Ada terang di antara gelap, ada riuh di tengah diam. Dan terima kasih, Sayang, kamu membuka mataku dengan matamu yang telanjang.
***
Dua.
Kamu membuka pintu pertama. Di sana, kulihat betapa riuh persimpangan jalan dengan orang-orang yang menaruh rasa penasaran. Ada apa? Aku tak dapat melihat apa yang berada di tengah mereka. Beberapa darinya mulai saling berbisik, mencipta suasana yang semakin tak terbaca.
Ingin rasanya untuk mendekat, mencari tahu apa yang sedang mereka lihat. Namun sayangnya, pintumu tak terbuka sedemikian lebar. Lagipula, hujan terus menderas. Menghentikan langkahku untuk mendapat jawaban. Aku hanya dapat berdiri di muka pintu dengan kemelitan yang tak tertahankan.
Satu.
Di pintu selanjutnya, kamu memperlihatkan hal yang berbeda. Aku tahu sekali tempat itu. Aku hafal betul kejadian itu. Dan tentu saja, aku tidak akan memaafkan diriku. Sebab, dari sepanjang perjalanan kita, itulah saat pertama aku benar-benar membuatmu hancur berantakan.
Maaf, Sayang. Sebab, sungguh, bukan pula mauku untuk berkata demikian. Bukan hanya kamu yang diremukkan keadaan, tapi aku pun lebur dipermainkan kondisi yang begitu acak-acakan.
“Bagaimana dengan kita?” tanyamu di salah satu sudut taman.
“Aku sudah berusaha meyakinkan ibuku tentang kita, tapi... beliau tetap tidak mengubah keputusannya. Kita tidak bisa bersama,” suaraku semakin tidak bertenaga. Aku tahu, sangat tahu, bahwa aku telah menyakitimu begitu dalam. Dan, kutahu bahwa kamu pun tahu, aku tidak pernah menginginkan hal demikian.
“Kamu sudah berjanji untuk melamarku minggu depan,” katamu. Kamu masih mencoba memperdengarkan suaramu yang tegar, walaupun aku dapat merasakan vokalmu yang bergetar.
“Aku tahu dan aku mau. Sungguh. Namun, aku tidak menggenggam restu ibu.”
Sekian lama senyap menguasai perbincangan kita. Aku dan kamu sama-sama mencoba mengalihkan pandang ke mana saja. Mulai dari lampu-lampu berwarna indah yang menyala, sampai pada mengamati siapa saja yang berlalu-lalang di sana.
“Baiklah, tidak apa-apa. Terima kasih penjelasannya,” katamu pada akhirnya.
Perempuanku, kamu masih terus mencoba melengkungkan senyum manismu di keadaan seperti itu. Walaupun, ya, aku tahu tanggul matamu telah menggeletar untuk luruh. Kamu menjauhkan punggungmu dari pandanganku setelah sebelumnya menjabat tanganku dengan tanganmu yang mulai terasa kaku.
Aku tidak akan melupakan kejadian itu. Dan, hujan kembali turun.
Empat.
Hei. Kali ini kamu membuka pintu kamarmu dengan sangat lebar, Sayang. Akhirnya aku dapat melihat apa yang kamu lakukan.
Kamu baru saja bangun dari tidurmu dengan mata yang begitu sembab. Kamu tampak sangat kacau. Dan tetiba, kamu terkunci dalam keheningan. Kamu menatap gawai yang hampir selalu kamu genggam. Air mukamu seperti tersentak. Apa yang sedang kamu lihat?
Kemudian, kamu berteriak. Kencang. Sangat kencang.
Tiga.
Apa ini? Kali ini, aku dapat melihat kejadian di balik pintu pertamamu dengan lebih dekat. Dengan berbingkai laman media sosial, tempat dan kejadian ini diabadikan. Namun, persimpangan jalan ini belum tampak seramai tadi. Hanya menampilkan lampu-lampu indah dengan nyalanya yang berwarna-warni. Mengagumkan. Kemudian....
Bruuk!
Suara benturan yang sangat keras. Objek pun beralih. Tiada lagi lampu-lampu cantik. Perlahan, orang-orang mulai datang menghampiri satu titik. Ah, itu dia! Kejadian yang aku lihat di awal tadi. Dengan posisi kamera yang tidak beraturan, rekaman amatir ini mulai memperjelas tanda tanya yang kupunya.
Menyusup di antara celah-celah kepala yang mulai berbisik, “Bunuh diri, bunuh diri,” tampak jelas bahwa telah terjadi sebuah tabrakan di tengah jalan. Darah tercecer menimbulkan bau anyir yang mengusik penciuman.
Semakin dekat, semakin dekat. Korban mulai terlihat.
***
Aku sangat menyesal. Kali ini, aku tak lagi dapat merengkuhmu. Aku hanya dapat membiarkanmu membuka pintu-pintu kejadian yang kamu lihat lewat matamu. Layaknya puzzle yang memanggil untuk diselesaikan, aku mulai menyusun keping-keping kejadian yang begitu gaduh di dalam sana.
Aku tahu, kamu sangat terpukul.
Dan.
Maafkan aku.
Lagi.
Kali ini, kali kedua aku benar-benar membuatmu hancur berantakan.
Tidak akan lagi.
Sebab, aku sudah pergi.
TAMAT
NB: Cerita ini dibuat di asrama Kampus Fiksi saat jam praktik menulis. Kami ditugaskan untuk membuat sebuah cerita dengan latar tempat keramaian favorit yang telah kami sebutkan sebelumnya. Dalam waktu kurang dari tiga jam, aku menghasilkan sebuah flash fiction 600 kata ini. Bisa tebak tempat keramaian apa yang kusebutkan?
NB 2: Aku senang, aku bisa menyelesaikan sebuah cerita fiksi dalam waktu sesingkat itu. Biasanya, sehari pun tidak cukup.