Aku bahagia pernah mengenalmu. Bahagia pernah jatuh cinta dan patah hati padamu. Bahagia pernah berusaha begitu keras untuk bangkit dari keadaan yang begitu entah karenamu. Dan bahagia menemukan hidupku yang sekarang berkatmu.
***
Kalau Ilham punya mantan dan hal-hal yang tak selesai, aku punya mantan dan hal-hal yang telah selesai.
Dua hari yang lalu, aku kembali berjibaku dengan kenangan-kenangan yang berkumpul di media sosialku. Lewat akun Twitter-ku, aku kembali ke masa putih-abu. Masa yang dielu-elukan sebagian besar orang sebagai masa yang paling indah di sepanjang hidupnya. Namun bagiku, mungkin, tidak demikian adanya. Masa SMA-ku biasa saja. Tidak lebih dari belajar dan belajar. Main sedikit-sedikit sih ada, tapi tidak begitu berkesan.
Warna yang benar-benar cerah baru kudapatkan di tahun terakhir sekolah. Ada seseorang istimewa yang mengisi hidupku sebagai seorang siswi yang tidak terlampau berarti keberadaannya. Dia memang bukan orang yang pertama singgah, tapi dia adalah orang yang mengawali perubahan hidupku yang sekarang. Dendy Daniel Kaenady, namanya.
Oh iya, aku menulis ini dengan izin dari Ilham, ya. Perlu dijelaskan duluan, sebab terlalu banyak orang yang mudah salah sangka.
Okey. Dendy, bukan hanya membuatku lebih banyak dikenal teman-teman di sekolah, tapi memberikan tantangan untuk keluar dari keadaan yang tidak menyenangkan. Ya, walaupun dia sendiri mengelak, ya. Namun, ini hanya perihal bagaimana masing-masing orang dalam menafsirkan keadaan. Iya, kan?
Mungkin, sebagian orang mengartikan kehilangan sebagai sesuatu yang menyedihkan. Sebagai hal yang tidak perlu untuk dikuak lebih dalam. Sebagai peristiwa yang harus lenyap dari ingatan. Aku pun pernah mendefinisikan kehilangan sebagai hal yang demikian. Namun, tidak lagi setelah aku berdamai dengan sederet perih yang sempat berdiam. Berdamai dengan luka-luka yang pernah membuatku begitu kesakitan. Berdamai, dengan masa lalu yang sudah terlewatkan.
Sebagai patah hati pertama yang begitu perih, aku ingin mengucapkan terima kasih. Benar adanya, sedih dan senang memang memiliki beda yang begitu tipis. Tolong, jangan mengartikan tipis sebagai celah waktu yang sempit. Sebab pada kenyataannya, tidak sama sekali. Banyak hal yang harus dipelajari dan diselesaikan dalam sebuah proses yang kujalani.
Proses. Jatuh ialah sebuah proses yang tak asing dalam kehidupan. Untuk menilai seberapa tangguh kamu berjuang melawan keterpurukan. Proses. Dalam langkah yang tertatih itu kamu bisa belajar memahami keadaan. Hingga pada waktunya, kamu siap dengan berbagai senjata hasil jarahan di sepanjang perjalanan. Proses. Luka-lukamu yang dahulu mulai menghilang. Kaki-kakimu yang pincang mulai kokoh menopang. Dan kamu, siap untuk jadi pemenang.
Memenangkan hidup adalah sesuatu yang benar-benar membahagiakan. Jika kamu mengartikan menang dengan harta yang bergelimang, maaf kita tidak sepemahaman. Sepakat untuk tidak sepakat, ya? Karena buatku, memenangkan hidup adalah saat di mana aku bisa benar-benar bahagia menjadi aku. Lepas dari kekang yang pernah memenjarakan aku. Lepas dari hal-hal yang kulakukan hanya untuk membahagiakan orang lain selain aku.
Mungkin, lepas dari masa putih-abu membuat keakuanku semakin berkecamuk. Aku yang dahulu begitu enggan berkata tidak, menjadi aku yang bisa dengan tegas menolak. Aku yang sebelumnya terbilang anggun, menjadi aku yang berpenampilan sesukaku. Aku yang lalu begitu manja dan selalu butuh genggaman, menjadi aku yang punya kaki-kaki kokoh untuk menopang beban. Aku yang di masa lampau begitu berperasaan, memilih untuk mengedepankan logika sekarang.
Berubah.
Aku beruntung, patah hatiku membawa jalanku lebih laju. Mungkin, ya, aku masih belum bisa melupakan orang yang sama sampai dua tahun berselang. Aku masih menangis jika mengingat bagaimana kami menjalani hari-hari yang menyenangkan. Masih terpenjara dengan bagaimana kebersamaan kami di masa lampau. Namun, lepas dari urusan hati, aku bisa terus melangkah mencapai apa yang aku mau. Bagiku, dia adalah sosok pembangkit sisi lain dari aku yang bahkan belum pernah kukenal dulu.
Sumber gambar: pexel.com |
Belajar hidup mandiri
Dulu, hampir setiap hari kami bersama. Lelaki jangkung itu selalu melindungi aku dengan tubuh 182 sentinya. Akibatnya? Ya, aku jadi manja. Aku selalu merasa membutuhkannya. Terbiasa apa-apa bersamanya. Terbiasa ke mana-mana bersamanya. Terbiasa menyelesaikan banyak hal bersamanya. Ternyata, itu bukanlah hal yang baik untuk aku ke depannya.
Selepas menanggalkan seragam, kami menjalani hubungan berjarak. Tidak terlampau jauh kalau untuk ukuranku sekarang, tapi dulu aku masih belum lihai menaklukan jarak. Kesendirian dan rasa waswas itu mulai hinggap. Aku merindukan telapak tangan yang tadinya selalu sedia menggenggam. Lama, lama, hingga aku mulai paham dan membangkitkan kehidupanku yang baru sendirian.
Mengendalikan kecemburuan dan memupuk kepercayaan
Aku pencemburu akut. Hahaha. Jarak yang mulai melebar merupakan masalah besar untukku. Ini juga merupakan pemicu perpisahanku dengan Dendy. Maaf untuk segala ketidakpercayaan yang pernah menyelimuti kita, Den. Tapi dari masalah kita, aku mulai membuka mata lebih lebar dan mulai lebih paham akan pentingnya percaya di dalam sebuah hubungan. Bukan berarti aku udah gak cemburuan, ya. Masih. Tapi, lebih dengan alasan yang logis. Kalau dulu, aku cemburu tanpa pandang bulu.
Mempelajari tentang perempuan
Kebiasaanku bergantung pada Dendy dulu ternyata berefek tidak baik terhadapku sendiri. Aku menjadi sama seperti perempuan-perempuan di mata masyarakat dominan yang nyatanya tidak aku sukai. Kehilangan membuatku mengerti, bahwa perempuan semestinya memiliki kekuatan lebih. Di sanalah aku mulai belajar tentang paham feminis. Membaca lebih banyak dan lebih banyak lagi. Menguak mitos dan fakta perihal perempuan setelahnya terasa gurih-gurih pahit. Namun karenanya, aku bisa lebih percaya bahwa perempuan harus bangkit.
Menyeimbangkan logika dan perasaan
Kebanyakan mulut-mulut masyarakat dominan berkata bahwa perempuan lebih mengedepankan perasaan. Aku pernah menjadi bagian dari perempuan yang terlalu bawa perasaan. Namun waktu menjawab kesedihan dengan gugahan untuk melepas jeratnya dan mengambil banyak kesibukan. Beruntungnya, aku mengambil jalan yang tepat. Mendekatkan diri dengan kecintaanku akan dunia tulis menulis sekaligus mempelajari banyak sekali hal baru. Tentang sastra, tentang hukum, tentang pendidikan, tentang politik, tentang banyak hal lainnya yang ada di sekitaran kita. Logikaku mulai terasah.
Dendy bukan satu-satunya yang punya andil dalam proses menuju hidup yang kuinginkan. Namun, terima kasih, karena sudah membuka jalan untuk katalis-katalis lain yang mempercepat prosesku mencapai tujuan.
Siapa lagi yang akan menghidup-hidupi hidupmu kalau bukan kamu sendiri, kan?
Untuk Dendy, sekali lagi. Maaf atas segala kekhilafan yang pernah terjadi. Maaf untuk segala ucapan kasar yang mungkin tidak pernah kamu ketahui. Dan terima kasih. Untuk keriaan masa SMA yang kamu beri. Terima kasih. Untuk membuka pelajaran tentang hidup yang sangat berarti. Terima kasih. Masih mau menjadi temanku hingga saat ini.
Kita, adalah kenangan masa lalu yang telah selesai.
Untuk Ilham, terima kasih banyak sudah mengizinkan aku mempublikasikan tulisan ini. Kamu yang terbaik. Dan semoga jadi yang terakhir. Aamiin.
Jadi, gimana? Masih mau bilang mantanmu itu sampah? Atau sebenarnya, kamu yang masih belum bisa memaknai ketidakberhasilan kalian dalam berhubungan?
Tabik,
Pertiwi