Lama sekali rasanya aku menginginkan alat musik petik yang satu ini. Sejak zaman masih kinyis-kinyis, aku memang suka banget sama gitar. Terutama, jenis gitar akustik! Ya gimana? Suaranya memabukkan, kayak anggur merah. Tadinya, Ilham nawarin aku buat beliin gitar sebagai hadiah wisuda. Namun, karena Tiwi ngerjain skripsi aja malas sekali, tawaran tersebut gugur sudah hahaha.
Namun, beruntungnya punya pacar yang woles sewoles Ilham adalah dia enggak nge-judge aku dan marah-marah segala macam karena aku enggak menepati apa yang aku bilang. Dia cukup paham apa yang menjadi pertimbanganku dalam mengambil keputusan-keputusan dalam hidupku. Setelah diskusi panjang, akhirnya kami sepakat untuk patungan! Yak, pa-tu-ngan.
Aku punya tabungan sendiri sih sebetulnya untuk beli gitar, tapi masih kurang sedikit untuk beli yang aku mau. Nah, karena malam itu sebuah e-commerce menawarkan cashback yang lumayan banget, aku minta Ilham buat tambahin deh. Jadi anggap saja kami patungan untuk beli gitar.
Dari banyaknya jenis gitar yang ada di muka bumi, aku dengan segala pertimbangan sok tauku menjatuhkan pilihan ke gitar akustik. Walaupun, kata orang mah untuk pemula lebih enak pakai gitar klasik. Sebetulnya, ada beberapa alasan kenapa aku lebih memilih gitar akustik disbanding gitar klasik:
- Body-nya lebih cihuy!
Well, walaupun katanya don’t judge a book by it’s cover, aku tetap suka memandang suatu benda dari penampakannya. Termasuk dalam halnya adalah gitar. Dari pengamatanku, gitar klasik ini body-nya begitu doang, kurang menarik. Sedangkan, gitar akustik lebih mempunyai pilihan.
- Suaranya lebih yahud~
Hasil suara dari gitar akustik ini lebih nyaring kalau dibandingkan dengan suara yang dihasilkan oleh gitar klasik. Alasannya adalah perbedaan senar yang dipasang. Gitar klasik pakainya senar nilon, sementara gitar akustik pakai senar string.
- Lebar lehernya lebih ramping
Karena jari-jariku cukup kecil—walaupun gak kecil banget, aku rasa aku lebih cocok untuk memegang gitar akustik. Karena, lebar leher gitarnya yang lebih ramping dibanding gitar akustik. Takut enggak nyampe buat pegang nekan kunci-kuncinya kalau kelebaran dan gak sampai soalnya.
Ketiga hal tersebut adalah pertimbangan utama yang aku pikirin masak-masak sebelum membeli gitar. Yak, selanjutnya adalah pilih yang mana?
Setelah rampung dengan jenis gitar yang mau aku beli, ternyata persoalan enggak berhenti sampai di situ aja. Drama kembali dimulai, karena Tiwi maunya banyak sementara ketersediaan pasar enggak mencakup semua yang diinginkan. Aku pengin gitar akustik dengan cat hitam doff, tapi maunya merek yang terkenal. Alhasil, enggak nemu. Adanya KW. Males, dong.
Setelah berselancar sekian lama di salah satu e-commerce, ada satu gitar merek dalam negeri yang menarik perhatian. Katanya, sih, Iwan Fals pakai merek tersebut. Namun, ya, manalah hamba tau yang sebenarnya yekan? Dengan modal kepercayaan berlebih pada sang penjual, dan sedikit bumbu frustrasi karena mencari gitar akustik hitam doff itu ternyata susah, yaudahlah jatuhlah pilihanku kepada gitar yang dijual di penjual tersebut.
Aku chat sama penjualnya sampai pukul sepuluh atau sebelas malam. Meyakinkan diri sendiri ceritanya. Sampai dikirimi video gitar tersebut. Yha, trik penjual untuk meyakinkan calon pembeli yang suka maju mundur kayak aku gini memang ada aja, ya. Hhh. Sampai aku fix beli gitar tersebut, aku sempat bilang ke penjualnya untuk minta pick yang hitam juga karena aku agak freak dengan segala hal yang hitam-hitam. Eh, diketawain. Kurang ajar. Mana dikirimnya kuning pula. Sebal.
Untungnya, gitar yang datang cukup sesuai dengan harapan. Jadi, tinggal latihannya yang dibanyakin, deh!
Gila, ya, setelah sekian tahun—dari zaman masih sekolah—aku pengin banget punya gitar dan baru bisa kesampaian di saat orang-orang seumurku mikirinnya tabungan untuk nikah. Hwaaah! Namun, ya, aku percaya kalau setiap manusia punya waktuny masing-masing. Termasuk kamu tentunya.
Tabik!
Pertiwi