Banyak orang yang bilang bahwa
aku adalah sosok yang ekstrovert, tapi menakutkan di waktu yang bersamaan. Mereka
tidak salah. Hanya saja, yang mereka lihat adalah aku yang “kuciptakan” dalam
diriku.
Bagaimana bisa manusia mencipta dirinya yang lain untuk tumbuh di
kehidupannya?
Mungkin, pertanyaan tersebut yang
akan segera muncul ke permukaan.
Baik. Akan kukembalikan
pertanyaan tersebut dengan sebuah pertanyaan lain: Masihkah ada hal yang mustahil di dunia ini jika manusia masih mau
mencoba dan berusaha?
Mari mengheningkan cipta…
***
Sejatinya, aku selalu percaya
bahwa frasa “muka dua” bukanlah sebuah umpatan. Jika ada yang mengatakan padaku
bahwa aku bermuka dua, maka aku akan dengan santainya menjawab, “Muka gue
banyak!”
Tuhan mencipta manusia dengan
perasaan bukan untuk menjadikan mereka—atau kita—menjadi makhluk-makhluk yang
terlampau sensitif sehingga menimbulkan perpecahan sesama. Kadang, hanya karena
tersinggung saja tali persaudaraan bisa rusak karenanya. Bahkan parahnya,
pertumpahan darah seringkali tak terelakkan pula.
Itulah, namanya Manusia. Makhluk paling
sempurna yang kadang melepas akal sehatnya.
***
Penghujatan atau kalimat kebencian
bukanlah hal yang asing bagiku. Sebab, aku mencipta “aku” yang melulu tampak
jahat dan menyebalkan di mata manusia dominan. Mengapa? Bukankah dicintai lebih
menyenangkan? Aku punya alasan. Memang, di dunia ini banyak sekali limpahan
cinta. Namun seringkali—selain cinta dari Tuhan dan orangtua—cinta itu diiringi
oleh kepentingan-kepentingan. Jadi, aku mencipta diriku yang “bukan menjadi
favorit masyarakat dominan” agar aku bisa menggenggam cinta dari orang-orang
tanpa kepentingan. Dan sekarang, aku bahagia—sangat bahagia—dengan orang-orang
yang menerima aku sebagai apa adanya.
Kata “ekstrovert” yang tersemat
pada namaku hanyalah untuk aku yang lain. Aku yang aku cipta dengan banyak wajah.
Banyak wajah untuk beradaptasi sana-sini. Banyak kepribadian untuk masuk dan
memahami banyak kondisi. Jadi, aku bermuka dua? Bukan, mukaku banyak! Iya,
sebab aku harus membuat diriku mudah diterima oleh lingkungan baru. Dan lagi,
aku harus membuat otakku tetap positif dalam segala situasi. Termasuk saat
mereka mengumpat dengan frasa “muka dua”.
Aku sering mengatakan bahwa aku
adalah perempuan yang pendiam, tapi mereka selalu menafikan hal ini. Sejauh yang
aku ketahui, setiap manusia memiliki sisi ekstrovert dan introvert. Hanya saja,
mereka akan tampak pada situasi tertentu dan seringkali satu di antaranya lebih
dominan dari lainnya. Pun demikian dengan aku—dan kalian juga. Namun jika
ditanya, aku lebih suka sendiri. Menjauh dari suara bising dan menikmati
bercinta dengan diri sendiri. Aku lebih suka mengulik kembali aku dan
mengungkap apa yang tidak bisa aku ungkap pada manusia lain. Kadang dengan
membaca, menulis, berbicara sendiri, menangis, atau mendengarkan musik.
Musik, buatku, merupakan sesuatu
yang penting. Sangat penting. Sebab aku bukan manusia yang bisa secara gamblang
mengungkap apa yang aku rasa. Sebab aku pernah berkali-kali kecewa pada
orang-orang yang kupercaya, dan lukanya masih menganga. Musik adalah sarana
untuk menyampaikan pesan tersirat tanpa harus diketahui oleh banyak orang. Musik
adalah embus napas yang sempat tertahan dan menyesakkan.
Salah satu musik yang selalu
masuk ke dalam aku adalah milik Efek Rumah Kaca. Untuk band indie satu ini, aku
suka karena liriknya yang sarat makna. Pun dengan diksi yang tak biasa dan luar
biasa indahnya. Siapa yang tak jatuh cinta? Pada metafor cantik yang mengulik
sisi pelik dalam hidup yang seringkali membuat mata mendelik.
Tubuhmu Membiru… Tragis
Setelah sempat sedikit
menyinggung soal lagu ERK yang berjudul Mosi
Tidak Percaya dan Sebelah Mata,
kali ini giliran Tubuhmu Membiru… Tragis
yang menjadi target utama. Entah kenapa akhir-akhir ini sedang sangat suka
dengan lagu ini. Lagu pembuka dari album Kamar Gelap milik ERK ini sedang
menebar muram yang begitu kencang.
Kamu ingin melompat, ingin sekali melompat
Dari ketinggian di ujung sana menuju entah apa namanya
Coba bukalah mata indah di bawah sana
Tutup rapat kedua telinga dari bisikan entah di mana
Kauterbang, dari ketinggian mencari yang paling sunyi
Dan kaumelayang, mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata
Bunuh diri. Yap, usut punya usut
lagu ini mengisahkan tentang pecandu narkoba yang tak dapat lagi membedakan
yang maya dan nyata hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Depresi yang
begitu tampak di lagu ini membawa aku pada sebuah kejadian yang terasa begitu
nyata.
Kulihat engkau terkulai
Tubuhmu membiru… tragis…
Tragis…
Aku mungkin tidak begitu dekat
dengan pecandu, namun hal yang sama bisa jadi terjadi pada orang-orang yang
suka melakukan self-injury. Aku bahkan sangat, sangat dekat dengan orang ini. Dari
yang kebiasaannya ringan seperti menggigiti kuku, hingga berat seperti berniat
bunuh diri seperti pada gambaran di lagu ini.
Perihmu yang menganga tak hentinya bertanya
Hidup tak selamanya linier, tubuh tak seharusnya tersier
Coba bukalah mata indah di bawah sana
Tutup rapat kedua telinga dari bisikan entah di mana
Kauterbang, dari ketinggian mencari yang paling sunyi
Dan kaumelayang, mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata
Kulihat engkau terkulai
Tubuhmu membiru… tragis…
Tragis…
Di bait-bait ini, seperti biasa, ERK membawa kita pada kenyataan bahwa hidup bukanlah hal yang dapat kita kesampingkan. Untuk melakukan segala hal di dunia, modal utama yang harus kita genggam adalah kehidupan kita. Hidup tak selamanya lurus, lonjakan dan turunan terjal melulu menyambut. Maka, kita sebagai manusia-manusia yang diciptakan Tuhan sebagai pemimpin harusnya dapat memenangkan itu.
Kadang, dalam kasus self-injury
sendiri, banyak orang yang menuding bahwa pelaku hanyalah oknum yang mencari
sekadar perhatian semata. Namun nyatanya, untuk yang bersangkutan ini bukan
hanya sekadar hal sederhana. Self-injury membawa mereka pada ketenangan,
kebebasan, atau bisa jadi penghukuman terhadap diri sendriri yang mereka coba
lakukan atas kesalahan yang telah dibuat. Banyak alasan, namun sedikit yang
paham. Beri mereka waktu untuk berbicara dan melepas beban. Beri sedikit ruang.
Dengarkan. Hanya dengarkan.
Jangan menjauh, jangan buat
mereka kesepian. Mereka—dengan atau tanpa kita sadari—seringkali ada di antara
manusia normal yang dominan. Jadi, mau mulai mengasah kepekaan akan sekitar,
kan?
Terima kasih untuk kesediaan
kalian.
Salam,
Pandir Kecil