Sumber gambar |
"Mbak, saya mau beli syal itu," kata seorang bapak dengan rambut yang memutih kepada gadis penjaga toko di hadapannya.
"Yang mana, Pak?"
"Itu, yang hijau. Warna surga," bapak itu menegaskan pilihannya.
Pagi,
Masih dengan kamu
Ya, ada sakit lagi yang menyelinapi dada
Ada peri lagi yang merasuki jiwa
Dalam angan aku bersimpuh menanti ajaib kuasa-Nya
Kutinggalkan sendu dan berharap bahagia
Pada-Nya, kukirimkan beribu doa
Melayang-layang bersama bangau yang terbang ke angkasa
Pada-Nya, aku berserah
Pacitan, 22 Agustus 2014, 07.06
Masih dengan kamu
Ya, ada sakit lagi yang menyelinapi dada
Ada peri lagi yang merasuki jiwa
Dalam angan aku bersimpuh menanti ajaib kuasa-Nya
Kutinggalkan sendu dan berharap bahagia
Pada-Nya, kukirimkan beribu doa
Melayang-layang bersama bangau yang terbang ke angkasa
Pada-Nya, aku berserah
Pacitan, 22 Agustus 2014, 07.06
Ada jeda pada tiap bising yang melanda
Ada duka pada setiap tawa yang singgah
Mereka menjelma satu sosok yang selamanya ada
Dalam satu ruang yang kupikir benar nyata
Ada mengapa pada setiap peristiwa
Ada karena yang mengikutinya
Sebab segalanya, kau tahu
: adalah tentang kita yang menjelajahi dunia
Pacitan, 21 Agustus 2014, 20.57
Ada duka pada setiap tawa yang singgah
Mereka menjelma satu sosok yang selamanya ada
Dalam satu ruang yang kupikir benar nyata
Ada mengapa pada setiap peristiwa
Ada karena yang mengikutinya
Sebab segalanya, kau tahu
: adalah tentang kita yang menjelajahi dunia
Pacitan, 21 Agustus 2014, 20.57
Hai, Tuan!
Seiring dengannya, kukirimkan semburat indah yang membentang di angkasa
Kembali ke peraduan, seperti saat ini kuberada
Dalam sesak napas tiada terjamah luasnya dunia, meringkuk dalam bising suara burung yang berkicau tanpa lelah
Harga mati, tak tergantikan adanya
Bisu sempat mengiringi hari di mana aku belum mengenal tempat ini
Dan pada embus napas kesekian, ada nyaman yang berdatangan
Pacitan, 20 Agustus 2014, 22.38
Seiring dengannya, kukirimkan semburat indah yang membentang di angkasa
Kembali ke peraduan, seperti saat ini kuberada
Dalam sesak napas tiada terjamah luasnya dunia, meringkuk dalam bising suara burung yang berkicau tanpa lelah
Harga mati, tak tergantikan adanya
Bisu sempat mengiringi hari di mana aku belum mengenal tempat ini
Dan pada embus napas kesekian, ada nyaman yang berdatangan
Pacitan, 20 Agustus 2014, 22.38
Sumber Gambar |
Tak ada manusia yang sempurna, setidaknya begitu yang
kutahu dari mereka. Namun, mengapa aku selalu menjadi bahan untuk melampiaskan
kemurkaan atas ketidaksempurnaan yang ada? Ini salah siapa? Salahkukah?
Senja, kali ini kembali
lagi aku menanti semburatmu dari balik jendela. Awan kelabu yang masih
menggantung rendah di bentangan angkasa menyingkirkan seberkas kilau jingga di
atas sana. Namun ternyata, keindahan senja memang tiada duanya. Dia masih saja
memesonaku yang sedang dirundung oleh masalah yang tiada henti menyapa.
“Aku
berada di ruang gelap. Mampu mendengar, namun tak sanggup menatap. Hanya rindu
sang pengepul harap, dalam ceria yang siap mendekap.”
***
“Baru saja aku berbicara pada Dunia, dia
berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi, aku tak semudah itu percaya.
Karena kurasa, kini hidupku sia-sia.”
Aku kembali diajaknya
menari, menelusuri jejak-jejak imaji yang sedaritadi menghantui di dalam
kepalanya sendiri. Aku hanya dapat mengangguk setuju ketika dia menghampiriku
lagi dan lagi.
Hari pertama, aku masih mematri
sebuah nama. Memunggungi kenyataan bahwa kau bukan lagi siapa-siapa. Aku masih
dibalut luka, mencoba menerima sebuah kata “tiada”. Di bawah terpaan senja, aku
mangais puing-puing kita. Kita yang dahulu pernah ada. Kita yang sempat
malayangkan harap bersama. Kita yang pernah menjadi kita.
Semalam, pandir kecilmu sempat bermimpi tentang indahnya suatu hari
Ketika tanganmu tergenggam erat hingga tak mampu dilepasnya lagi
Kemudian, keadaan menjelma nyaman ketika kalian sama-sama enggan kehilangan
Berucap janji untuk setia walau masih diselimuti tanda tanya
Inilah sebuah kisah tentang kita...