Kopi Flores with French Press from Kanal Kopi |
Bagaimana bisa kita
mengawali akhir yang tak pernah dimulai, Tuan? Sebab untuk menatap matamu saja,
aku perlu berjuta spasi yang harus kujaga rapi. Bagaimana bisa? Jika
menggapaimu saja hanya mampu menjadi ambisi. Karena untuk menggenggammu, aku
perlu mengenyahkan kecintaanku akan jarak yang terbentang luas. Sebab untukmu,
aku masih belum dapat menjelma mula yang pantas. Sebab itu, rasaku tidak
bergerak bebas.
Hujan!
Seketika senja tak lagi
jingga, awan bersenandung isak mendung. Di sana, aku berlari dengan gumam lirih
akan jerat yang begitu perih. Sesaat, sempat pula aku merindu langit yang
membiru. Namun ternyata, sekadar rindu tak dapat mengubah asaku akanmu. Dia
tetap temaram di tengah sepi yang terus bungkam. Masihkah benar adanya bahwa
yang lebih hening dari diam adalah cara terbaikku mencintaimu dalam-dalam?
Sebuah lonceng berbunyi
ketika aku membuka pintu dari sebuah kedai di pinggiran ibukota senja itu. Ya,
dan aroma kopi dengan serta merta menyeruak memanjakan indera penciumanku. Tak
heran jika banyak orang tersihir oleh biji hitam itu. Suasana coklat muda
dengan ornamen kayu menyambutku yang masih terpaku di ambang pintu. Dengan
pakaian yang sedikit basah, aku tampak begitu kaku untuk melangkahkan kakiku
masuk ke dalam situ.
“Masuk aja, Mbak, gak
apa-apa,” ucap sang barista dari balik meja bar.
“Oh, iya. Terima kasih,”
balasku dengan usaha keras menarik ujung-ujung bibirku untuk membentuk sebuah
senyum yang layak untuk tampak.
“Meja yang biasa masih
kosong kok, Mbak. Masih sepi.”
Ya, masih sama seperti dua
tahun lalu, Tuan. Aku masih terus menginjakkan kaki di tempat yang sama, duduk
di meja yang sama. Meja yang dahulu menjadi tempat favoritku untuk menatap
wajahmu yang dengan khidmat menyesap pekat dalam cangkirmu. Walau telah berbeda,
kamu tak lagi menjadi suara lonceng yang menggugah selera saat pintu itu
terbuka. Kepergian yang entah ke mana dengan sisa luka yang terus menganga. Aku
hanya dapat menatap jendela dengan sisa garis vertikal dari bulir hujan yang
hinggap di kaca. Ada sesal di dalam sana.
“Hot cappuccino kayak
biasa, kan, Mbak?” tanya barista tadi, membuyarkan lamunanku akanmu.
Mocca Coffe from Kanal Kopi |
Bosan. Kelembutan dan
keindahan dalam secangkir hot cappuccino yang selalu kuhidu
nyatanya tidak mengantarkanku pada sapa dari tawa. Sendu masih terus memikat
aku. Gambar hati di atas cangkir itu terlalu sempurna untuk kenyataan yang
sudah koyak di mana-mana. Jadi, haruskah lagi aku bersembunyi di balik
keindahan yang sekadar semu semata?
“Hm, enggak, deh. Mau yang
beda. Kopi yang baru hari ini apa, ya, Mas?” tanyaku.
“Ada kopi roasting terbaru,
nih, Mbak: arabika Toraja.”
“Boleh, deh, Mas. Saya
pesan satu, ya.”
“Mau pakai cara penyeduhan
apa, Mbak? Saya saranin, sih, tubruk aja.”
“Kenapa tubruk, Mas?”
“Kalau tubruk, kita bisa
menikmati rasa dan aroma kopi yang asli. Lebih lugu dan sederhana, Mbak, tapi
sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Kontras dengan apa yang
biasa Mbak pesan. Kopi tubruk tampak tidak memedulikan penampilan. Seolah tidak
memerlukan skill khusus untuk membuat kopi dengan tekstur yang
kasar dan sangat cepat itu. Namun, tunggu sampai kita dapat membaui aromanya.”
Aku tersenyum. Tanpa perlu
usaha keras untuk menarik ujung-ujung bibirku. Barista yang sudah kulihat
beberapa tahun terakhir di sini rupaya cukup fasih dalam mendeskripsikan kopi.
“Oke, Mas, saya pesan yang itu aja.”
“Oke, Mbak, tunggu
sebentar, ya.”
“Iya, Mas. Terima kasih.”
Barista itu berlalu,
punggungnya menjauh menuju balik meja bar di samping pintu masuk. Sedangkan
aku? Kembali melayang dalam lamunanku akanmu. Kita yang memang tak pernah
sedikit pun menapaki mula, kenapa harus sebegitu perihnya? Senja sudah berlalu
dari angkasa. Malam merangkak dengan sisa awan hitam yang masih terbentang
luas. Kemudian, ada sesal yang kembali menyeruak keluar.
Sialnya berada di dalam
dekapan patriarki dan terpaksa mengikuti aturan dari kaum yang begitu kolot ini
adalah mengabaikan idealisme pribadi. Ada takut yang membuat niat untuk
menyapanya mengerut. Hingga akhirnya, aku terlambat menghentikan perginya yang
entah ke mana. Mungkin, belum saatnya ada bahagia sesungguhnya yang kusambut.
“Silakan, Mbak, kopinya,”
ucap barista tadi. Ya, dia kembali membuyarkan lamunanku akanmu dan
menghentikan ketukan-ketukan jariku pada meja bulat berwarna coklat itu.
Kutatap cangkir kopi yang
tersaji di hadapanku.
Hitam.
Jalan menujumu, masihkah
sepekat ini, Tuan?
“Mbak pertama kali coba
yang ini, kan? Sebelum dicoba rasa kopinya, Mbak bisa cium dulu aroma kopinya,”
lanjutnya memberikan instruksi yang—entah mengapa—dengan serta merta kuturuti
saja.
Aku mulai mendorong ampas
yang mengambang di atas cangkirku dengan sendok yang telah disediakan dan
mendekatkan ujung hidungku pada cangkir itu. Hmm… aroma earthy yang
khas.
“Gimana, Mbak?”
“Aroma yang didapat dari
kopi ini apa aja ya, Mas?”
“Kopi arabika Toraja ini
menghasilkan aroma buah, Mbak.”
“Hmm… Iya, Mas, ada aroma
buahnya.”
“Nah, good.
Sekarang coba rasakan kopinya, Mbak.”
“Untuk rasa yang didapat
dari kopi ini apa, ya, Mas?”
“Kopi ini menciptakan rasa
buah dan rasa asam yang khas dari kopi Toraja. Tingkat keasaman dari kopi
Toraja ini cukup tinggi. Banyak yang bilang kalau kopi Toraja ini mirip sama
kopi Sumatera, Mbak, tapi kopi Toraja jelas punya ciri sendiri yang tentunya
beda dengan kopi lainnya.”
Perlahan tapi pasti,
kusesap perlahan pekat hitam dalam cangkirku, “Hmm… Iya, untuk rasa asam dari
kopi ini sangat terasa.”
Dia tersenyum menatapku,
“Selamat menikmati, Mbak.”
“Oh, iya. Terima kasih,
Mas. Saya suka.”
“Sama-sama, Mbak. Ini 50%
berkat petani yang menanam kopi, 40% yang menyangrai biji kopi, saya cuma
kebagian 10% buat eksekusi aja, Mbak.”
“Senandung, panggil Nana
aja jangan Mbak lagi,” aku menyodorkan tanganku, memperkenalkan diri.
“Oh, oke. Saya Artha,”
katanya menyambut tanganku dengan jabatannya. “Balik dulu, ya, Na. sekali lagi,
selamat menikmati.”
“Iya, terima kasih.”
Tumben dia sendirian, waiter-nya ke mana?
Artha kembali pergi.
Meninggalkanku yang tetap bercinta dengan sepi. Masih dengan harapan yang
timbul tenggelam akan orang yang tak juga dapat kuraih. Sedih. Tapi, luka hanya
akan menyayat sedalam yang kita izinkan, bukan? Dan, setiap hamba memiliki
kuasa untuk bahagia.
Sesungguhnya, Tuan, aku
tidak terbiasa menikmati pahit. Bukan sepertimu dan kopi Flores favoritmu.
Namun, indera perasaku sama sekali tidak menolak hadirnya pahit yang berkuasa
atas rongga mulutku. Dia seakan melebur dengan rasa yang semakin hambar. Mereka
membaur, membuat sebuah koloni yang merombak aku dengan cara yang begitu
barbar.
Aku tersenyum.
Masih menatap kepekatan di
hadapanku.
Masih dengan bayangan kamu
di kepalaku.
Masih dengan keentahan yang
terus kusemogakan sejak pertama kali melihatmu.
Tapi, Tuan, logikaku mulai
mengaduh. Mempertahankan yang begitu entah atau melepaskan gundah? Jika hati
tak lagi turut campur, tentu aku akan dengan mantap memilih yang kedua. Tapi
bagaimana? Kemampuanku berkehendak seakan turut pergi bersama bayangmu yang
semakin gelap.
Tuan, aku masih menjadi
pandir yang dicerca cibir. Sudah habis hati terkoyak dengan logika yang teramat
kikir. Masih saja kamu dan kamu lagi yang menguasai pikir. Lucunya, bahkan aku
tak mengetahui namamu untuk sekadar kuukir. Baiknya, kamu pergi dari benakku
tanpa kuusir. Bisakah, Tuan?
Malam dan gabak masih
beradu. Tiada yang lebih pilu, tiada yang sanggup menjawab tanyaku. Kubuka isi
dalam tasku dan kubuka sebuah buku.
Kosong.
Dan pena dalam genggamanku
mulai mengukir beberapa baris kata:
Kumasih
berkelindan dengan luka lama
Mengais
sisa kamu yang tertuang dalam puisiku
Masih
juga abai pada logika yang mencoba bertahta
Sebab
dosa masih merengkuh aku dalam peluknya
(Senandung, 19.28, 06/16)
Hhh…
Aku menghela napas panjang.
Hebatnya puisi, selalu bisa
mengembalikan energi yang sempat pergi. Hal yang paling setia menemaniku yang
meragu bersama sepi dan sembilu.
Samar-samar mulai terdengar
alunan lagu dari band favoritku, Efek Rumah Kaca, dengan lagunya Jatuh
Cinta Itu Biasa Saja. Aku mencari sumber suara, kudapati Artha yang
menatapku di sana. Lagu yang dipilihnya menusukku begitu telak. Kurasa, bukan
hanya perihal perkopian yang bisa dikuasainya, tapi juga dengan gerak-gerik
pengunjung yang datang ke kedai kopinya. Aku kembali tersenyum. Setidaknya, aku
mulai bisa berdamai dengan rasa pahit di dalam dada.
Kembali pada cangkir
kopiku, masih tersisa pekat yang harus kuselesaikan. Tidak begitu buruk. Ya.
Sebab ternyata, kehilanganmu tak lebih pahit dari secangkir kopi yang baru
kurasakan. Aku hanya terlalu munafik untuk membuka mata dan telinga. Sebab aku
terlalu terpaku pada kepergian orang yang entah siapa.
Pukul 20.27, saatnya mulai
menutup hari yang biru dengan pergi dari tempat itu. Kuhampiri Artha yang masih
sibuk melayani pesanan di balik meja barnya.
“Hei, berapa semuanya?”
“Ah, sudahlah.
Sekali-sekali kasih kopi gratis untuk pelanggan setia.”
“Wah, how lucky I
am!”
“Yes, you’re a lucky
girl. Ini buat kamu,” katanya sembari menyodorkan secarik kertas.
Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit.
Aku kembali tersenyum, mengucapkan terima kasih, dan beranjak pergi.
Dalam lelahku, kaubangkitkan aku menuju
benderang yang nyata. Sebagaimana secangkir kopi yang selalu membuatku terjaga.
Kemudian pada kepulan hangat itu, aku membaui bahagia. Pada pekat yang khidmat,
kaumasih enggan mengikat. Sebab bagimu, kaubukan sesiapa yang pantas menjerat.
Kemudian…
Aku sudah punya calon rujukan lain untuk klitik
{-mu} milikku.
Aku punya kamuku.
Yang bukan lagi kamu.
TAMAT.
* Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis
Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
* Referensi:
- Komunitas Kopikoe (Komunitas Pencinta Kopi Noesantara)
- Filosofi Kopi by Dewi 'Dee' Lestari
- Kedai kopi favorit: Jung Coffee dan Kanal Kopi