“Lo, tuh, jadi cewek jangan
kepinteran. Nanti gak ada yang mau sama lo. Gak laku lo.”
“Lah, emang kenapa?”
“Ya cowok bakal sungkanlah kalo
punya cewek yang lebih pinter, mending cari yang lain.”
“Oh, hahaha. Yaudah, gak
apa-apa.”
“Batu lo dibilangin.”
Hidup itu penuh dengan pilihan.
Hal klise yang sering digaungkan oleh banyak orang. Namun sayangnya, tidak
sedikit pula yang menutup pilihan untuk orang lainnya atas alasan-alasan yang
tidak masuk akal. Katanya hidup itu pilihan, mau ke mana dan bagaimana ada di
tangan kita. Namun, masih ada langkah yang terus terhalang oleh patok-patok
yang dipasang dengan sembarang.
Lalu, di mana letak pilihan jika ada
saja pihak-pihak yang senantiasa menebar keharusan?
***
Di awal semester satu
perkuliahan, seorang kakak tingkat di komunitas Bengkel Sastra mengatakan bahwa
sebetulnya kami beruntung ada di jurusan bahasa dan sastra Indonesia, sebab
kami mempelajari apa yang tidak dipelajari oleh jurusan lain: sudut pandang. Saya
percaya, karena setiap kali saya berbicara dengan mereka, saya selalu
mendapatkan hal baru untuk dicerna.
Perlahan mata saya dibuka akan
hal-hal yang jauh lebih luas, tidak melulu berpatok pada diri sendiri. Sehingga,
bisa lebih banyak melihat kemungkinan lain dari apa yang terjadi. Sedikit banyak
mental saya dilatih untuk tidak terlalu sensitif. Kalau istilah gaulnya, sih,
biar gak gampang baperan. Sebab, itu merugikan. Hem… ulang. Sebab, itu sangat merugikan. Banyak sekali terjadi
gesekan antarindividu, antarkelompok, maupun antara individu dengan kelompok
yang didasari oleh hal tersebut. Mulai dari saling tak bertegur sapa, adu mulut,
sampai pada pertumpahan darah. Semua bisa terjadi karenanya. Seram, kan, ya?
Sebab itulah saya lebih menyukai
dunia perdiskusian—bahkan seringkali perdebatan, dengan cara yang elegan—yang bisa
membuat saya lebih tau banyak hal dan membaca karakter orang. Ini menyenangkan.
Wawasan bertambah dan pandangan dari berbagai sisi lain lebih terasah. Pun
tidak dapat dipungkiri, kebiasaan ini bisa membuat saya tetap tenang di depan
banyak orang. Nah, lebih menyenangkan lagi ketika saya mendapatkan teman
diskusi—dan juga debat, tentu saja—yang seimbang. Maka dari itu saya senang
mengenal Ilham.
Karena seringnya kami
membicarakan banyak hal berdua, tetiba kami sepakat untuk membuat mainan baru. Supaya lebih terkesan serius,
mainan baru itu kami beri nama DISPARITAS
yang akhirnya resmi lahir setelah sebelumnya tertunda oleh banyak hal.
Apaan, sih, Disparitas?
Disparitas adalah akronim dari diskusi paradoksal dan realitas. Untuk
penjelasan lebih lengkapnya, bisa baca di Disparitas dan Isi Kepala Suami Idaman. Saya tidak akan menjelaskan soal Disparitas
secara utuh di sini. Karena… basi, ah. Sudah terlalu biasa menjelaskan perihal
apa yang mau dikerjakan di blognya sendiri. Makanya, kami numpang di blog lain.
Ehe. He. He.
Selain numpang menyelipkan
penjelasan soal Disparitas di blog orang yang nama kontaknya paling panjang di handphone saya ini, kami—saya dan Ilham—juga
mengajak Om Dhika untuk berdiskusi. Diskusi santai, sih. Ngobrol sambil tjurhat, yang ujungnya Om Dhika
memberikan petuah manis untuk hubungan kami.
Andhika Manggala Putra Pratama Partakusumah.
Hal pertama yang saya pikirkan
saat melihat nama di atas adalah… ini namanya pasti gak muat di buletan LJK
(lembar jawaban komputer).
Ehehehe~
Perkenalan saya dengan Om Dhika
dijembatani oleh komunitas Warung Blogger. Selaku salah satu admin komunitas
tersebut, Om Dhika tampak sangat asyik dan bersedia menerima keluhan ini-itu
dari para anggota. Yha, setidaknya pengalaman
saya menumpahkan keluhan ke Om Dhika bilang begitu, sih, ya. Hahaha.
Dalam tulisan saya mengenai film
PINK, saya menyatakan bahwa selama hidup saya, saya baru mengenal dua
laki-laki baru di kehidupan nyata saya. Alhamdulillah,
ternyata postingan tersebut membawa saya mengenal satu lagi laki-laki baru di dalam
lingkaran saya: Om Dhika.
Sosok Om Dhika sebagai laki-laki
yang sudah berkeluarga tetapi menjunjung kesetaraan laki-laki dan perempuan
tentunya sangat menarik untuk dikulik lebih dalam lagi. Sebab, katanya, Om
Dhika ini semasa mudanya adalah bad boy.
Koloni Young Lex yang hilang. Yha, Tiw,
yha. Tapi pinter, katanya. Katanya, lho, ya. Nah, dari Andhika yang bad boy (dan playboy) ke Om Dhika yang sekarang kayaknya cukup kontras, ya?
Buah dari kesalahan di masa lalu
memang seringkali menjadi tamparan dan pengingat yang baik agar tidak
mengulanginya lagi. Ini pun terjadi di kehidupan Om Dhika dan istri. Kesewenangan
Om Dhika saat masih berpacaran sempat terjadi. Mulai dari menerima tantangan teman-temannya
untuk jadian dengan bintang kelas—yang adalah istrinya sekarang—padahal gak
suka, sampai pada selingkuh yang menjadi titik balik perubahannya.
“Gue terima taruhan karna ngerasa
‘harga diri’ aja dianggap gak mampu dapetin bintang kelas,” ungkap Om Dhika.
Perempuan sebagai objek masih
sering kita temukan dan sangat akrab hingga sekarang. Mereka seringkali tidak
mendapat tempat sebagai subjek, atau parahnya membuat mereka bahkan merasa
tidak pantas untuk berlaku sebagai subjek. Kejadian Om Dhika yang sudah lampau
tersebut jika diangkat ke kehidupan sekarang saya rasa masih ada. Dan banyak. Dan
entah sampai kapan akan selesai. Untuk itulah, interupsi
dari sisi perempuan mestinya terus digaungkan.
Namun, Om Dhika mengungkapkan
bahwa penerimaannya akan taruhan yang diajukan teman-temannya tersebut hanya
sebatas untuk menyelamatkan harga diri. Uang taruhan yang tidak pernah diambil
dan kenyataan bahwa Om Dhika sesungguhnya merasa iba karena perempuan dijadikan
objek taruhan bisa menyelamatkannya darinya dari golongan laki-laki kurang ajar
tingkat dewa.
Seperti yang sudah diakui
sebelumnya, Om Dhika masa itu adalah seorang playboy. Apalagi dengan hubungan yang tanpa didasari rasa suka,
membawa Om Dhika pada kesalahan fatal berupa perselingkuhan. Tapi jangan salah,
dari sanalah kesadaran mulai tercipta. Saat di mana kesalahannya dimaafkan, Om
Dhika bertransformasi menjadi lebih baik dari sebelumnya.
“Tanpa sadar pun gue masih suka jadi
pelaku (kesewenang-wenangan) mungkin. Karna kita gak tau batas idealnya.” –
Andhika Manggala Putra Pratama Partakusumah, Desember 2016.
Selama sudah sampai pada titik kesadarannya, sih, kurasa gak apa-apa, Om. Perbaikan diri pasti akan mengikuti nanti.
Prestasi perempuan dan harga diri laki-laki.
“Itu karena dengan apa yang kita punya. Kita bakal jadi
punya standar yang beda juga menyesuaikan dengan apa yang kita punya. Arogansi manusia.”
Saya sebetulnya cukup kagum
dengan kecongkakan dari Om Dhika. Pasalnya, saya seringkali mendapati laki-laki
yang justru menghindar dari perempuan-perempuan yang menempati posisi bintang
kelas. Parahnya, malah diminta untuk jangan terlalu pintar. Hahaha. Walaupun Om
Dhika menerima taruhannya jelas karena merasa lebih tinggi dengan ungkapannya
demi harga diri, beliau mengatakan tidak mempermasalahkan perihal bintang
kelasnya. Sebab untuk jadi pintar, baik, bodoh, maupun nakal adalah hak masing-masing
orang.
“Well, kami harus menghindari nilai yang terlalu jelek, agar jangan
dianggap tolol; tetapi jika nilai kami terlalu baik, orang akan menganggap kami
sok ilmiah atau sok intelektual, dan tak seorang pun akan mau kawin dengan
kami. Kami ingin menamatkan studi sebaik mungkin tanpa membuat perkawinan
menjadi mustahil bagi kami.”
Ungkapan di atas didapatkan dari
obrolan antara Simone de Beauvoir dengan salah satu mahasiswi berprestasi yang
hanya menghasilkan karya biasa-biasa saja di salah satu perguruan tinggi
perempuan di USA pada tahun 1940-an lalu. Perempuan-perempuan harus menekan
potensinya demi keseimbangan peran ganda yang mereka punya: ingin bekerja dan
ingin memiliki kehidupan pribadi yang bahagia.
Tapi kan itu zaman baheula, Tiw.
Masa, sih, zaman sekarang
peristiwa kayak gitu udah gak ada sama sekali? Dosen perempuan saya sempat
curhat di kelas tentang dirinya dan temannya, dengan kasus yang sama persis. =)
Dengan tekanan publik yang begitu
besar, perempuan menjadi mudah untuk diyakinkan. Jika mereka terus-menerus
diberi tau bahwa perempuan di masa lampau tidak pernah menghasilkan sesuatu
yang bernilai besar, itu adalah untuk meruntuhkan semangatnya. So, please,
untuk kalian perempuan yang baca ini, jangan mudah terpengaruh oleh
omongan-omongan klise hanya karena takut gak laku. Justru, saya rasa, perempuan
memang wajib menjadi pribadi yang cerdas.
Sebab…
Kecerdasan anak sangat
dipengaruhi oleh faktor genetik ibu.
“Pengaruh itu sedemikian besar
karena tingkat kecerdasan kromosom X berasal dari ibu. Oleh karena itu, ibu
yang cerdas berpotensi besar melahirkan anak yang cerdas pula. Dengan demikian,
lebih baik memiliki ibu yang cerdas daripada ayah yang cerdas.” – Dr. Ben Hamel,
ahli genetika dari UMC Nijmegen Netherlands.
Perkiraan lain yang dilontarkan
oleh Dr. Bernard Devlin dari fakultas kedokteran Universitas Pittsburg, AS,
menyatakan bahwa faktor genetik memiliki peranan sebesar 48% dalam membentuk IQ
sang buah hati. Sisanya barulah faktor lingkungan, termasuk ketika anak masih
di dalam kandungan.
Dengan fakta dan data dari ahli
yang menyatakan demikian, maka saya rasa tanggapan Om Dhika mengenai hal di
atas sudah tepat. Membiarkan perempuan untuk mengasah kemampuan pikirnya adalah
modal untuk ke depan. Sementara, jelas, mengesampingkan intelejensi perempuan merupakan
kekeliruan. Siapa yang gak mau punya keturunan yang cerdas, kan?
Kemajuan yang ada saat ini
sesungguhnya secara perlahan sudah memberi celah kepada perempuan untuk ambil
bagian di tiap lini masyarakat, termasuk soal pendidikan. Tinggal bagaimana
kita memanfaatkan apa yang disediakan. Jika sarana kekiniannya tersedia tetapi
isi kepala kita masih tetap patuh pada kekunoan, kita akan tetap sulit untuk
bergerak. Bukan hal yang konyol kok jika perempuan mau lebih unggul dari
laki-laki. Dan bukan hal yang bodoh jika laki-laki mengizinkan perempuannya
untuk bersaing dengan seluruh kemampuannya sendiri.
Bukannya malah jauh lebih romantis
dan mengasyikkan, ya? Kita bisa lihat dari gambaran keluarga Om Dhika yang
sejak dulu hingga sekarang tetap tampak bahagia.
Kalau begitu, saya mau
mengucapkan selamat terlebih dahulu kepada keluarga kecil yang hadir di postingan
saya kali ini:
- Untuk Om Dhika, karena punya istri yang cerdas, sabar, baik hati, dan sering membanggakan suaminya di depan teman-temannya sehingga Om Dhika ngetop plus ngehits sebagai suami idaman.
- Untuk Mbak Iki Moga Utami, karena punya suami yang sudah bertransformasi menjadi laki-laki yang memahami perihal kesetaraan, memiliki jiwa pelindung, dan juga penyayang.
- Untuk Om Dhik dan Mbak Iki, karena sudah dikaruniai buah hati yang menggemaskan seperti Dek Daffa. Semoga nambah lagi, buat nemenin Om Dhik main PS, katanya.
- Untuk Dek Naufal Daffa, karena punya ayah dan bunda yang ternyata sejak bertahun-tahun lalu sweet abis. Ham, mau, Ham. Egimana…
Semoga selalu utuh dalam selimut
kebaikan. Aamiin.
Untuk gambaran Om Dhika masa
kini, silakan dicek di blognya Ilham, ya.
Tabik!
Pertiwi
* Mungkin akan ada postingan selanjutnya yang masih berkaitan dengan hasil ngobrol bareng Om Dhika, soalnya bahasannya banyak dan lumayan asyik. Sayangnya, gak bisa dibikin satu postingan. Kepanjangan hahahak.
** Kami ngepoin banyak foto Om Dhika, kok gayanya gitu semua, ya? Hm...