Kita Tanpa "Kita" | Your Favorite Devil's Advocate
cerpen

Kita Tanpa "Kita"

Rabu, Januari 22, 2014

Klik!

Dan jiwaku kembali melebur, berbaur.

Aku, kamu, kita pernah berada pada suatu masa yang sama. Masa di mana kita menapaki sebuah permulaan dengan harapan berujung pada sesuatu yang indah. Kita pernah melinting gulungan-gulungan mimpi bersama dengan maksud agar sampai lebih cepat pada tujuan yang kita harap. Kita pernah melukis indahnya senja di muka perapian yang sama. Sembari menikmati gemericik api yang menyapa tanpa lelah. Kita pernah menemukan “kita” dan manikmati keberadaan “kita” dalam wujud nyata.

           
Sungguh, dalam sebuah kotak memori itu aku masih menyimpannya: tentang rindu yang menjelma luka, tentang harap yang berujung khianat. Lilin itu masih menyala. Walau redup, namun aku berjanji akan selalu menjaganya agar tetap hidup. Di ujung lorong itu dia berseru lirih, menanti kamu untuk kembali menyalakan lilin-lilin lain dan kembali menerangi lorong ini. Di mana? Di mana, Kamu? Di mana, “Kita”?

Pagi, kulihat pantulan bayang wajahku di dalam cermin. Aku ingin kembali mengulik senyum yang dahulu sempat terukir. Aku tahu, dia masih ada dan menepi. Mungkin, hanya menanti waktu yang tepat untuk kembali ke permukaan dan menyambut sapaan imaji. Pias, wajahku pucat pasi. Ya, layaknya seonggok daging yang siap untuk mati. Diterkam kenangan, dijerat luka, dihempas mimpi.

Kamu pernah datang dengan senyum riang. Menyambut sejumput aku yang masih meragu dengan sebuah kehadiran semu. Matamu, pendar lain selain mentari yang nyatanya tak pernah bosan untuk kunikmati. Entah, kamu memang lain. Di antara sunyi, kamu menyembul sendiri. Menghampiri aku yang masih sedingin salju di tengah gurun siang itu. Kamu pernah membuatku tertawa...... dan sudah pula membuatku terluka.

Lalu apa lagi, Sayang? Kamu menghilang entah ke mana, tanpa jejak yang kamu tinggalkan untuk kucari kelak. Di sini, aku termangu dalam sekilas bayang yang mengekang. Kemudian kamu masih melayang-layang bersama angan yang menggila di atas kepala. Mengapa tak kembali saja? Aku masih ingin mencumbui senyummu yang selalu terlalu indah untuk kukenang.

Aku masih di situ, mengais sisa-sisa keindahan yang dulu pernah menemani kita melangkah. Menyesap perlahan cairan luka dan berusaha untuk menikmatinya sebelum cangkir itu kembali pecah. Lama... lama... hatiku ternyata semakin tak bercelah. Hanya satu nama yang masih enggan untuk sirna. Sampai pada epitaf yang nantinya akan kuukir di bawah pijar senja yang indah. Kemarau tak pernah menyisakan luka sampai ketika tiba saatnya kamu enyah.

Tok... Tok... Tok...

Entah sudah berapa kali pintu kamarku diketuk. Ah, apa dia tak tahu bahwa aku sedang sibuk? Iya, sibuk menata kembali perasaanku yang semakin berkecamuk. Dalam diam aku menggagahi pagi yang semakin menusuk. Luka masih ada di situ, di tempat yang tak seharusnya yang hanya membuatnya semakin busuk. Waktu, bisakah bantu aku menghentikan keadaan agar tak memburuk?

“Nak, kamu sudah bangun atau belum, sih?” tanya wanita renta di balik pintu yang masih belum menyerah sebelum mendengar suaraku.

Yes, Ma’am!”

“Cepat rapikan dirimu! Lihat, jam berapa ini? Mau berapa kali lagi kamu merusak hari pertama kerjamu, Nak?”

 Mau berapa kali lagi kamu merusak hari pertama kerjamu, Nak? Ah, Ibu, kata-katamu memang selalu ampuh untuk membuatku bangkit dari singgasana kemalasanku. Dengan langkah satu-satu yang bisu, kaki-kakiku seolah tahu ke mana tempat yang akan kutuju. Kuputar sebuah keran berwarna biru dan seketika itu pula bulir-bulir itu berjatuhan dari shower yang berada tepat di atas kepalaku. Kutengadahkan wajahku, bulir-bulir air itu seolah menampar aku dan keinginanku yang masih berharap untuk kembali ke masa lalu. Tiada ada yang tahu, ada bulir lain yang menyelinap dan bercengkerama bersama saat itu: air mataku.

Katanya, lelaki itu harus selalu kuat. Nyatanya, aku tak dapat berkhianat bahwa lelaki pun tak ingin dibebat: oleh keadaan yang harus melulu kuartikan sebagai nikmat. Ada sisi lain di mana aku terjerat. Terus meronta hingga akhirnya aku lelah karena beban yang kupikul begitu berat. Lama kupendam rasa, dan ternyata kuasa masih berpihak pada khianat.

Kuseka sisa sabun yang masih menempel di tubuhku hingga lenyap jatuh bersama air ke tempat yang seharusnya. Seandainya saja menyeka luka pun dapat kulakukan dengan mudahnya, pasti tak akan ada yang menyayat hati hingga seperih yang kurasa. Namun harap tetaplah harap, nyatanya aku sedang diselimuti perih yang tak kunjung mereda.

Kulingkarkan jam di pergelangan tangan kiriku, aku sudah kembali rapi dan siap untuk pergi dari kediamanku yang nyaman ini. Semoga kali ini perih tidak berulah lagi.

***

Switch!

Senja di sini ternyata tak seburuk yang kukira. Meja kerja yang menghadap jendela agaknya mengetahui inginku untuk selalu menatap langit di luar sana. Awan mendung menutup langit senja yang banyak dikagumi. Cahaya jingga dan kuning serta semburat merah yang indah itu menghilang entah kemana. Kawanan burung yang terbang dengan pola menawan pun seakan enggan menampakkan wujudnya. Hawa dingin menusuk sampai ke tulang. Dari balik jendela itu dapat kulihat keadaan di luar sana. Muram. Suasana yang senada dengan suasana di dalam sana.

“Nita, bisa bantu aku sebentar?” Pak Riza menyembulkan kepalanya dari balik pintu, dengan kacamata kotak yang serasi dengan wajah tampan dan rambutnya yang disisir klimis ke kanan.

“Baik, Pak,” aku menghampiri Pak Riza dengan senyum ramah.

“Kamu bisa bantu sortir berkas-berkas ini, kan? Kalau kamu bingung, bisa kamu tanya ke Pak Faisal.”

“Baik, Pak, saya mengerti.”

“Baik, terima kasih.”

“Kembali,” balasku dengan senyum yang kubuat sebaik mungkin.

“Semoga kamu betah bekerja di sini, ya.”

“Saya harap juga demikian, Pak. Mohon bimbingannya, terima kasih.”

Pak Riza pergi meninggalkanku dengan tumpukan berkas di atas meja yang harus kurapikan. Ujung mataku masih menangkap sosok lelaki itu hingga wujudnya benar-benar menghilang di balik pintu. Pak Riza adalah seorang eksekutif muda yang sukses dan berkepribadian menarik, menurutku. Sebagai seorang wanita yang selalu ingin tampil sempurna, seharusnya sosok Pak Riza bisa dengan mudah masuk ke dalam dada. Namun tidak, aku masih setia.

Aku hanya pernah bertemu dengannya satu kali, pada masa kuliah saat kami masih sama-sama bisu soal cinta. Aku menangkap sosoknya yang indah dan tak tertandingi oleh siapa pun. Rasa itu masih kutemui, hingga saat ini. Saat di mana aku seharusnya telah memiliki pendamping untuk masa depanku nanti. Tapi hatiku masih dikelilingi jerusi besi, yang di dalamnya hanya ada satu nama yang terpatri. Kamu. Ya, kamu.

Kita pernah menapaki mula dengan cara yang berbeda. Aku di belakangmu, menyapu tiap jejakmu dengan jejakku. Aku di belakangmu, mendorong dengan semangat agar jalanmu tetap laju. Aku di belakangmu, masih setia menanti kamu berbalik dan menyadari bahwa di situ ada aku. Aku masih bisa merasakan kehadiranmu dalam wujud semu. Melinting gulungan-gulungan mimpi bersama yang dikumpulkan satu persatu. Jaraknya masih jauh? Mungkin, namun aku percaya selalu ada pelangi selepas hujan.

Luka masih enggan untuk pergi. Sungguh, aku butuh kekuatan lebih untuk menopang lajuku agar dapat tegak kembali. Bukan, bukan karena wanita selalu lemah. Tapi memang ada kalanya di mana wanita membutuhkan sesuatu untuk bersandar. Untukku, kamu contohnya. Aku telah mencoba bangkit sendiri, bersama pilu yang mengiringi jejakku dan senyum palsu. Aku tak pernah menyangka rasanya akan sesakit ini, jadi ini rasanya sebuah harap yang tergerus waktu yang terus melaju? Meninggalkan jejak-jejak kasih dan serpihan harap pada sepanjang jalan yang pernah kita lewati dalam pertemuan singkat masa lalu.

Aku mengagumimu hingga ke palung hati. Hingga yang terdalam yang pernah ada di sini. Namun, apa kamu tidak pernah menyadari? “Kita” pernah ada pada tempat yang sama. Apa kamu lupa? Saat kita saling bercengkerama pada waktu singkat yang tak mungkin terhapus begitu saja. Aku masih mengenangnya, Sayang. Aku harap kamu pun memiliki rasa yang sama.

***

“Halo...”

“Iya, halo...”

“Kamu masih mengingatku?”

“Kamu siapa?”

“Aku, yang dulu pernah memilin kata kita bersamamu.”

“Siapa?”

“Aku...”

“Siapa?”

“Kamu lupa?”

“Aku tak tahu apa-apa.”

“Hey, ada apa denganmu?”

Tuut... Tuut... Tuut...

Aku baru menyadari bahwa rasanya sesakit ini ketika kamu melupakan segala tentang kita. Aku debu, anggap saja begitu. Sesuatu yang seharusnya tersapu oleh semilir angin yang menderu. Ingin kuhentikan waktu, kuputar mundur dan di sanalah aku: tempat di mana aku pertama kali melihat senyummu yang hingga saat ini tak dapat kuhilangkan potret itu dari tahta tertinggi memori yang kumiliki.

Kamu tak pernah seutuhnya kumiliki, namun kamu menguasai aku seutuh yang kamu ingin. Ini gila, mungkin. Namun, bayangmu tetap saja menghipnotisku hingga aku tak berdaya untuk memalingkan wajah pada bidadari lain di luar sana. Aku hanya menginginkan kamu. Satu nama yang telah mematenkan diri sebagai pemilik hatiku. Iya, kamu. Bisakah kita sejenak bersua kembali untuk mencapai kejelasan tentang “kita”?

“Ben! Makan malam dulu, Nak!”

Ah, Ibu, selalu saja.

“Iya, Bu, sebentar lagi aku turun.”

Langkah gontaiku kembali menemani aku, menuju sebuah ruang bisu lainnya yang akan memenjarakan aku. Aku dengan sebuah bayang semu yang tetap setia mengiringiku.

“Lama sekali kamu?” tanya pria berkumis tebal yang tetap fokus pada makanan di hadapannya itu.

“Ah, iya, Yah. Aku masih sibuk dengan urusanku di kamar tadi. Maaf membuat Ayah dan Ibu menunggu.”

“Kamu baik-baik saja, kan, Nak?” tanya Ibu dengan nada cemas.

“Iya, Bu.”

“Kamu tidak lupa dengan vitaminmu, kan?”

“Tidak, Bu.”

“Kamu sudah berhenti bicara pada dirimu sendiri, kan?”

Hening. Aku hanya tersenyum sembari memotong daging ikan di hadapanku.

***

dan kita selayaknya harus terpisah hanya karena dunia tak dapat menerima kesempurnaan yang kita punya. kita tanpa kita adalah senyata-nyatanya semu yang ada.

Tetiba aku menjelma jadi layang-layang. Ditarik ulur kenangan tentangmu. Tetiba aku jadi layang-layang. Coba lihat ke langit, aku menunggu untuk kamu tarik. Tetiba aku jadi layang-layang. Terbang. Melayang. Layang-layang.

“Ben...”

Beriringan namun tak pernah bersama. Itulah “kita” dalam bentuk yang berbeda. Jauh dari indah namun aku menikmatinya. Mereka bilang ini kebodohan, aku bilang ini keikhlasan. Sebening embun di pagi hari yang selalu menyapa, apakah ini benar-benar nyata? Ah, lupakan. Ketulusan tak melulu butuh balasan, bukan?

“Nita...”

Satu namun berbeda. Berbeda tetapi tetap satu. Kita.

“Benita...”

Jejak tentang kita semasa kuliah. Tentang kita yang bertemu tanpa sengaja. Kita adalah sama, yang dipisahkan oleh batas setipis sutra. Yang bisa muncul tiba-tiba tanpa disengaja. Ini adalah kisah tentang kita, kita yang sejatinya adalah satu dalam jiwa dan raga. Tentang cinta abadi di antara kita yang akan terus menghimpit perjalanan kita.

Kita memiliki kesempurnaan yang sama dan aku mencintainya. Iya, karena kita adalah sama. Karena kita adalah satu dalam cinta. Aku mendekatkan kembali handphone-ku pada telinga. Kembali membuka percakapan dengan seseorang di seberang sana.

“Halo...”

“Ben...”

“Nita...”

“Sampai kapan kita akan terus bersandiwara? Apa kita memang tak pernah diizinkan untuk meraih kita dalam bentuk yang nyata?”

“Kita mungkin hanya terlalu indah untuk bersatu dalam nyata. Kita terlalu sempurna untuk menciptakan kita yang indah.”

“Lalu, apa kita akan diam saja?”

“Jelas tidak, Sayang, kita hanya menunggu waktu yang tepat agar perbedaan kita dapat diterima oleh nyata.”

“Baiklah, aku akan tetap setia menunggumu...”

Tuut... Tuut... Tuut...

Aku kembali menatap handphone-ku yang kini terdiam sunyi—atau bahkan sedari tadi memang hanya terdiam sendiri? Kembali pada kehidupan yang tak pernah kurasa adil untuk dijalani. Tanpa cinta yang pernah dapat kumiliki. Aku masih bisu, ditemani riak imaji yang terus melayangkan ragu. Aku masih di situ, di tempat yang hanya disemarakkan oleh angin lalu. Padamu, Cintaku, tunggu aku.

***

Dari balik pintu itu aku kembali membisu, memasang telinga untuk kembali mendengarkan sayup-sayup percakapan yang dilakukan anakku. Ya, anakku dengan dirinya sendiri. Ini yang selalu kukhawatirkan. Dia terlalu mencintai dirinya dalam wujud lain yang dia akui sempat dilihatnya. Jelas saja anakku tergila-gila, sosok lain itu adalah dirinya dalam bentuk yang berbeda tetapi memiliki kesempurnaan yang sama. Setiap hari selalu diciptakannya percakapan yang membuatku teriris miris. Anakku...

“Sedang apa kamu, Bu?” Ayah datang dengan air muka yang garang.

“Lagi, Yah, anak kita,” aku menunjuk ke arah pintu.

Ayah mendekatkan daun telinganya pada pintu kayu bercat coklat itu kemudian menggelengkan kepala.

“Sudah, Bu, ayo.”

***

Suatu ketika nanti aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana bisu yang mendampingi kita yang selalu dipeluk dusta
Suatu ketika aku ingin melambai pada luka
Setelah kita berhasil lewati aral melintang yang ada
Kemudian kita bisa terus bersama-sama
Seperti angin dan layang-layang di atas sana

(Ben – Nita / Benita)






TAMAT

You Might Also Like

19 komentar

  1. Cerpennya keren banget.. Aku suka diksinya yang sangat ringan, tapi bersinergi.. Bagus..

    BalasHapus
  2. Kita versi yang ini mengena sekaleee! (y) :D

    BalasHapus
  3. kunjungan perdana nih mbak. hehe :D

    BalasHapus
  4. ditunggu "kita' yang lainnya :D!!

    BalasHapus
  5. Ini yang waktu itu kan yak? endingnya keren euy :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang yang lo baca waktu itu belum ada endingnya, ya? Hahaha makasih :)

      Hapus
  6. sebuah tulisan sederhana yang membuatnya lengkap dan kembali utuh. :) Schön

    "salam kenal"

    BalasHapus
  7. Ini -- keren banget! :O *applause*
    kunjungan perdana nih mbak,salam kenal :)

    BalasHapus
  8. Wohohow!
    Setiap tulisan pasti ada penikmatnya
    Asik ya bahasanya bisa sampe kaya gitu, kayanya jauh banget sama apa yang biasa gue tulis, tulisan yang apa adanya, polos dan kurang hidup, dan ini sebaliknya serta lebih berwarna (Jika boleh di bandingkan)
    Dan alur ceritanya juga menarik

    Gue tuh kadang suka labil, baca ini pengen kaya ini, baca itu pengen kaya itu wkwkw

    Coba baca satu lagi ah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, makasih!
      Gue juga masih suka labil kok, Dam huakakaka tapi gue mencoba untuk tetap pada jalur sastra modifikasi :p

      Hapus
  9. kak tiwi sumpah keren. nggak bosen bacanya meskipun agak panjang. malahan kurang banyak. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha makasih, ya! Jangan capek main lagi :)

      Hapus

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer