ADENDUM | Your Favorite Devil's Advocate
flash fiction

ADENDUM

Jumat, Maret 31, 2017

ADENDUM

Ada terang di antara gelap, ada riuh di tengah diam. Dan terima kasih, Sayang, kamu membuka mataku dengan matamu yang telanjang.

***

Dua.

Kamu membuka pintu pertama. Di sana, kulihat betapa riuh persimpangan jalan dengan orang-orang yang menaruh rasa penasaran. Ada apa? Aku tak dapat melihat apa yang berada di tengah mereka. Beberapa darinya mulai saling berbisik, mencipta suasana yang semakin tak terbaca.

Ingin rasanya untuk mendekat, mencari tahu apa yang sedang mereka lihat. Namun sayangnya, pintumu tak terbuka sedemikian lebar. Lagipula, hujan terus menderas. Menghentikan langkahku untuk mendapat jawaban. Aku hanya dapat berdiri di muka pintu dengan kemelitan yang tak tertahankan.

Satu.

Di pintu selanjutnya, kamu memperlihatkan hal yang berbeda. Aku tahu sekali tempat itu. Aku hafal betul kejadian itu. Dan tentu saja, aku tidak akan memaafkan diriku. Sebab, dari sepanjang perjalanan kita, itulah saat pertama aku benar-benar membuatmu hancur berantakan.

Maaf, Sayang. Sebab, sungguh, bukan pula mauku untuk berkata demikian. Bukan hanya kamu yang diremukkan keadaan, tapi aku pun lebur dipermainkan kondisi yang begitu acak-acakan.

“Bagaimana dengan kita?” tanyamu di salah satu sudut taman.

“Aku sudah berusaha meyakinkan ibuku tentang kita, tapi... beliau tetap tidak mengubah keputusannya. Kita tidak bisa bersama,” suaraku semakin tidak bertenaga. Aku tahu, sangat tahu, bahwa aku telah menyakitimu begitu dalam. Dan, kutahu bahwa kamu pun tahu, aku tidak pernah menginginkan hal demikian.

“Kamu sudah berjanji untuk melamarku minggu depan,” katamu. Kamu masih mencoba memperdengarkan suaramu yang tegar, walaupun aku dapat merasakan vokalmu yang bergetar.

“Aku tahu dan aku mau. Sungguh. Namun, aku tidak menggenggam restu ibu.”

Sekian lama senyap menguasai perbincangan kita. Aku dan kamu sama-sama mencoba mengalihkan pandang ke mana saja. Mulai dari lampu-lampu berwarna indah yang menyala, sampai pada mengamati siapa saja yang berlalu-lalang di sana.

“Baiklah, tidak apa-apa. Terima kasih penjelasannya,” katamu pada akhirnya.

Perempuanku, kamu masih terus mencoba melengkungkan senyum manismu di keadaan seperti itu. Walaupun, ya, aku tahu tanggul matamu telah menggeletar untuk luruh. Kamu menjauhkan punggungmu dari pandanganku setelah sebelumnya menjabat tanganku dengan tanganmu yang mulai terasa kaku.

Aku tidak akan melupakan kejadian itu. Dan, hujan kembali turun.

Empat.

Hei. Kali ini kamu membuka pintu kamarmu dengan sangat lebar, Sayang. Akhirnya aku dapat melihat apa yang kamu lakukan.

Kamu baru saja bangun dari tidurmu dengan mata yang begitu sembab. Kamu tampak sangat kacau. Dan tetiba, kamu terkunci dalam keheningan. Kamu menatap gawai yang hampir selalu kamu genggam. Air mukamu seperti tersentak. Apa yang sedang kamu lihat?

Kemudian, kamu berteriak. Kencang. Sangat kencang.

Tiga.

Apa ini? Kali ini, aku dapat melihat kejadian di balik pintu pertamamu dengan lebih dekat. Dengan berbingkai laman media sosial, tempat dan kejadian ini diabadikan. Namun, persimpangan jalan ini belum tampak seramai tadi. Hanya menampilkan lampu-lampu indah dengan nyalanya yang berwarna-warni. Mengagumkan. Kemudian....

Bruuk!

Suara benturan yang sangat keras. Objek pun beralih. Tiada lagi lampu-lampu cantik. Perlahan, orang-orang mulai datang menghampiri satu titik. Ah, itu dia! Kejadian yang aku lihat di awal tadi. Dengan posisi kamera yang tidak beraturan, rekaman amatir ini mulai memperjelas tanda tanya yang kupunya.

Menyusup di antara celah-celah kepala yang mulai berbisik, “Bunuh diri, bunuh diri,” tampak jelas bahwa telah terjadi sebuah tabrakan di tengah jalan. Darah tercecer menimbulkan bau anyir yang mengusik penciuman.

Semakin dekat, semakin dekat. Korban mulai terlihat.

***

Aku sangat menyesal. Kali ini, aku tak lagi dapat merengkuhmu. Aku hanya dapat membiarkanmu membuka pintu-pintu kejadian yang kamu lihat lewat matamu. Layaknya puzzle yang memanggil untuk diselesaikan, aku mulai menyusun keping-keping kejadian yang begitu gaduh di dalam sana.

Aku tahu, kamu sangat terpukul.

Dan.

Maafkan aku.

Lagi.

Kali ini, kali kedua aku benar-benar membuatmu hancur berantakan.

Tidak akan lagi.

Sebab, aku sudah pergi.



TAMAT




NB: Cerita ini dibuat di asrama Kampus Fiksi saat jam praktik menulis. Kami ditugaskan untuk membuat sebuah cerita dengan latar tempat keramaian favorit yang telah kami sebutkan sebelumnya. Dalam waktu kurang dari tiga jam, aku menghasilkan sebuah flash fiction 600 kata ini. Bisa tebak tempat keramaian apa yang kusebutkan?

NB 2: Aku senang, aku bisa menyelesaikan sebuah cerita fiksi dalam waktu sesingkat itu. Biasanya, sehari pun tidak cukup. 

You Might Also Like

46 komentar

  1. Selalu suka sama yang bisa nulis fiksi, aku iri. Sungguh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga iri sama Kak Oky yang jalan dan jajan mulu. Sungguh. :(

      Hapus
  2. Whoaa, seakan-akan larut di cerita itu, Mbak Tiwi...
    KEreen bingit bisa nyelesaiin cerita fiksi kurang darii 3 jam,
    Saluut...

    BalasHapus
  3. NB 3: Cara bacanya dengan mengurutkan bagian satu sampai empat. Ingat, puzzle.

    NB 4: Dyh tiwi tulisannya wkwkwk

    NB 5: asyik juga kalau diangkat jadi film pendek

    NB 6: ternyata yang mati adalah si cowok. Ceweknya hidup...di surga

    NB 7: kok jadi NB terus. Itulah kenapa judulnya adendum

    BalasHapus
  4. Bau anyir darah.
    penggambarannya langsung menembus imajiasi, dimana darah benar-benar berceceran di jalan😭😭😭membayangkan cerita ini benar demikian terjadi di dunia nyata😭

    BalasHapus
  5. eh itu kecelakaan kan yaa? eh apa bunuh diri? aduh aku kepo hahha



    btw Tiwi... apakah tetiba ada di KBBI? bukannya yang benar tiba-tiba?
    maap kalo salah hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa hayoo? Hahaha~

      Sah-sah aja, kok, ditulis "tetiba". Dalam proses pembentukan katanya jadi pengulangan sebagian.

      Hapus
  6. Ah, terhanyut :") Semoga kisah menyedihkan ini cukup terjadi di fiksinya Kak Tiwi aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kali ini murni fiksi kok, Kak Ayi.

      Kali ini. Biasanya ada curhatnya. Egimana?

      Hapus
  7. Dua - Satu - Empat -Tiga berasa bermain permainan acak kata. Tapi akhir cerita kok sedih ya? 😒

    BalasHapus
    Balasan
    1. Supaya pembaca lebih realistis, tidak melulu disuguhkan kebahagiaan semu. Wakakak.

      Hapus
  8. Wi... kereeennnn tadi pagi cuma semlat baca komentar yoga di grup dan baru sempat mampir. untung dapat bocoran sial urutan2ny, jadi gak terlalu binggung...

    Bikin awal ceritanyaaa dong wi, hahahhaaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Kak Feby hahahahak

      Nanti kalo kupanjangin bikin awalan nalah mbeber ke mana-mana. Wkwkwk.

      Hapus
  9. Manis banget tiw tulisannya. Aku pernah nulis fiksi, tapi ya berhari-hari, dan nggak sebagian ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga biasanh berhari-hari, Kak Wanda. Ini bikin cepet karena dituntut cepet aja pas di KF.

      Hapus
  10. Tempat keramaiannya adalah tempat di meninggal

    BalasHapus
  11. Kok jadi sedih bacanya. Bagus bikin diksinya jadi pengen belajar nulis lebih baik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak Rian. Aku juga masih mau belajar lagi.

      Hapus
  12. Akukan sambil makan baso ngebacanya, langsung stop pas di adegan keceklakaan dan darah berhamburan kemana mana dan sekonyong konyongnya baksonya jadi berbau anyir

    BalasHapus
  13. Itu bunuh diri dengan cara menabrakkan diri ke kendaraan di jalan raya mba? Adendum bukankah artinya sebuah perubahan dalam kontrak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayo gimana hayo hahaha

      Adendum di sini maknanya bab tambahan, sih. Kalau soal kontrak, aku gak tau, Mas Tom hehehe.

      Hapus
  14. Hawuh kuat banet nulisnya
    Kalo yg dikerjain sesuai passion ya enak bangrt

    BalasHapus
  15. Endinya halus, duh tapi mati gitu yaaaa

    Aku nulis fiksi kalo kepepet kdg bagus. Kadangggg

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tiwi emang suka mati-matiin tokoh, jahat. :(

      Ayok nulis fiksi, dong, Mbak Jiah. Mau baca. :D

      Hapus
  16. Jadi ini yang bunuh diri ceweknya atau cowoknya? Bunuh dirinya menabrakkan diri, memotong nadi, atau gantung? Hanya bertanya-tanya, karena masih bingung. Tapi cara penyampaian fiksinya, TOPPPP..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin kalau dibaca lagi bisa lebih mengerti hehehe

      Hapus
  17. Saya merasakannya walau gak suka dg ending spt itu

    BalasHapus
  18. cerita pertama seterusnya alurnya berbeda beda dan mungkin ada happynya akan tetapi, kok di terakhir jadinya sad ending ya jd kurang seru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang seru yang happy ending, ya?

      Yah, akunya gak suka bikin cerita happy ending wkwkwk

      Hapus
  19. ini alurnya maju mundur yaaa :).. aku hrs baca pelan dan beberapa kali :D.. tapi sedih pas baca si cowonya meninggal nth karena bunuh diri ato memang kecelakaan, dan cewenya jadi lebih hancur lagi :( .. itu yg aku tangkep sih mba :) ..

    BalasHapus
  20. Otak gue belum sanggup cerna cerita kayak gini tiw. Yang ada lampu-lampu, gelap, ketabrak. Ini deket-deket Jakarta Fair gitu bukan sih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Merendah banget lu, Di. Tapi komen lu lucu wakakakak.

      Hapus
  21. Adendum itu apa wi ?

    tapi jika ikut kata komentar ilham, untuk dibaca dari angka yang berurutan, semua jadi terlihat jelas akan alur ceritanya wi. haha baru kali ini aku baca tulisan seperti ini, jadi maafkan jika tak mengerti arti kata adendum itu sendiri.
    Dan jika sebuah film, ini mengingatkan pada film predestination X)

    BalasHapus

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer