Hari pertama, aku masih mematri
sebuah nama. Memunggungi kenyataan bahwa kau bukan lagi siapa-siapa. Aku masih
dibalut luka, mencoba menerima sebuah kata “tiada”. Di bawah terpaan senja, aku
mangais puing-puing kita. Kita yang dahulu pernah ada. Kita yang sempat
malayangkan harap bersama. Kita yang pernah menjadi kita.
Semalam, pandir kecilmu sempat bermimpi tentang indahnya suatu hari
Ketika tanganmu tergenggam erat hingga tak mampu dilepasnya lagi
Kemudian, keadaan menjelma nyaman ketika kalian sama-sama enggan kehilangan
Berucap janji untuk setia walau masih diselimuti tanda tanya
Inilah sebuah kisah tentang kita...
Tuan, ingatkah saat pipi kiriku bercumbu dengan bahu kananmu?
Kemudian hangat menjalar ketika lengkung tanganku melingkari tubuhmu
Tanganmu yang selalu menjaga agar aku tetap pada posisi terbaik saat itu
Tak lagi terpikir olehku tentang bagaimana kesalahan yang begitu tepat merasukiku
Yang ada kini hanyalah aku, kamu dan kegilaan yang perlahan mengukir harap akan waktu
Klik!
Dan
jiwaku kembali melebur, berbaur.
Aku, kamu, kita pernah
berada pada suatu masa yang sama. Masa di mana kita menapaki sebuah permulaan
dengan harapan berujung pada sesuatu yang indah. Kita pernah melinting
gulungan-gulungan mimpi bersama dengan maksud agar sampai lebih cepat pada
tujuan yang kita harap. Kita pernah melukis indahnya senja di muka perapian
yang sama. Sembari menikmati gemericik api yang menyapa tanpa lelah. Kita
pernah menemukan “kita” dan manikmati keberadaan “kita” dalam wujud nyata.
Ini adalah penampilan dari para juri Festival Musikalisasi Sastra Indonesia (Falsindo) yang keempat pada 7 Januari 2014 lalu. Sangat apik dan menarik dengan perpaduan berbagai alat musik.
- Pembaca puisi : Kak Mussab
- Pemain jimbe : Kak Oji
- Pemain gitar + backing vocal : Kak Ijul
- Pemegang alat musik bambu (entah apa namanya) + vocal : Kak Dina
[Puisi] Tanah Air Mata - Sutardji Calzoum Bachri
tanah airmata tanah tumpah darahku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke mana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami
Salam Sastra,
Pertiwi Yuliana
Aku ingin menikmati rasa yang sederhana. Sesederhana waktu
yang menjawab harapku dengan hadirnya dia. Dia yang matanya selalu berpendar
indah. Dia yang senyumnya tak henti buatku terpana. Aku inginkan dia untuk
mengiringiku menikmati hari dengan nada cinta. Nada-nada bahagia seperti yang
kudengar mendampingi mereka.
Lagi. Dalam selembar surat
malu-malu yang sampai di tangkanku, kamu mengungkap isi hatimu. Kembali
mengawinkan ketakjuban dan keheranan dalam diriku. Kamu memang tetap kamu, kamu
yang terlalu angkuh untuk berada di bawahku. Ya, nyatanya kamu selalu menggilai
hormat dari mereka yang harusnya ditujukan padaku. Kamu tahu, aku tahu, ini
bukan saat yang tepat untuk membicarakan rasa itu. Kamu, tulisanmu, suratmu,
berakhir sama dengan kumpulan sampah yang tak berharga di sana.
Mungkin, sedetik pun tak pernah terpikir bagaimana bisa aku menjatuhkan rasa pada seseorang yang jauh berbeda
Adalah hal yang sia-sia jika aku tetap saja menghujat keadaan yang tak tahu apa-apa
Mungkin, waktu punya tujuan tertentu membiarkan aku terjebak sembilu
Membisu dalam diam dan terus bertanya, "apakah ini salahku?"
Aku, kamu, dia...
Riak di antara bisu bergemuruh bersama waktu yang tak kunjung sampai menyelami asaku
Mengikis senti demi senti jarak yang membentang di alunan nada rindu antara aku dan kamu
Dia di sana, di antara karang yang mengganjal kakiku untuk berenang lebih jauh
Kamu, masihkah menungguku?
Karena aku mungkin tidak akan sampai tepat waktu.....
Aku terbangun masih dengan rasa yang sama. Rasa yang masih mengharapkan kamu untuk menutup lubang-lubang hati yang menganga. Aku tahu, harapan itu masih ada. Benar kan, Tuan? Mencintaimu seperti sapaan embun pada pagi hari. Begitu lembut, menyisakan jejak vertikal yang samar pada daun-daun di halaman.
Kuketuk-ketukkan sendok di atas meja bulat berwarna coklat dengan aroma jati yang khas. Beri aku segelas coklat panas. Coklat panas dengan rasa kamu di dalamnya. Mungkin dengan begitu, aku dapat menikmati sedikit saja permainan hatimu. Kusesap perlahan sembari menikmati aroma kamu di dalam cangkirku. Ah, haruskah aku kehilangan aroma yang selalu kurindukan?
Coklat panas rasa kamu, buat hatiku terbuai dalam cinta yang panas membara. Serpihan rindu terus menyapa, diiringi buliran air mata yang turun tiba-tiba.
Coklat panas rasa kamu, hanya tinggal separuh di cangkirku. Aku ingin kamu tahu, hatiku tulus hanya padamu. Aku belum siap kehilangan kamu. Kamu yang menghidupkan hariku. Kamu. Aku. Kita.
Tetes terakhir kusisakan dalam cangkirku. Mungkin nanti, ada tetes-tetes coklat panas lainnya yang akan kembali mengisi cangkirku. Entah itu masih dengan rasa kamu ataukah rasa lainnya yang akan singgah kemudian. Selamat tinggal, Kamu.
Bukan tanpa makna aksara tercipta
Bukan tanpa maksud Anda berkata
Mencintai cinta, mencintai mereka
Kita berpijak pada tanah yang sama
Dari segi mana kita berbeda?
Hanya Tuhan yang tahu segalanya
Tentang iman semasa hidupnya, tentang kasih pada masanya bernyawa
Bukan kita atau mereka, hanya Dia yang maha di atas dunia
Kemudian segelintir orang membuat kotak dalam hidupnya
Memberi jeda pada mereka yang dianggap berbeda
Memandang kehidupan sebelah mata, dari sudut yang seolah paling sempurna
Merasa berkuasa atas segalanya, menggenggam dusta yang semakin menggila
Kita satu dalam pijakan tanah yang sama
Kita satu dalam hirupan udara yang sama
Kita satu dalam sumber air yang sama
Siapa kita?
Kumandangkanlah, "INDONESIA!"
Bukan tanpa maksud Anda berkata
Mencintai cinta, mencintai mereka
Kita berpijak pada tanah yang sama
Dari segi mana kita berbeda?
Hanya Tuhan yang tahu segalanya
Tentang iman semasa hidupnya, tentang kasih pada masanya bernyawa
Bukan kita atau mereka, hanya Dia yang maha di atas dunia
Kemudian segelintir orang membuat kotak dalam hidupnya
Memberi jeda pada mereka yang dianggap berbeda
Memandang kehidupan sebelah mata, dari sudut yang seolah paling sempurna
Merasa berkuasa atas segalanya, menggenggam dusta yang semakin menggila
Kita satu dalam pijakan tanah yang sama
Kita satu dalam hirupan udara yang sama
Kita satu dalam sumber air yang sama
Siapa kita?
Kumandangkanlah, "INDONESIA!"
Aku debu, anggap saja begitu. Sesuatu yang selayaknya tersapu oleh semilir angin yang menderu.
Kuhentikan waktu, kuputar mundur, dan di sinilah aku.....
Lima tahun tiga belas hari sebelum hari kelahiranku, dunia semakin semarak karena kehadiran satu lagi suara merdu. Aku berada di situ, di sudut ruangan bernuansa putih yang sedang haru.
Kukembalikan waktu, bersama keadaan yang masih tampak biasa.....
Kuhentikan waktu, kuputar mundur, dan di sinilah aku.....
Lima tahun tiga belas hari sebelum hari kelahiranku, dunia semakin semarak karena kehadiran satu lagi suara merdu. Aku berada di situ, di sudut ruangan bernuansa putih yang sedang haru.
Kukembalikan waktu, bersama keadaan yang masih tampak biasa.....
Aku sedang duduk sendiri, terdiam di tengah duniaku sendiri. Dunia imajinasi yang selalu memanjakan aku. Aku dan duniaku. Temaniku merintih dalam harap penuh makna. Akankah?
Untaian kata terlontar begitu saja. Jemari menari dengan indahnya. Aku dan harapku yang tak lekang oleh waktu. Merintih dan tertatih menanti perhatiannya teralih. Aku...
Bertanyalah pada cermin itu, aku memang masih sendu...
Malam, selalu menjadi tempatku mencurahkan segala yang kurasa
Kini sakit lagi yang ingin kubagi
Bersiaplah, tisu-tisu itu akan basah
Aku tak melulu meminta makna, namun bisakah sekali saja kau memandangku ada?
***
Ada apa dengan senja?Bukan apa-apa, senja hanya sedang menitikkan air matanya yang rindu akan malamSenja berharap dapat menemui malam sejenak sebelum kepergiannya tibaHai, malam!Masihkan bulan menemanimu di sana?Senja masih sendiri, masih berusaha mengkristalkan harapannya hanya demi menanti yang tak pastiBisakah melihat ketulusan di sana?