Penari yang Terpasung | Your Favorite Devil's Advocate
cerpen

Penari yang Terpasung

Rabu, Mei 07, 2014


            “Aku berada di ruang gelap. Mampu mendengar, namun tak sanggup menatap. Hanya rindu sang pengepul harap, dalam ceria yang siap mendekap.”

***

 “Baru saja aku berbicara pada Dunia, dia berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi, aku tak semudah itu percaya. Karena kurasa, kini hidupku sia-sia.”

Aku kembali diajaknya menari, menelusuri jejak-jejak imaji yang sedaritadi menghantui di dalam kepalanya sendiri. Aku hanya dapat mengangguk setuju ketika dia menghampiriku lagi dan lagi.

“Semakin hari aku semakin sadar, perbedaan ternyata memang sungguh menyakitkan. Mengapa aku harus dilahirkan sebagai aku yang penuh kekang?” tanyanya sembari menatapku dengan matanya yang muram.

Aku hanya dapat menggandeng tangannya, dan kembali mengikuti inginnya untuk melangkah pada tarian berikutnya.

“Kini, aku lebih memilih hidup dengan orangtua baruku: Sepi dan Sembilu. Mereka lebih mengerti aku ketimbang mereka yang terdahulu. Dan mereka—tentu saja—selalu berdiri di belakangku. Di kala aku dipuja maupun dihina tentang segala yang berhubungan dengan pemikiranku tentang wanita yang dianggapnya berbeda.”

“Wanita? Berbeda?” tanyaku padanya.

Gadis itu kemudian menghentikan tariannya, pandangannya menyapu tiap detil ruangan tempatnya menghirup udara. Gelap. Hanya sebuah lampu kecil di samping kanannya yang berpendar redup yang seringkali dianalogikannya sebagai pemikirannya sendiri. Di tengah gelap, dia memancar sendiri.

Namun sayang, tak semua orang dapat menerima perbedaan. Termasuk pula kedua orangtuanya. Pertama, mereka tak menginginkan seorang anak perempuan. Mengapa? Karena dianggapnya anak perempuan tidak dapat berbuat apa-apa.

Keluarganya berasal dari sebuah suku yang memiliki keyakinan bahwa peran perempuan hanyalah di sekitar kehidupan rumah tangga, seperti: berdandan, melahirkan anak, dan memasak. Pendidikan pun tidak seutuhnya diberikan karena hal yang sama. Miris, bukan? Kemudian kini, gadis itu dihadapkan pada sebuah pilihan—atau keharusan?—untuk menikah oleh seseorang yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Gadis itu, pemberontak.

“Berbeda. Karena aku wanita, selalu begitu katanya. Sebab itu aku menciptakan sebuah ruang untukku sendiri. Aku bebas menari dan menikmati duniaku sendiri. Di sini—di dalam sebuah ruang yang menjadi bagian dari ruang gelap ini—aku mengumpulkan kembali puing-puing harap yang sempat tercecer di sepanjang jalan tadi,” jelasnya.

“Tarianmu sungguh indah, Nona. Aku bangga bisa tetap menemanimu di sini walau masih belum dapat membuatmu kembali tertawa.”

“Terima kasih atas segala yang ada, cukuplah sudah kamu mengiringi tarianku di sini. Semoga nanti, ini bukan lagi sekadar bayang imaji.”

Seandainya kamu tahu, Nona, bahwa aku menyimpan rasa berlebih yang tak pernah kamu sadari sebelumnya.

***

Gadis itu, namanya Rindu. Mungkin nama itu ialah nama yang tepat untuknya yang masih saja bertanya tentang mengapa harus ada beda yang membebat.

Keadaannya kini membuatnya terkurung di sebuah ruang gelap. Ruang di mana dia hanya mampu meraba jawab akan tanya yang masih saja berputar dalam benak. Samar. Dia mampu mendengar, namun masih belum sanggup menatap. Dia di sana bagai seorang asing yang tak tahu ke mana arah selanjutnya yang akan dijamah.

Kakinya terpasung di sana, tetapi dia masih dapat menari dengan indahnya. Sungguh kontras. Dia suka sekali menari, dan tariannya sungguhlah membuatku jatuh hati. Penuh ironi, namun tak pernah sedikit pun mengurangi kecantikannya sebagai seorang wanita yang sangat pantas untuk dicinta. Mungkin mereka hanya belum menyadari, bahwa di sini ada seseorang yang amat sangat istimewa.
Penari yang Terpasung
Tetiba pintu itu terbuka.

“Masih tetap dengan keputusan konyolmu itu, Nak?” bapak tua berkumis tebal itu menampakkan sosoknya dari muka pintu yang terbuka. Mulai menghampiri gadis yang terpasung di salah satu sudut ruangan yang gelap gulita. Dari cahaya lampu yang redup di sebelahnya, terlihat tatapan sang gadis yang tajam menatap lurus kepada lelaki yang dipanggilnya “Ayah”.

Sreet, sreet, sreet.

Demikian langkah berat lelaki itu menggema dan memenuhi telinga sang gadis yang masih enggan untuk membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan retoris yang dilontarkan ayahnya. Matanya masih tajam seperti biasa, rambutnya yang tergerai menyentuh bahu itu menutupi hampir sebagian dari wajah cantiknya.

Bapak tua itu merunduk dan menatap lekat kedua bola mata gadis itu yang semakin membulat. Begitu pekat.

“Masih enggan menjawab?”

Ah, pertanyaan retoris itu lagi. Jelas saja gadis itu akan tetap bungkam. Sudah sejak dua bulan lalu dia tidak melakukan interaksi apa pun, termasuk berbicara. Diam, diam, diam, gadis itu hanya tersenyum menyambut pertanyaan demi pertanyaan yang masih terus saja dilontarkan oleh ayahnya. Ya, senyum khianat. Aku masih percaya bahwa gadis itu adalah seorang aktris yang hebat.

Lelah telah menjamah sang ayah, dia membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju di sudut lainnya. Gadis itu masih memerhatikannya dengan seksama, hingga pada saatnya punggung itu enyah dari pandangan mata.

***

Mentari mulai menampakkan sinarnya lagi. Dari celah-celah kecil itu cahayanya mengintip masuk menjenguk keadaan sang gadis yang masih berada pada alamnya yang tabu. Perlahan, matanya terbuka. Ah, aku sangat suka mata teduhnya.

“Selamat pagi,” sapanya dengan suara parau yang khas dari seseorang yang baru saja terbangun dari tidurnya.

“Selamat pagi, ada cerita apa lagi hari ini? Ayo, menari lagi!” ajakku.

“Semalam aku bermimpi, tentang lelaki itu. Lelaki yang hendak dijodohkan denganku. Lelaki itu begitu banyak dikagumi. Mungkin, mereka akan berkata bahwa aku begitu beruntung ketika dia telah memilihku sebagai pendamping, namun aku tak pernah sedikit pun merasakan seperti itu. Mengapa lelaki begitu bebas memilih, ya? Sedangkan wanita, ya, selalu saja diminta untuk diam. Menunggu itu bukan jawaban, bukan? Aku lelah. Ruang ini terasa semakin gelap saja.”

“Ke marilah, kamu memiliki ruang pribadi ini, kan? Tengoklah lagi, kamu bebas di sini. Menarilah lagi, biar aku temani.” Aku mengulurkan tanganku, menggapai genggamnya yang mulai rapuh.

Matanya menyiratkan sembilu. Mungkin, memang kini rasa itu telah mengakar di dalam kalbu. Tetapi aku tahu, dia jauh lebih kuat dari yang tampak oleh mataku. Aku masih mengaguminya tanpa celah, karena—mungkin—sudah timbul sebuah rasa yang dinamakan cinta.

Sesekali aku sangat ingin bicara padanya, namun aku tahu aku masih terlalu rapuh untuknya.

“Aku berada di ruang gelap. Mampu mendengar, namun tak sanggup menatap. Hanya rindu sang pengepul harap, dalam ceria yang siap mendekap.”

Katanya, setiap orang membutuhkan sebuah ruang pribadi. Katanya, hal tersebut diperlukan untuk membebaskan pikirannya sendiri. Katanya, katanya, katanya.

Gadis itu tidak memiliki ruang yang nyata untuk menuangkan pikirannya sendiri, maka itu aku di sini: menemaninya membentuk sebuah ruang imajinasi. Aku selalu diajaknya menari, dengan keindahan kata yang dituliskannya di dalam buku ini. Penari yang sangat mahir. Dia selalu membentuk kata yang menyentil. Sayang sekali bahwasanya dia harus kehilangan waktu untuk menjadi orang yang terkucil.

Mereka hanyalah pandir. Mereka yang tidak dapat menyadari bahwa ada seorang istimewa telah hadir. Hadir di tengah mereka dengan pemikiran yang kikir. Merugilah mereka yang terlambat manyadari ini.

Nama gadis itu adalah Rindu, dan kini ruang imajinya bukan lagi sekadar mimpi. Dia dan dunianya sendiri, membawaku pada sesuatu yang kusebut dengan fiksi.

Ah, ya! Aku belum memperkenalkan diri. Aku Pena, yang akan selalu setia menemani Rindu menjelajahi ruang imajinasi.

Bagiku, Rindu tetaplah Rindu. Pejuang kesayanganku. Aku tahu, cinta ini tidak akan bersatu. Tapi aku meyakini bahwa kami masih tetap padu walau seringkali diiringi pilu.

***

“...and I must ask you to imagine a room, like many thousands, with a window looking across people’s hats and vans and motor-cars to other windows, and on the table inside the room a blank sheet of paper on which was written in karfe letter WOMEN AND FICTION...” – Virginia Woolf, A Room of One’s Own



TAMAT

You Might Also Like

15 komentar

  1. Nice Story :) Visit back ya

    BalasHapus
  2. *ngedip-ngedip kedua mata depan kompi*

    dua kali dibaca padahal, tapi masih belum dapet keseluruhan ceritanya.
    yg gue dapet:

    -gadsi itu dipaksa menikah
    -gadisnya jadi gila
    -pulpennya bisa bicara

    *aaarrgghhh lama-lama gue yg gila ini*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Poinnya ada di awal, tentang perbedaan. Ini cerpen feminis yang gue bikin buat lomba di kampus pas Hari Kartini. Ya, intinya sih tentang keadaan yang selalu membelenggu kaum hawa bahkan sampe sekarang. Miris.

      Hapus
    2. haaa... ngerti mama guru.
      akhirnya saya ga jadi gila.
      terima kasih :)

      Tapi apa iya sekarang pun masih terbelenggu? entah saya yang buta, atau cuma sekadar merasa semua sudah sesuai kodratnya.

      Hapus
    3. Mungkin lo emang gak ngerasain karena lo adalah bagian dari orang yang gak dibelenggu. Gue cewek, terlebih gue belajar soal teori feminisme di matkul teori sastra. Gue baca banyak tulisan tentang feminisme di sana, dan kalau lo bilang begitu, gue bisa aja nyodorin banyak argumen penyanggah, Gimana?

      Hapus
    4. Ga perlu sodorin sanggahan, kalo bisa bagiin tulisannya. Kan lumayan bisa nambah pemahaman, dan kalo memang sangat perlu, siapa tau bisa jadi ikutan ngebuat tulisan yang mengangkat tema feminisme.

      Hapus
    5. Boleh, gue emang udah niat untuk memenuhi blog ini dengan cerita-cerita yang mengangkat tentang feminisme kok. Hihihi :p

      Hapus
  3. terakhir baca cerita ini cuma bisa senyum, ceritanya keren :)

    BalasHapus
  4. keren ceritanya,tapi buat ukuran otak gue kata"nya berat dicerna... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena bacaan untuk otak kita semakin hari harus semakin meningkat, jadi janganlah belenggu otak kamu hanya pada bacaan standar yang itu-itu aja :)

      Hapus
  5. like it. Manteeeppp mbakkk... anak sastra banget... :D

    BalasHapus
  6. two thumbs up kak, tulisannya bagus nih :)

    BalasHapus

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer