Red Memories #1 | Your Favorite Devil's Advocate
cerpen

Red Memories #1

Rabu, Oktober 31, 2012


              
          “Bi, Dira mau ngomong nih sama lo!” teriak Rian pada Bianka yang berjalan tak jauh di hadapannya. Dira hanya terdiam mengikuti langkah Rian yang merangkul sahabatnya, mencoba memberi dorongan semangat.
            Bianka dengan cueknya menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. “Apa sih?”
Dira terdiam, Rian yang angkat bicara. “Dira suka sama lo, lo mau ga jadi ceweknya?”
Tanpa kata, tanpa jawaban, Bianka kembali melangkahkan kakinya menjauh dari pertanyaan yang sama. Ini ketiga kalinya, namun kembali tidak sesuai dengan harapannya.
“Pengecut!” umpatnya dalam hati.
Perjalanan pulang yang menyebalkan. Dan besok dia harus kembali ke sekolah, bertemu dengan orang yang sama atau bahkan pertanyaan yang sama.

###
Untuk apa sebuah kata tanpa makna?
Menjalani hari dalam balutan kemunafikan semata
Mengikis kepercayaan yang semakin sirna
Kamu dan aku, bukan kita!
Ungkapan yang bukan ungkapan
Mengapa harus lagi dan lagi?
Lelah menanti yang tak pasti
Hey sang pria abu-abu, menjauhlah dariku
Akan ku kubur rasa ini dalam pusara kekecewaan yang kelabu

Bianka menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Ditatapnya langit-langit kamarnya yang kebiruan, sesosok wajah muncul dalam penglihatannya. Enggan menatapnya, secepat kilat dia memejamkan mata dan menarik selimut hingga menutupi sekujur tubuhnya.
Sosok yang tak asing, bahkan itu adalah sosok yang namanya selalu disebutkan dalam doanya setiap malam menjelang tidur. Tapi di luar dugaannya, sosok itu adalah sosok yang mengecewakan. Untuk apa segala macam benda yang diberikan untuknya jika tak ada kejelasan dari mulutnya? Ah... lupakan! Bunga yang cantik itu telah mengering dan layu.

###
Hari baru, semangat baru dan rasa yang baru. Bianka melangkahkan kakinya menyusuri satu persatu anak tangga menuju lantai dua sekolahnya yang masih terlihat lengang. Pukul 06.03, pantas saja! Kegiatan belajar baru akan dimulai pukul 07.00 tepat. Tapi inilah yang disukai oleh Bianka. Suasana yang hening selalu membuat pikirannya terasa nyaman. Sedang terhanyut menikmati kesunyian, tiba-tiba...
“Dooor!!” suara itu menggelegar di antara sepi yang berkuasa. Arsyaf muncul dari tempat persembunyiannya, tepat di hadapan Bianka yang sukses dibuatnya terkejut.
“Apaan sih lo?! Ganggu!” maki Bianka.
“Marah-marah mulu sih lo sama gue? Takut naksir ya? Hahaha” goda Arsyaf seraya mencubit lembut pipi Bianka.
Dengan kekesalan yang memuncak, Bianka menepis benda asing yang mendarat di pipinya. “Bisa ga kalo ga usah over PD? Ga jelas lo!” Bianka pergi meninggalkan Arsyaf yang masih terpaku menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Gadis itu kehilangan paginya yang indah. Mood-nya seketika berubah, kembali kelabu seperti malam lalu. Dia terus berjalan menuju satu ruangan di ujung koridor, kelas XII IPA 1. Dia mengambil posisi duduk paling depan, tempat favourite-nya untuk menyerap ilmu yang didapat. Dibukanya sebuah buku dari dalam tasnya, buku yang selalu dapat menyunggingkan senyuman saat hatinya gundah, “Life Your Live with Passion” karya Billif Abduh. Senyuman itu kembali terlihat, tepat saat seseorang memasuki ruang kelas itu.
“Ngapain lo cengar-cengir sendiri gitu? Belajar gila? Hahaha” tegur Ray seraya duduk di kursi sebelah Bianka.
“Udah deh, Ray, mood gue lagi ga enak nih gara-gara anak kelas sebelah.”
“Anak IPA 2? Siapa?” tanya Ray penasaran.
“Tuh si Arsyaf! Heran deh, dia hobi banget ya ngerusak pagi gue? Perasaan dulu yang suka dateng pagi gini cuma gue sama lo deh, kenapa dia jadi ikutan sih? Bikin emosi!” adunya dengan nada yang menggebu-gebu.
“Emang kapan lo ga emosi? Hahaha” ledek Ray yang diiringi dengan lipatan wajah Bianka. “Gue bingung deh, lo tuh ketua kelas cewe tergalak yang pernah gue kenal, tapi kok banyak yang suka ya?” lanjutnya.
Bianka menaikkan kedua bahunya sembari melanjutkan membaca buku yang ada dalam genggamannya.
“Gue juga pernah suka sama lo...” Ray menatap Bianka yang juga membalas tatapannya dengan bola matanya yang tampak lebih bulat, “tapi dulu hehehe” lanjutnya memecah ketegangan.
Diam-diam Bianka menarik napas lega dan kembali mencoba memfokuskan matanya pada kalimat-kalimat indah dalam bukunya.
“Bi, lo ga pernah suka sama satupun cowo di sekolah ini?” tanya Ray setelah beberapa saat keheningan kembali bertahta.
Kali ini Bianka menutup bukunya, menatap Ray lekat-lekat seolah memberi sinyal bahwa ada rahasia yang akan dia ceritakan. “Sebenernya, gue suka sama Dira...” akunya.
“Yang bener? Bukannya dia pernah nembak lo ya? Kenapa ga lo terima aja kalo suka? Payah lo!”
“Bukan gue yang payah, tapi dia! Gue ga suka sama sikapnya yang pengecut begitu, kalo dia emang suka sama gue kenapa harus orang lain yang nyatain perasaannya ke gue? Emangnya dia ga punya mulut? Orang ga bisa ngomong aja masih bisa nulis sendiri dan segalanya sendiri, tapi dia? Ah... kecewa deh kalo gini caranya. Sekarang gue mau lupain dia dan mulai hari baru, semangaaat!” ucap Bianka seraya mengepalkan satu tangannya dan tersenyum riang.
“Iya juga sih, yaudahlah gue sebagai sahabat lo akan terus dukung lo kok!”
“Makasih. Oh iya, ngomong-ngomong lo gimana?” tanya Bianka.
“Gimana apanya?” Ray bingung dan balik bertanya.
“Gue tau loh siapa cewe yang lo suka sekarang! Hahaha”
“Hah? Siapa?” Ray kaget dengan apa yang baru saja dikatakan Bianka.
“Sabrina!” tebaknya dengan suara yang lantang.
Sejurus kemudian Ray membekap mulut Bianka, membuat sahabatnya itu meronta-ronta seraya mencoba melepaskan diri dari bekapan Ray. “Jangan keras-keras dong, suka asal nih! Kalo ada yang denger gimana?”
Please deh, Ray! Liat dong masih sepi gini mana ada yang denger? Aneh!” ucap Bianka setelah berhasil melepaskan diri.
“Eh, jaman sekarang tuh tembok juga punya kuping tau!”
“Terus? Gue harus kayang sambil bilang ‘cihuy’ gitu? Ga asik ah!” Bianka bangkit dari duduknya dan melangkahkan kakinya keluar pintu.
“Mau ke mana, Bi?” tanya Ray sedikit berteriak.
“Ke taman, mau ngobrol sama rumput yang bergoyang. Jangan ikutin gue!” perintah Bianka yang tau maksud dari pertanyaan Ray.
Ray terdiam menatap sahabatnya yang semakin menjauh hingga sosok itu menghilang dari jangkauan penglihatannya. Hening kembali menyapa, Ray masih terdiam. Menikmati suara detak jantungnya yang terdengar samar di antara semilir angin. Entah mengapa kebimbangan menguasai dirinya. Dia atau dia? Pilihan yang sulit. Tak dapat membandingkan atara satu dengan yang lainnya, karena mereka jauh berbeda. Siapa lebih baik dari siapa? Entahlah, misteri itu hanya dapat terjawab oleh waktu.
Setelah lama terdiam, dilihatnya satu persatu murid lain mulai berdatangan. Mengarak kesunyian pergi jauh dan semakin menjauh. Ray tersadar dari kebisuannya, mengingat seseorang belum juga kembali. Kaki-kakinya melangkah tanpa diperintah, mencari sahabatnya menuju taman belakang sekolah.
            Bianka masih terhanyut dalam lautan kata-kata pada bukunya ketika Ray menepuk pundaknya.
“Lo ga balik ke kelas?” tanyanya seraya mengambil posisi duduk di sebelah Bianka.
“Belum bel kan? Nanti aja, masih asik nih!”
“Elo tuh kalo udah baca buku begituan langsung lupa sama semuanya.” Ucapnya seraya mengacak-acak rambut sahabatnya yang tergerai lurus sepinggang.
“Sirik aja sih! Kenapa? Cemburu sama buku gue? Hahaha”
Deg! Apa Bianka mengetahui sesuatu? Ah... tidak! Ray mencoba menghapus ketegangan dari wajahnya, menarik napas sedalam yang dia mampu lalu menghembuskannya perlahan. Jantungnya masih berdegub kencang seiring dengan tatapan Bianka yang semakin dalam. Hembusan angin yang lembut itu seakan menampar wajahnya yang menyembunyikan kemunafikan. Perlahan tapi pasti, dia menyerah pada keadaan. Harus diakuinya bahwa...
“Bi...” suaranya sedikit bergetar menyembunyikan ketegangan.
“Ke kelas yuk, Ray! Kayaknya udah mau bel” ajak Bianka seraya bangkit dari posisinya dan menarik tangan sahabatnya itu.
Ray kembali bungkam, dikalahkan oleh keadaan. Mengekor di belakang Bianka, menatap tangan mereka yang saling bertautan. Alangkah indahnya jika mereka dapat “lebih” dari ini. Berulang kali mencoba untuk melupakan, namun kenyataan berkata lain pada diri seorang Ray. Bianka yang selalu ada di sampingnya, membelanya dan tak jarang melindunginya itu membuatnya sulit untuk menerima kata “sahabat”. Namun kembali dia berpikir bahwa sahabat akan tetap ada satu sama lain dalam keadaan apapun, maka inilah jalan terbaik untuk mereka.
Ray berkamuflase, menciptakan keadaan lain di luar kenyataannya. Dan agaknya itu cukup berhasil mengelabui Bianka. Sandiwara yang cantik namun tetap menggoreskan luka. Cinta butuh pengorbanan, dan inilah cinta Ray untuk Bianka.

###


“Bapak mau keluar sebentar ya anak-anak, tolong untuk ketua kelas dan wakilnya agar menjaga kelas supaya tetap tertib.” ucap Pak Wisnu seraya pergi meninggalkan kelas.
Setelah guru matematika itu menghilang di balik pintu, kontan saja para murid berseru riang seakan baru saja lepas dari sangkar yang membelenggu mereka. Ada yang bernyanyi dengan suara keras, memukul-mukul meja dengan suara yang tak kalah kerasnya, menyiapkan tempat yang nyaman untuk mengarungi alam bawah sadar, berlarian tak tentu arah, melempar-lempar kertas dan masih banyak lagi kegaduhan yang mereka buat.
Tanggung jawab. Bianka menoleh ke belakang tempat duduknya, berbicara dengan Tofan, sang wakil ketua kelas.
“Lo urus yang cewe, gue yang cowo” ucapnya.
Bianka berdiri dengan penggaris kayu berukuran 30cm di tangan kanannya. Berjalan ke muka kelas untuk menghentikan kegaduhan. Hal yang pertama dilakukannya adalah menutup pintu agar tidak ada yang keluar dari kelas itu. Ketika tangannya menyentuh handle pintu, tiba-tiba saja ada satu tangan lainnya yang berada di sana hingga kedua tangan itu bertautan. Hatinya bergetar, aneh! Dia mengangkat wajahnya dan menemukan sosok Dira di sana. Tanpa aba-aba dia segera menarik tangannya dan berpaling kembali pada tugasnya.
“Fokus, Bi, fokus! Lupain!” gumamnya pada dirinya sendiri. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dinikmatinya sirkulasi udara yang terjadi selama beberapa detik itu, untunglah karena itu berhasil.
“Yang cewe udah rapi tuh, mau gue bantuin ga?” Tofan mengajukan bantuan untuk Bianka.
“Oh, eh iya boleh...” ucapnya yang sedikit kaget oleh keberadaan Tofan di sampingnya.
“Kenapa sih lo? Bengong ga jelas gitu? Aneh!”
“Bawel lo!”
“Woles dong lo!”
“Lo duluan yang nyolot! Minggir lo, ga usah sok mau ngebantuin gue!” Bianka mendorong bahu kiri Tofan hingga lelaki itu mundur beberapa langkah dan segera berjalan kembali menuju kursinya.
Sendiri Bianka mengembalikan kondisi kelasnya. Dengan susah payah hingga lagi-lagi penggaris kayunya patah, akhirnya keadaan kembali tertib. Bianka kembali ke kursinya, tanpa sengaja matanya bertatapan dengan Tofan yang duduk di belakangnya. Entah tatapan apa namanya, seakan menyiratkan sesuatu yang masih belum terungkap. Bianka memalingkan wajahnya dan Tofanpun melakukan hal yang sama. Mereka terdiam, seisi kelas terdiam, ruang bisu yang semakin lama semakin memuakkan.

###








You Might Also Like

0 komentar

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer