Sekelebat Kisah Manis dari Sekolah Kita | Your Favorite Devil's Advocate
personal

Sekelebat Kisah Manis dari Sekolah Kita

Senin, April 22, 2013

Menjadi bagian dari mereka—Keluarga Kita—adalah hal yang sebelumnya bahkan belum dapat aku mimpikan. Menemukan keluarga baru yang begitu hangat dan luar biasa. Di sini, aku banyak belajar tentang berbagai macam hal. Dan pelajaran yang paling sempurna yang aku dapatkan adalah, “bahagia itu sederhana”. Merasakan tersenyum tanpa beban, tertawa lepas tanpa halangan adalah keindahan yang tak terbayarkan.

Memutar waktu kembali ke belakang...

Oktober 2012
Sabtu pagi yang menjemukan, aku masih bermalas-malasan ditemani handphone pada genggaman tangan. Akun facebook terpampang pada layar dan kulihat ada sesuatu yang menarik di sana. Seorang teman lama—Prameswari Puspa Dewi—baru saja membagikan link mengenai sebuah sekolah alternatif di bilangan Bogor, Jawa Barat. Melihat kata “sekolah”, jari-jariku tanpa diperintah seolah tau maksud hati tuannya. Kubaca dan kulontarkan beberapa pertanyaan pada temanku itu. Dia mengajakku untuk turut bergabung bersama sekolah alternatif yang kemudian kutau disebut dengan “Sekolah Kita”.
“Pengen, sih, tapi gue ga bakat ngajar.”
“Ada buat jurnalisnya juga, kok.”
Itulah sepenggal percakapan kami pagi itu. Entah malaikat baik dari mana yang datang merasukiku, sore di hari yang sama aku langsung mendaftar sebagai jurnalis relawan di Sekolah Kita.
Masih di bulan yang sama, proses seleksi berlangsung. Senang bukan main saat mendapat e-mail pemberitahuan bahwa aku lolos tahap kedua (wawancara). Dan yang lebih senang lagi—kalau tidak salah ingat itu hari Jumat—adalah ketika pengumuman penerimaan Kakak Kita Angkatan I telah di-publish di blog Sekolah Kita. Sejujurnya aku sudah benar-benar hopeless saat melihat hingga nomor belasan sementara namaku belum juga muncul, tapi ternyata alam masih mengizinkan aku tersenyum karena tepat pada nomor terakhir di situlah namaku bertengger.

November 2012
Kunjungan pertamaku ke Sekolah Kita. Hari itu, semesta benar-benar menguji kami—aku dan Puspa—yang memang baru bergabung. Hujan deras menyapa kami, mungkin untuk mengetahui sejauh mana kebulatan tekad kami untuk menjadi bagian dari mereka. Pertama kali dalam hidupku, aku melihat senyum dan semangat yang begitu mengagumkan.

Desember 2012
Pertemuan dengan Kak Ana, Kak Rara, Kak Jona dan Kak Ben. Entah harus berkata apa lagi selain, “WOW!”

Januari 3013
Kelas nonton bareng yang pertama diadakan hari itu mengumpulkan hampir seluruh Kakak Kita: mulai dari Tim Tetap, Kakak Kita Angkatan I dan Kakak Kita Angkatan II. Ada adik kecil yang lucu sekali, namanya Aca. Dia sibuk ngemil saat kelas nonton berlangsung dan ternyata cemilannya itu mengundang Kak Puri yang sedang terkantuk-kantuk untuk bilang, “bagi dong!”
Dengan sukacita, si adik yang berusia sekitar 4 tahun ini membagi cemilannya untuk Kak Puri. Kami banyak berbincang hari itu. Aca bertanya banyak hal tentang pribadiku, sampai bertanya rumahku di mana. Cara bertanyanya itu mengundang tawa: tersenyum malu-malu sembari menggigiti ujung kerudung yang dikenakannya. Aku beberapa kali memotretnya dengan kamera handphone-ku yang kemudian kutunjukkan hasilnya padanya. Agaknya dia cukup tertarik untuk mencoba memotret, semakin tinggi rasa ingin tahunya akan hal baru.

Februari 2013
Pertemuan pertamaku dengan Kak Gigi yang jauh-jauh datang dari Jogja hanya untuk memenuhi tugas mengajarnya di Sekolah Kita. Kak Gigi punya kelas khusus—kelas keterampilan—dan hari itu Kak Gigi membawa harta karun berupa seperangkat alat dan bahan paper quilling. Jujur saja, aku yang sedari taman kanak-kanak sudah menyukai hal seperti itu seketika duduk manis dan diam sementara tangan-tanganku berkenalan dengan paper quilling. Kelas Kak Gigi hari itu berakhir dengan begitu spektakuler karena ide brilian dari adik kita yang mengubah karya sederhananya menjadi sebuah hiasan pensil. Aku takjub, aku kalah saing. Haha! Sejak hari itu, aku selalu mendampingi kelas Kak Gigi dan membantu mencari materi ajar untuk kelasnya.

Maret 2013
Peralihanku dari relawan menjadi anggota tetap. Ini bukan main senangnya! Hmm... Mulai hari itu aku dapat panggilan baru dari Kak Monic, “Bu Sekre...”
Bukan hanya itu, adik-adik juga sudah mulai hapal namaku. Ada yang lucu dari adik kita yang bernama Risma (seingatku Risma duduk di bangku kelas 3 SD) sesaat seusai kelas hari itu.
“Kakak, minta nomor HP-nya.”
“Buat apa?”
“Gapapa mau minta aja.”
Aku mengeluarkan pensilku, “mana bukunya?”
Risma menyodorkan bukunya padaku.
Iseng, kutanya, “mau tanda tangan sekalian ga? Hahaha!”
Dan dengan polosnya dia menjawab, “boleh.”
Karena niatku hanya bergurau, maka kukembalikan buku itu yang hanya bertuliskan nomor handphone­-ku. Tetiba dia menyodorkan kembali bukunya padaku, “tanda tangannya mana, Kak?”
“Loh? Emang mau beneran?”
Hanya anggukan yang kudapatkan. Baiklah, merasakan sehari menjadi artis tak apa lah ya. *kibas rambut*
Hingga kini aku jadi sering berkirim pesan dengan Risma.

Lain Risma lain lagi Nuryani, sejak beberapa bulan terakhir dia sering menyapaku dan lucunya dia selalu minta difoto. "Tapi ga mau sendiri, Kak."
Akhirnya dia menarik-narik Risma agar mau difoto bersama dengannya hahaha!

April 2013
Selamat Ulang Tahun Sekolah Kita! Walaupun baru beberapa bulan bergabung, namun aku pribadi sudah merasakan benar perbedaan yang ada pada adik-adik kita.
Sedikit lelah menyiapkan beberapa hal untuk perayaan ulang tahun Sekolah Kita, seusai acara ada gadis kecil yang menghampiriku. Paulina.
“Kakak, sini dipijitin.” Tanpa kuiyakan dia telah memijat bahu kananku.
“Ga usah, gapapa kok.”
“Gapapa, Kakak. Ini rambutnya, Kak.” Paulina tetap memijat bahu kananku sembari menyibak rambutku ke belakang.
Kamu baik sekali, Paulina! Terima kasih :”)

Seminggu berselang...
Pertama kalinya aku berdiri di depan kelas sendirian, biasanya aku hanya mendampingi Kakak Pengajar yang bertugas hari itu. Ternyata seru juga. Saat aku baru masuk kelas, aku mendengar beberapa adik kita berbicara, “sama Kak Tiwi, sama Kak Tiwi.”
Sempat kebingungan juga tadinya, setelah bermain  game akhirnya aku bertanya, “sekarang mau belajar apa?”
“GAMBAR, KAK!” serentak seluruh adik di kelasku yang duduk di kelas 1-3 SD itu pun menjawab dengan lantang.
Baiklah, kuturuti saja mau mereka. Kubagikan kertas pada masing-masing dari mereka dan kuminta menggambar keadaan di laut. Di tengah aktivitas mereka, ada satu orang adik kita yang—aku lupa nama aslinya—dipanggil dengan sebutan Gendon. Dia sangat-sangat aktif bertanya padaku..... dalam Bahasa Sunda. Aku sempat menertawai diriku sendiri karena tak mengerti, tapi untunglah ada Yudi yang bertindak sebagai translator untukku. Di penghujung kelas, karena Gendon terus berceloteh dengan Bahasa Sunda yang aku tak mengerti, aku berkata, “kalian ajarin kakak Bahasa Sunda aja, deh. Gantian, kakak yang les sama kalian.”
Sedikit demi sedikit mereka mengajariku kata-kata sederhana dalam Bahasa Sunda, namun karena kelas hari itu sudah harus selesai maka pelajaran Bahasa Sunda-ku pun berakhir. Minggu depan kita sambung lagi! Hahaha!


Dan yang aku harapkan kini.....

Semoga seluruh bagian dari Sekolah Kita bisa mencapai kesuksesan, Keluarga Kita menjadi keluarga yang semakin sempurna dan hangat, tetap kompak semuanya!


Pars Prototo – Totem Proparte

You Might Also Like

0 komentar

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer