introvert, karena banyak orang—saya tidak mau sebut semua orang—yang tidak ingin urusannya dicampuri oleh orang lain. Terlebih, jika urusannya dicampuri oleh orang yang tidak benar-benar memahami apa yang sedang terjadi. Itu hanya akan membuat introvert menarik diri. Lebih dan lebih lagi menarik diri.
Berbicara di depan umum.
Orang-orang berkepribadian introvert cenderung berbicara seadanya, tidak menggunakan banyak basa-basi yang berbelit. Singkat, padat, jelas. Berbeda dengan seorang ekstrovert yang gemar berbicara, bahkan terkadang terlalu hiperbola. Maka itu, jika orang-orang berkepribadian introvert diharuskan untuk berbicara di depan banyak orang, akan menjadi sesuatu yang berat. Bisa, tapi jangan dipaksakan.
Dipaksa mengikuti kehendak orang lain.
Biarkan saya mengulang frasa terakhir di paragraf sebelum poin ini, jangan dipaksa. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, orang-orang berkepribadian introvert ini punya isi kepala yang cukup berbeda dari orang kebanyakan. Sebagai minoritas, jelas mereka seringkali dituntut untuk menyeragamkan pikirannya. Tentu itu merupakan sesuatu yang sulit bagi mereka. Mereka lebih suka merdeka, sejak dalam pikiran.
Waktunya untuk sendiri diganggu orang lain.
Jika seorang introvert meminta waktu untuk dirinya sendiri, maka berikanlah. Sebab itu adalah salah satu cara bagi mereka untuk membahagiakan dirinya. Jangan ganggu waktunya dalam menyelami pikirannya sendiri. Karena bisa jadi, kita akan mengganggunya dalam proses kreatif untuk mencipta sebuah karya. Biarkan mereka sendiri untuk menunjukkan eksistensi. Lewat karya, yang pasti.
Bagaimana? Apakah berteman dengan seorang introvert tampak begitu sulit? Sesungguhnya, tidak. Mereka hanya butuh ruang yang berbeda. Kita sama-sama tidak dapat memaksakan kehendak siapa yang harus mengikuti siapa. Kita hanya butuh untuk saling menghargai dan menerima adanya beda. Beda bukan berarti tidak dapat hidup bersama, kan?
Lalu? Bagaimana dengan saya?
Saya ambivert, yang seringkali condong menjadi pribadi yang introvert. Ditambah lagi dengan golongan darah AB yang selalu ingin berbeda dari apa yang ada. Kecenderungan introvert plus golongan darah AB. Lengkap sudah. Saya begitu khatam dibilang alien, aneh, dan sebagainya. Namun, saya tetap bahagia. Karena, saya berbeda. Hahaha.
Suatu ketika, di sebuah grup WhatsApp sedang ramai membicarakan golongan darah. Lalu….
“Mau absen, Tiwi AB.”
“Ilham AB juga gak, Tiw? Kadang aku sama AB itu gak paham. Wkwkwk. Antar-AB aja yang klop.”
“Iya, Ilham juga AB hahaha!”
“YA UDAH JELASLAH, YA!”
Salam sayang,
Pertiwi Yuliana