Mysterious Book | Your Favorite Devil's Advocate
cerpen

Mysterious Book

Senin, April 02, 2012


-->
Aku benci aku!
Haruskah cinta berakhir duka?
Haruskah berakhir dengan nestapa?
Atau hanyalah aku yang berduka di atas nama cinta yang bermakna?

***
Awan mendung menutup langit senja yang banyak dikagumi. Cahaya jingga dan kuning serta semburat merah yang indah itu mengilang entah kemana. Kawanan burung yang terbang dengan pola menawan seakan enggan menampakkan wujudnya. Hawa dingin menusuk dalam sampai ke tulang. Lian merapatkan tubuhnya memeluk kedua lututnya. Dari balik jendela dengan teralis besi itu dapat dilihatnya keadaan di luar sana. Muram. Suasana yang senada dengan suasana hatinya.
Butiran-butiran bening itu mulai jatuh menghujam serangkaian rumput-rumput hijau di halaman. Pelan... Pelan... Hujan semakin deras dan petir pun mulai menyambar. Lian agaknya merasa sedikit takut. Makam dia pun menutup tirai itu dan perlahan mulai melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang nyaman itu lalu menarik selimut hingga menutup seluruh bagian tubuhnya. Matanya terpejam begitu rapat ketika sekali lagi petir menyambar.
Di balik selimut itu dia hampir terlelap, namun tiba-tiba dia dikagetkan oleh benda keras yang membentur jendela kamarnya. Apakah itu? Entahlah. Dia tak bergerak dari posisinya. Namun sekali lagi ada suara yang mengagetkan, kali ini jendela kamarnya seperti diketuk. Dia takut tapi pertanyaan-pertanyaan yang terus menghujami otaknya itu membuat dirinya semakin penasaran. Dia berusaha memberanikan diri untuk bangkit dari posisinya dan melihat ke luar sana, memastikan apa yang sedang terjadi.
Dibukanya jendela kamarnya dan digenggamnya teralis besi yang kokoh itu. Berusaha mencari-cari kejanggalan yang terjadi namun tak ada yang didapatkan. Nihil! Lian berpaling menatap langit di atas sana. Ah! Masih saja berwarna abu-abu! Dia benci abu-abu! Mengapa? Karena menurutnya abu-abu itu melambangkan suatu ketidakpastian yang menjengkelkan. Hitam atau putih? Dia tak inginkan abu-abu. Baik atau buruk? Dia tak inginkan orang-orang bermuka dua. Ah! Sudahlah lupakan saja, bukan hal yang begitu penting. Oke, mungkin yang mengagetkan tadi hanyalah suara gesekan dahan saja, begitu pikirnya. Namun ketika dia hendak menutup jendelanya kembali, seperti ada sesuatu yang menahannya. Mungkin tersangkut dan dia berusaha lebih keras lagi menutupnya karena angin bertiup amat kencang menampar wajahnya. Syukurlah, dia berhasil menutup jendelanya.
Lian kembali menuju tempat tidurnya. Rasa kantuk yang semula telah melanda kini hilang lagi. Mungkin efek dari hembusan angin yang kencang tadi. Dia hanya duduk terdiam di pinggir tempat tidurnya, tak tau ingin berbuat apa. Hingga matanya terpaku pada suatu benda di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Benda apa itu? Ya, buku. Sebuah buku yang baru dibelinya kemarin sepulang sekolah dan belum sempat dia baca.
Diraihnya buku bersampul coklat dengan desain klasik yang menawan itu. Unik. Buku ini tak memiliki judul. Entah apa isinya, Lian pun tak mengetahuinya. Karena di belakang sampul buku itu pun tak terdapat sinopsisnya. Benar-benar berbeda dari yang biasa. Dengan alasan penasaran yang memuncak, makan Lian memutuskan untuk membelinya.
Buku itu masih terbungkus plastik bening yang rapi, dibolak-balikkannya buku itu tanpa tujuan yang pasti. Entah dari mana munculnya namun tiba-tiba di benaknya seperti berputar bayangan-bayangan kisah pahitnya dengan keluarganya. Dadanya mulai bergemuruh, sesak! Mengapa dia selalu dibanding-bandingkan dengan adiknya, Noya? Noya memang telah cukup sukses mencuri perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dengan segudang prestasi yang mampu diraihnya di usianya yang masih tergolong amat muda itu. Namun itu semua bukan berarti Lian harus selalu dibedakan dan dibanding-bandingkan, bukan? Ini tidak adil! Pikir Lian.
Bendungan air mata mulai tampak menghiasi bola matanya yang indah. Dia menarik napas dalam-dalam mencoba untuk meredam amarah dan menurunkan emosinya terhadap ketidak adilan yang di dapatnya dari keluarganya itu. Berusaha untuk mengalihkan kembali pikirannya itu ke hal-hal yang sekiranya dapat membuat hatinya senang kembali. Ya! Dibukanya plastic benung yang membungkus buku yang digenggamnya itu. Hhm… Wangi coklat yang semerbak tercium dari dalam buku tersebut. Hal itu pun sukses menyunggingkan senyum manis di wajah Lian. Dia adalah seorang pecinta coklat dan itu artinya dia tidak salah pilih untuk membeli buku tersebut.
Dibukanya halaman pertama buku tersebut dan…

PEMERAN UTAMA BUKU INI ADALAH KAMU!
AYO, MENUJU KE DUNIA YANG MENGASIKKAN…

“Ini buku apa ya? Dongeng?” gumamnya pada dirinya sendiri.


“Hai… Selamat datang!” sapa seotang lelaki tampan di hadapannya dengan senyum yang amat menawan.
“Kamu siapa? Ini di mana?” Tanya Lian heran seraya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut yang dapat dijangkau oleh penglihatannya.
“Aku Ken, pemandu dalam buku ini” ucap lelaki itu.
“Buku?”
“Iya…”
“Ha? Maksudnya?” Lian semakin tidak mengerti akan apa yang sedang terjadi pada dirinya.
“Senang berkenalan dengan kamu, Lian” lanjut Ken, tetap dengan ukiran senyumnya.
“Kok kamu tau namaku?” Lian masih dilanda keheranan.
“Hehehe… ayo ikut ke rumahku!” tanpa menjawab pertanyaan Lian tersebut, Ken menarik tangan Lian dan menuntunnya berjalan menyusuri jalan setapak yang mengagumkan.
Hingga tiba pada satu rumah mewah yang mengesankan…
“Ayo masuk!”
“Ini rumah kamu?”
“Iya. Maaf ya ga sebagus yang kamu kira”
“Ha? Ini istana!” Lian meralat perkataan Ken, Ken hanya tersenyum dan mengerlingkan sebelah matanya.
Deg! Lian tersipu malu namun tetap berusaha agar perubahan rona wajahnya itu tak terlihat oleh Ken. Mereka berjalan memasuki rumah putih dan menawan itu dengan langkah yang ringan. Satu langkah... Terlihat wajah tampan menyenangkan. Dua langkah… Terdengar suara lembut menenangkan. Tiga langkah… Terukir satu senyum mengagumkan. Empat langkah… Lima langkah… Enam langkah… Satu rasa mulai berkuasa.
“Kamu mau makan apa?”
“Makan?”
“Iya..”
“Hhm…” Lian seperti sedang mempertimbangkan sesuatu, mungkin merasa enggan dengan orang yang masih terbilang baru itu.
“Apa aja boleh kok, terserah kamu aja”
“Bingung…” Lian menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal.
“Ngapain bingung?”
“Ga tau, ga usah deh makasih…” Lian tersenyum manis membalas keramahan lelaki itu.
“Kamu kan tamu, jadi aku harus melayani kamu dengan maksimal kan?”
“Ah ga perlu repot-repot”
“Aku ga repot kok, ini emang udah kewajiban aku sebagai pemandu untuk melayani tamu seperti kamu”
Lian pun akhirnya meminta segala sesuatu yang dia inginkan dan belum sempat tersampaikan. Sungguh mengesankan, tak pernah dia merasa layaknya seorang putri seperti ini. Tertawa bahagia di dalam dirinya. Ditambah lagi dengan sosok Ken yang tiba-tiba datang seperti pangeran berkuda putih yang selama ini diimpikannya. Entah dunia apa ini namun Lian menyukainya! Rasanya tak ingin dia kembali ke dunia yang sebelumnya yang seolah tak mempedulikannya. Menganggap dirinya layaknya debu yang tak berguna dan patut untuk disingkirkan.
Di sini, dia dapat rasakan apa itu cinta, apa itu kasih sayang, dan apa itu perhatian. Di ujung pertemuan singkatnya dengan Ken itu, Ken membawanya ke suatu tempat. Di mana? Entah apa namanya namun tempat ini dipenuhi oleh pohon-pohon yang amat tinggi. Daun di ujung-ujung dahannya itu seolah tak ingin mereka terkena sinar matahari yang sedang terik ini, dengan baiknya dipayunginya dua insan tersebut.
Diajaknya Lian mendekat pada satu pohon yang terlihat sangan besar. Mungkin pohon terbesar yang ada di sana.
“Sini deh…” ucap Ken.
“Ada apaan sih, Ken?”
“Liat aja…” Ken tersenyum penuh arti.
Lian pun menurutinya. Dia mendekat dan terlihatlah sebuah ukiran di sana.
KenLian
Lian tersipu malu dan kali ini dia tak dapat menutupi lagi rona merah di wajahnya. Tersenyum begitu lebar. Entahlah. Mungkin ini gila, namun sepertinya Lian telah mengenal lelaki itu begitu lama. Kenal dari mana pun itu masih menjadi tanda tanya besar bagi Lian.
“Ini maksudnya apa?” Tanya Lian.
“Kamu kenal aku, sangat mengenalku jauh sebelum pertemuan ini terjadi”
“Benarkah?”
“Ya, Lian”
“Aku masih belum mengerti”
“Di masa yang lalu kita adalah satu, dan selamanya kita akan tetap menjadi satu. Maka dari itu aku di sini untuk menjemputmu kembali untuk tetap berada di sisiku. Karna aku tak mampu hidup tanpamu. Kamu adalah warna dalam pelangiku, apalah artinya sebuah pelangi tanpa warna?”
“Di masa yang lalu?”
“Ya… Kamu mau kan ikut denganku?” Ken menjulurkan tangannya.
“Ah.. aku.. aku ga bisa”
“Kenapa?”
“Itu kan dulu, semuanya sekarang ga sama lagi. Maaf, aku mau pulang. Bisa antar aku?” Ken sepertinya cukup kecewa, namun dia tetap menuruti permintaan tamu spesialnya itu.


Lian terbangun dari tidurnya yang begitu lelap dengan memeluk buku tanpa judul itu di dadanya. Dibukanya kembali buku tersebut dan…

Every I tried to close this eyes, I can’t! because every I cloce this eyes, I only dream about you my princess.
I LOVE YOU LIAN…
                                                                                      Ken
--> 

You Might Also Like

0 komentar

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer