Sumber gambar: inberg.com, diedit oleh Ilham |
“Mbak @Pertiwi Yuliana kok saya belum di-followback, ya?”
“Di aku juga enggak, @Pertiwi Yuliana.”
“Saya sudah lama follow @Pertiwi Yuliana, sampai sekarang belum di-followback.”
“Sepertinya hits sekali Mbak @Pertiwi Yuliana ini.”
Terima kasih banyak, Kakak-kakak sekalian. Akhirnya setelah sekian lama menjadi narablog, saya baru tahu kalau saya sudah hits (sekali). Lelah menulis bertahun-tahun, hits hanya dengan cara tidak mem-followback akun-akun narablog lain yang isinya tidak sesuai dengan pribadi saya. Sungguh suatu cara menjadi hits yang tidak keren sama sekali. Terus ngapain nulis panjang-panjang sekian lama? Hahaha.
Media sosial memang membuat segalanya menjadi tampak instan. Eh, atau cara berpikir kita yang kependekan?
***
Seperti yang sudah seringkali saya tuliskan, saya bermula dari bibit cita-cita seorang anak perempuan kelas enam sekolah dasar yang secara tiba-tiba menemukan kegemarannya akan dunia sastra. Sejak itulah dia mengarahkan hidupnya untuk tetap di jalan yang dia inginkan. Tahun demi tahun berselang, anak perempuan itu menemukan sebuah media yang membawa tulisannya lebih banyak dibaca. Hingga anak perempuan itu menjadi….
Saya.
Saya yang sekarang. Seorang narablog yang masih belum banyak dikenal karena pribadinya yang introvert bukan buatan. Saya yang sekarang. Yang beberapa kali dicurigai menjadi penyusup di acara yang mengundang narablog karena (katanya) saya belum pernah terlihat di acara lain sebelumnya. Padahal, saya sudah mulai wara-wiri di acara yang mengundang narablog sejak tahun 2014. Tidak apa-apa, saya memang tidak mengidam-idamkan untuk menjadi terkenal.
Oh iya, omong-omong soal sudah wara-wiri di acara yang mengundang narablog sejak tahun 2014, saya merasakan betul bagaimana bedanya dulu dan sekarang. Saya pernah datang ke acara YOTNC 2014 sebagai seorang narablog. Tidak ada kewajiban membuat tweet hingga trending topic, tidak ada kewajiban unggah gambar ke instagram, tidak ada kewajiban menulis di blog, tidak mendapat uang pengganti transportasi, bahkan tidak mendapatkan goodie bag. Hanya bisa masuk ke venue acara secara gratis saja. Namun, saya senang. Karena saya menyukainya. Jarak tempuh yang jauh pun bukan menjadi halangan.
Sementara sekarang, dengan semakin riuhnya dunia blog beserta segala dramanya, saya merasa kesenangan itu mulai hilang. Bukan karena banyaknya kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang narablog ketika datang di suatu acara, ya. Saya rasa hal tersebut masih sesuai dengan apa yang didapat oleh narablog setelahnya. Namun ini perihal kebijakan mengelola media yang digunakan. Entah, saya merasa masih banyak—sangat banyak, bahkan—mereka yang belum memahami kerja media yang digunakannya.
Selain blog, ternyata pundi-pundi rupiah juga bisa datang dari media sosial yang dikelola oleh narablog. Menyenangkan? Jelas. Saya juga termasuk salah satu yang menikmatinya, walaupun di sisi lain saya pun merasakan keresahan yang dirasakan oleh Om Andhika. Namun, seringkali pihak brand atau agency membuat persyaratan dengan minimal jumlah pengikut tertentu untuk bisa mengikuti suatu acara. Inilah gong lunturnya gerak dan kesenangan saya. Ketidaknyamanan dimulai dari kalimat-kalimat yang mengawali tulisan yang sedang kalian baca.
Teguran untuk saya.
Tahun 2012-2013 lalu, saya sempat mengikuti sebuah komunitas sekolah alternatif dengan posisi sebagai jurnalis. Saya beruntung, saya dipertemukan dengan banyak orang-orang hebat yang membuat saya sangat banyak belajar. Saya sebagai anak bau kencur yang baru lulus SMA dan menjadi salah satu yang paling muda di sana saat itu dibanjiri begitu banyak pengetahuan. Mulai dari pendidikan, politik, dan berbagai macam hal tentang dunia. Termasuk dunia maya.
Posisi saya sebagai jurnalis mengharuskan saya untuk lebih aktif di media sosial untuk menyebarkan apa yang saya tulis. Agar keberadaan sekolah alternatif dan anak-anak di daerah sengketa itu bisa lebih dilirik. Namun sayangnya, saya masih belum paham betul bagaimana menggunakan media yang saya miliki dengan bijak. Saya seringkali mengisinya dengan curhatan ala anak remaja yang sering galau, main no mention sindir-sindiran sama teman, menulis apa saja yang saya alami tanpa filter karena merasa itu adalah hak milik saya sepenuhnya.
Ternyata saya salah. Saya mendapat teguran keras dari kakak promotor yang bertindak sebagai koordinator jurnalis, fotografer, dan videografer di komunitas itu. Tidak tanggung-tanggung, beliau menyebut saya alay karena perlakuan saya di media sosial dalam sebuah surel yang sangat panjang yang ditujukan kepada saya dan segenap pengurus komunitas. Saya terpukul, saya sedih, saya minder. Namun, saya tau saya salah.
Sejak saat itu, saya berusaha untuk sangat memilah apa yang saya bagikan di media sosial. Saya tidak ingin lagi membagikan kehidupan saya pribadi secara terang-terangan. Dan saya, berusaha hanya mengikuti akun-akun yang sepaham. Agar saya tidak tertarik kembali ke masa lalu ketika saya dibilang alay. Agar saya tidak kepo atau sampai ikut campur dengan urusan orang lain yang bukan hak saya. Agar saya bisa lebih menjaga hati dan pikiran saya.
Prinsip dan keputusan.
Dua hari yang lalu, sebuah grup narablog ramai berdiskusi soal apa yang dilontarkan Om Andhika di dalam tulisannya. Saya mengamini, sebab saya pun merasa demikian. Lalu kemarin, beberapa orang di sebuah grup acara yang berisi puluhan narablog menandai nama saya sebagai orang yang tidak mem-followback mereka. Ini bukan hanya sekali terjadi. Mungkin, saya tampak angkuh, sombong, atau berkepribadian tidak baik karena seperti enggan menjalin silaturahmi dengan sesama narablog. Namun, hey, ini tidak seburuk yang kalian pikirkan.
Saya tidak ingin membuat pembelaan atas apa yang saya lakukan. Hanya sebuah klarifikasi sederhana yang mungkin bisa membuat kalian sadar. Ini hak masing-masing mau dianggap pembelaan atau apa. Hanya saja, saya ingin meminta izin menjabarkan prinsip dan keputusan yang saya ambil dalam bermedia sosial.
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, permintaan jumlah pengikut tertentu dari pihak brand atau agency terhadap narablog untuk mengikuti sebuah acara ini adalah gong yang mengawali lunturnya gerak dan kesenangan saya di dunia maya. Saya berkeyakinan bahwa media sosial digunakan untuk mengikuti apa yang menjadi minat saya. Sebab katanya: follow your interests. Jadi, kalau saya tidak mem-follow kamu, bukan berarti saya tidak mau berteman dengan kamu. Saya hanya tidak tertarik dengan konten yang kamu sajikan di media sosial kamu.
Beberapa orang sempat bilang kepada saya bahwa ke depannya nanti, saya akan "ditandai". Sebab, rata-rata narablog tersebut adalah agen endorse. Mungkin, saya akan jarang atau malah tidak mendapat job lagi. Mungkin. Karena katanya, dunia narablog bukan tebang pilih walaupun memilih adalah hak masing-masing. Tak apa, saya memilih sepakat untuk tidak sepakat dengan yang berpikir demikian.
Lagipula, soal rezeki sudah ada yang mengatur. Kalaupun bukan dari sini, saya percaya Tuhan telah menyiapkan jalan lain. Berprasangka baik sajalah dulu sama Sang Pencipta. Saya lebih percaya pada-Nya daripada mulut (atau jempol) manusia.
Beberapa orang sempat bilang kepada saya bahwa ke depannya nanti, saya akan "ditandai". Sebab, rata-rata narablog tersebut adalah agen endorse. Mungkin, saya akan jarang atau malah tidak mendapat job lagi. Mungkin. Karena katanya, dunia narablog bukan tebang pilih walaupun memilih adalah hak masing-masing. Tak apa, saya memilih sepakat untuk tidak sepakat dengan yang berpikir demikian.
Lagipula, soal rezeki sudah ada yang mengatur. Kalaupun bukan dari sini, saya percaya Tuhan telah menyiapkan jalan lain. Berprasangka baik sajalah dulu sama Sang Pencipta. Saya lebih percaya pada-Nya daripada mulut (atau jempol) manusia.
Jangan hanya minta followback, tapi perbaiki konten.
Program saling follow diberlakukan di berbagai komunitas narablog untuk meningkatkan jumlah pengikut di media sosial masing-masing. Katanya, tidak ada ruginya membantu kawan sesama narablog untuk naik. Saya setuju dengan saling bantu tersebut, tapi bukankah akan lebih baik jika bantulah juga pengikut atau calon pengikutmu agar mereka bisa mendapatkan konten yang baik dan menyenangkan?
Di Twitter, kalau isinya hanya tautan blogpost terbaru dan tagar-tagar saat acara atau menjadi buzzer, bagaimana mau bersilaturahmi? Spam yang ada, sih. Di Instagram, kalau foto yang diunggah hanya asal jepret, asal ada tagar, atau asal memenuhi persyaratan dalam acara ya apa yang mau dinikmati? Padahal adanya Instagram bagi saya pribadi adalah untuk memanjakan mata dan menguak darah seni yang terpendam. Kalau yang seliweran foto asal jepret saja…. Ehehehe.
Tolong jangan tersinggung lebih dulu, ya. Narablog kan sejatinya para pembuat konten. Jadi, saya rasa keresahan saya ini juga perlu untuk disampaikan. Semoga bisa diterima dengan baik tanpa menyindir di media sosial masing-masing sebagai reaksi dari tulisan ini. Tolonglah, saya lelah baca sindir-sindiran di mana-mana dalam lingkaran narablog ini hahaha. Mari sama-sama kita kembalikan kenyamanan dan kesenangan dalam lingkup blog. Meminimalisasi saling sindir atau saling sikut kan lebih baik.
Yakinlah bahwa konten yang bagus akan mendatangkan banyak pengikut. Tidak perlu ribet minta followback juga pasti akan dengan senang hati di-follow. Saya tidak ingin misuh-misuh sendiri karena sebal melihat isi timeline yang tidak apik karena akun-akun yang tidak bijak menggunakan media sosialnya. Sederhana, kan? Daripada saya mengikuti kamu hanya beberapa saat saja, lalu tidak mengikutinya lagi seperti punggawa salah satu komunitas narablog yang ingin menaikkan jumlah pengikut itu, tuh.
Jangan terlalu bawa perasaanlah. Profesional sedikit. Content is a king.
Oh iya, saya memiliki perhatian khusus kepada akun Instagram saya dalam waktu beberapa bulan terakhir. Boleh dibilang, akun-akun yang saya ikuti di platform itu bisa dibagi menjadi dua kubu besar: narablog dan teman-teman yang mencintai kesenian. Lalu, apa poinnya? Apa perbedaannya?
Begini, kebanyakan akun-akun narablog memiliki jumlah pengikut yang lebih banyak daripada teman-teman pencinta kesenian ini. Namun, foto yang diunggah oleh teman-teman pencinta kesenian ini selalu jauh sekali lebih banyak mendapat respon, baik like maupun komentar. Lucu? Awalnya saya pikir, ini aneh. Namun kemudian, saya menyadari bahwa mereka berada di fokus yang berbeda.
Para narablog dengan jumlah pengikut, sedangkan teman-teman pencinta kesenian dengan kualitas karya. Saya memilih untuk menjadi sama dengan yang kedua. Buat apa pengikut banyak tapi engagement rendah?
Oh iya, saya memiliki perhatian khusus kepada akun Instagram saya dalam waktu beberapa bulan terakhir. Boleh dibilang, akun-akun yang saya ikuti di platform itu bisa dibagi menjadi dua kubu besar: narablog dan teman-teman yang mencintai kesenian. Lalu, apa poinnya? Apa perbedaannya?
Begini, kebanyakan akun-akun narablog memiliki jumlah pengikut yang lebih banyak daripada teman-teman pencinta kesenian ini. Namun, foto yang diunggah oleh teman-teman pencinta kesenian ini selalu jauh sekali lebih banyak mendapat respon, baik like maupun komentar. Lucu? Awalnya saya pikir, ini aneh. Namun kemudian, saya menyadari bahwa mereka berada di fokus yang berbeda.
Para narablog dengan jumlah pengikut, sedangkan teman-teman pencinta kesenian dengan kualitas karya. Saya memilih untuk menjadi sama dengan yang kedua. Buat apa pengikut banyak tapi engagement rendah?
Apakah saya tidak memiliki kepribadian yang baik?
Jika setelah membaca jabaran saya di atas saya masih dianggap memiliki kepribadian yang buruk karena tidak mem-followback akun kalian, saya terima. Namun, tunggu, setidaknya saya tidak main sindir-sindiran di media sosial atau seenaknya ngomongin di grup chat tanpa tau alasan sebenarnya. Jangan fokus pada kenapa orang lain begini begitu, coba kembali pada diri sendiri dahulu.
Jadi, siapa yang kepribadiannya tidak baik?
Tabik!
Pertiwi