Balada Anak Sastra | Your Favorite Devil's Advocate
personal

Balada Anak Sastra

Rabu, Februari 25, 2015

Balada Anak Sastra

“Gimana mau berekspresi kalau kuliah di balik jeruji besi?” – Dosen.


Katanya begitu, tapi gue sama sekali gak menganggap kampus ini sebagai jeruji besi. Walaupun, ya, jurusan gue—atau prodi gue tepatnya—sering perang dingin dengan dosen, kaprodi, bahkan kajur. Kalau mau jadi manusia yang lemah, mungkin gue akan menyesali pilihan gue masuk ke kampus ini, ke jurusan ini, ke prodi ini. Iya, kata temen-temen gue, dulu gue udah enak masuk Psikologi UNS. Iya, jadi anak fakultas kedokteran. Kalau dipikir, memang keren. Tapi balik lagi, ini soal panggilan jiwa.

Universitas Negeri Jakarta

Kalau dengar nama di atas, pasti pikirannya gak akan jauh dari sekumpulan calon guru. Tapi gue masuk ke sana bukan karena pengin jadi guru, gue malah gak mau sama sekali jadi guru. Alasannya sederhana, gue murid yang badung dan gak pengin kualat wahahaha! Lagian, setelah kenal sama dunia editorial, gue pengin melanjutkannya lebih dalam. Editor lebih bebas mau maki-maki orang asal teorinya benar. Guru mana boleh maki-maki muridnya? Iya, gue tau gue kejam. Tapi demi kebaikan kalian, muah! :*

Pertama kali gue punya cita-cita adalah saat pertama gue kenal gimana asyiknya menulis, kelas enam SD. Sedangkan gue mulai suka psikologi dan suka baca buku psikologi sejak kelas dua SMP. Nah, ada saat di mana gue benar-benar jatuh cinta sama psikologi, waktu itu awal kelas tiga SMA. Gue baru sadar gimana gue yang lagi jatuh bisa ditampar dan bangkit dengan mudahnya hanya karena baca buku psikologi. Amazing! Tapi sama seperti matematika dan fisika, ternyata gue hanya sekadar suka. Cinta ketiga setelah Tuhan dan orangtua—buat gue—adalah sastra.

Di kampus pendidikan ini, prodi gue masih terbilang sangat baru. Dan hal yang baru ini ternyata sudah mendapat stereotype yang mengiris hati. Kadang sedih, sih, tapi gue gak nganggep ini jeruji besi. Kenapa? Bahas satu-satu ajalah keajaiban-keajaiban prodi sastra Indonesia ini~~~

Penuh perjuangan melawan stereotype

Sebagai akademisi, seharusnya kita ada di pihak yang netral. Betul? Jangan kebawa dendam masa lalu. Harusnya. Tapi nyatanya, masih banyak orang yang mengotak-ngotakkan itu semua. Alasannya? Ya, karena stereotype aja. Sastra biasa disebut dengan non-dik, non-pendidikan. Gegara itu, banyak yang suka buat plesetan, “Ini sastra, ya? Non-dik, ya? Gak berpendidikan, dong?” Dan yang bilang begitu kebanyakan dosen. Dosen yang—kayaknya—belum bisa menerima kehadiran prodi sastra.

Mungkin bukan sepenuhnya salah mereka, kakak-kakak kelas memang kelakuannya agak brutal. Tapi, menjadikan stereotype tersebut jadi pandangan utama kan salah juga. Gak semua anak sastra brutal. Kalau dari penampilan memang jelas beda dengan anak pendidikan, mereka rapi. Ya iyalah, mereka kan calon pendidik, kami orang-orang seni: seni sastra. Dan cara pertama untuk menunjukkan keseniannya jelas lewat penampilan.

Balada Anak Sastra
Informal vs. Formal 
Disuruh rapi, kami juga bisa. Asal gak usah dikekang. Nah, maka itu angkatan gue—terutama yang peminatan sastra—sekarang sedang mati-matian berjuang melawan stereotype tersebut. Bukan dengan menjadi apa yang mereka mau, tapi dengan prestasi tanpa mengubah diri kami sendiri.

Gue pernah presentasi di depan kelas saat matkul dosen yang pernah bilang kami tidak berpendidikan, begini:

Be wild and creative. Kenapa harus wild? Sebagai mahasiswa sastra, pasti sering dapat stereotype sebagai mahasiswa yang liar dan tidak berpendidikan. Nah, tujuan dibuatnya ini adalah untuk mengubah stereotype tersebut. Jika biasanya liar identik dengan sesuatu yang negatif, maka kali ini kami akan membuat keliaran menjadi sesuatu yang positif.”

*kemudian kelas benar-benar hening*

Dosen gaul

Ini, nih, yang langka. Jarang, kan, bisa nemu dosen yang kalo di luar kelas bisa ngobrol santai pake bahasa “gue-elo”? Di antara sekumpulan dosen yang masih terkekang stereotype, ada juga dosen yang berjuang bersama kami untuk menghancurkan stereotype ini. Mereka jelas jadi kesayangan kami. Mereka yang bisa diajak nongkrong bareng, curhat, ngobrol ini-itu secara bebas tanpa kelihatan batas usianya, asyiklah!

  • Bunda Helvy Tiana Rosa
Balada Anak Sastra


Gak usah diperkenalkan, pasti beliau udah ngetop seantero Indonesia. Iya, namanya juga sastrawan. Dan gue percaya bahwa seorang sastrawan adalah orang yang rendah hati. Dan Bunda Helvy adalah salah satu contohnya. Beberapa sastrawan yang pernah gue temui juga begitu. Mereka gak mau dibilang sastrawan, paling maunya dibilang penulis atau penyair. Loveable! <3


Dosen, kalau diledekin pasti ngamuk. Bunda mah enggak.


“Kukira itu brokoli, ternyata itu kembang kol. Tapi dia tak marah, tapi dia tak marah. Dia suamiku tercinta.”


Begitu kami sering meledek Bunda, gegara Bunda gak bisa bedain mana brokoli dan mana kembang kol. Tapi ajaibnya, dosen kesayangan kami itu hanya senyum-senyum saat kami menyanyikan lagu tersebut.


Bunda juga yang beberapa kali nraktir gue makan saat minta bantuan gue dan beberapa teman untuk jadi tim editorial tugas yang ingin dijadikan buku.

  • Pak Irsyad Ridho
Balada Anak Sastra
Chat aja gak keliatan kayak dosen, ya? Yang atasnya itu maba padahal.
Nah, ini yang gue bilang suka ngomong “gue-elo” kalo di luar kelas. Seorang dosen yang begitu karismatik di kelas dan asyik di luar kelas. Beliau adalah dosen yang paling fair. Gak mempermasalahkan absen, karena katanya belajar itu gak harus di dalam kelas. Apalagi kami anak sastra, kami harus liat dunia luar. Kurang ajaib apa, sih, nemu dosen begini?


Beliau gak suka marah, padahal kelas suka berisik. Beliau gak marah, tapi nyindir. Nyindir sinis hahaha! Tapi memang benar, kalau gak mau belajar ya hargai yang mau belajar. Gak usah masuk kelas, lebih fair.


Banyak mahasiswi yang tergila-gila sama dosen satu ini, banyak tapi gue enggak. Gue cuma kagum. Kata temen gue, “Pak Irsyad adalah orang yang paling gak bullshit yang gue kenal.”

Habis matkulnya, pikiran gue selalu cerah. Apalagi kalau lagi bahas feminisme. Duh.

Mata kuliah luar biasa
Balada Anak Sastra

"Bahasa adalah landasan menguasai kehidupan. Kalau tidak menguasai bahasa, bagaimana akan menguasai kehidupan?" - Dosen.

Pilihan gue untuk ngelepas Psikologi UNS dan masuk ke sastra Indonesia UNJ ini gak pernah gue sesali. Well, ada yang bilang kalau filsafat adalah the mother of knowledge. Tapi, ada juga pihak-pihak yang bilang kalau sebutan tersebut lebih cocok disematkan pada sastra. Ah, gue percaya dua-duanya. Dan gue mempelajari dua-duanya.

Percayalah, di sastra Indonesia gak cuma belajar soal bahasa. Banyaaaak banget hal menyenangkan dan pastinya membuat pikiran terbuka di sana. Soal kehidupan dan segala aspek yang menyertainya. Sosiologi, psikologi, sejarah, antropologi, ah banyak! Semuanya dipelajari. Iyalah, karena sejatinya sastra itu sendiri adalah replika kehidupan. Kurang apa? Kebahagiaan mana lagi yang mau dinafikan?

Yap, karena bahagia itu sederhana. Sesederhana mendapat ilmu pengetahuan.

Mahasiswa yang unik

Kalian tau tipe-tipe mahasiswa apa aja? Kupu-kupu? Di sastra Indonesia, ada. Kura-kura? Di sastra Indonesia juga ada. Kunang-kunang? Ah, banyak! Gue yakin di semua universitas, fakultas, jurusan, dan prodi pasti ada deh tipe-tipe kayak di atas. Yakan?

Lalu, apa yang membuat mahasiswa sastra Indonesia menjadi unik?

Ini dia: mahasiswa angin-anginan.

OKE, YANG INI PASTI ASING! Kenapa mahasiswa angin-anginan? Mereka bukan orang-orang yang gak kelihatan wujudnya tapi bisa dirasakan kehadirannya, bukan. Itu mah horror jadinya! Sebetulnya, mereka adalah bagian kecil dari tipe mahasiswa kura-kura yang bertransformasi secara gaib menjadi mahasiswa angin-anginan.

Ini dia penampakannya:

Balada Anak Sastra

Sebetulnya, mereka adalah anak-anak BEMJ yang habis melakukan serangkaian acara PKMJ. Baru pulang, masuk angina ceritanya. Dan gak pake babibu lagi, langsung pada kerokan di kelas. Di mana lagi nemu yang kayak gini coba?



Loveable

Mau bahagia, coba pacaran sama anak sastra. Titik-koma aja diperhatiin bener-bener, gimana kamu? *tingtingting hahaha!

Serius, ah, serius. Mau nyari pasangan yang kayak apa? Romantis? Puisi mewakili. Jago nyanyi? Bisa dibuatin musikalisasi. Jago akting? Banyak aktor di sini. Yang badannya lentur? Ada penari. Terampil mengabadikan momen? Ada fotografer. Suka yang lihai dengan gambar? Banyak pelukis.

Balada Anak Sastra
Realis (Tiwi) dan Manga (Malika)
Sebaik-baiknya jodoh yang ada, ialah anak sastra. Bahagiakan orangtua kalian dengan memberinya mantu anak sastra! Wahahaha!

***
Kami melukis dengan kata-kata. Kami menari dengan pena. Kami bernyanyi di antara rima.
Kami bangga dengan sastra.

Well, gue gak harus menyesali apa pun dari pilihan ini. Karena. Jiwa. Gue. Di. Sini. 




Salam sastra,




Pertiwi Yuliana

You Might Also Like

40 komentar

  1. hahaha tetep paling suka pas bagian terakhir.. quotenya suka bgt

    BalasHapus
  2. Gue iyain aja deh tentang mantunya. "Iya, Tiw. Iya."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Arsitek sama anak sastra juga cocok kok, Haw. *kibas jilbab*

      Hapus
    2. Oh, iya? kenalin dong temennya atu. *ngarep*

      Hapus
  3. segala sesuatu itu harus di nikmati ya kak?? hehe termasuk jadi anak sastra,kita harus bangga akan itu :D

    BalasHapus
  4. Ada-ada aja kerokan di dalam kelas haduh ini x_x

    BalasHapus
  5. Gue juga nyaris masuk sastra. Tapi nggak jadi. Well, apapun itu. Semoga kita sukses dengan pilihan kita masing-masing yaaa. :))

    Kenapa pas kopdar kemaren nggak pake rok, tiw? :p wqwqwq

    BalasHapus
  6. Beh. Asli, deh, lucu sama orang yang menggangap sastra gak berpendidikan. Seriusan. Gue malah mengira anak sastra itu pintar-pintar. Kenapa? Stereotip yang sering gue dengar mengenai anak sastra itu adalah kutu buku. Hahaha. Beda dengan anak teknik, yang gue dengar selalu di setiap kampus. Anak teknik agak brutal. Nyeremin malah.. Gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ya? Beda kampus beda tradisi berarti :3

      Typo mana? :o

      Hapus
    2. MENGGANGAP, mungkin maksud Rahmat, menganggap. :)

      Hapus
  7. Kelas gue juga banyak yang angin-anginan. Yang kerjanya pulang jam 3 pagi, jam 7 udah berangkat ke kampus. :))
    Hahahaha, ayo ubah stereotype itu, Wi. Kamu pasti bisa! SMK BISA!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa, pasti bisaaaa! :)

      Btw, gue SMA. Anak IPA yang nyasar ke sastra karena kadung cinta. *tsaaah

      Hapus
  8. Gue pikir sastra ngebosenin, Tiw. Ternyata..

    BalasHapus
  9. Kutipan terakhirnya boleh sih, tapi kalo gua sih tetep melukis dengan spidol atau enggak cat tembok :P

    Eh dulu gua juga pengen banget masuk sastra, eh tapi malah gak jadi karena gua sadar kebanyakan melihat huruf kepala gua pusing. Hahah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gue juga masih suka ngelukis pake media lukis beneran kok, Ta. Hahaha!

      Gue juga pusing, apalagi kalo udah ke hafalan :/

      Hapus
  10. Kak, itu yang bilang anak sastra gak berpendidikan kayaknya bukan dosen, deh. Kalau dosen mah gak bakalan ngomong gitu... Mungkin mereka hanya menjadi dosen secara superfisial saja, belum seutuhnya, muehehehe.
    Anyway, salam kenal dan izin follow, yaaa :)

    BalasHapus
  11. Kalo di kampus gue anak satra indonesia itu penampilan dan gayanya biasa saja seperti layaknya calon pendidik lainya, mungkin yang agak liar adalah jurusan seni terutama Dekave, Seni rupa, sadesa pkok yg berbau seni gitu lah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kan.............. kami juga anak seni, Kak. Bukan calon pendidik :/

      Hapus
  12. Ada anak sastra yang lagi jomblo buat akuh gak Tiw?

    BalasHapus
  13. Jadi inget, dulu banyak orang yang suka ngerasa aneh pas tau aku pengen masuk sastra.. Katanya, "Mau jadi apa ntr? Emang kamu ga ngerti bahasa itu apa? Kalo mau belajar bahasanya, kuliah aja di negaranya, pasti mau ga mau langsung bisa... Ga harus masuk ke sastra kan"

    Dan impian masuk sastrapun putus, karena ortu juga ga ngizinin -__- .

    Tapi untuk anakku nanti, apapun jurusan yang dia mau, asal memang sesuai dengan jiwa dan serius ditekuni, aku bakal support :) Tau banget rasanya ambil jurusan yang ga sesuai jiwa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, enggak menyenangkan pasti. Jangan sampai anak-anak nantinya malah merasa terjebak sama hal yang gak sesuai minatnya.

      Hapus
  14. Dosenku bilang, "Menulislah! Karena hanya dari karyamu mereka akan mendengar!" :'D

    Aku bangga jadi anak Sastra. Biar dibilang sering jadi penyair. ._.

    BalasHapus
  15. Bagian terakhirnya lebih mantap.

    BalasHapus
  16. ahh, jadi fly .. :D
    ngebayangin nanti jadi anak Sastra Rusia Unpad...
    doain ya akang teteh, moga saya masuk tahun ini! :D

    BalasHapus
  17. ahh, jadi fly .. :D
    ngebayangin nanti jadi anak Sastra Rusia Unpad...
    doain ya akang teteh, moga saya masuk tahun ini! :D

    BalasHapus
  18. ahh, jadi fly .. :D
    ngebayangin nanti jadi anak Sastra Rusia Unpad...
    doain ya akang teteh, moga saya masuk tahun ini! :D

    BalasHapus
  19. Gue pikir kalau di daerah aja stereotipe anak sastra ada. Jakarta juga ada ya? Dosen gue malah dari UI. PhD lagi gelarnya di prodi baru dia yg punya gelar PhD sastra Inggris. Itu tanda sastra sebagai ilmu juga ga bisa dianggap main-main. Malah anak sastra yang jago koding ada di kampus gue. Setelah coba belajar baru paham kalau coding is a poetry

    BalasHapus

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer