Mini, karena panjangnya yang sangat pendek. Langka, karena kegilaannya
waras sekali. Istimewa, sebab ia hanya memiliki satu musuh bebuyutan: otak
manusia. Susah, sebab tatkala mengkreasi, seseorang bisa menghabiskan waktu
sehari, seminggu, sebulan, sedarsawarsa, bahkan di beberapa kasus hingga seumur
hidup.
Mungkin, akan ada pertanyaan yang
muncul perihal apa yang akan saya bicarakan ketika membaca paragraf pembuka di
atas. Paragraf tersebut adalah paragraf pembuka yang saya ambil dari kata
pengantar di sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul Rahasia Rindu.
Kurang terkenal, ya? Iya,
mungkin. Namun yang jelas adalah… itu objek kajian skripsi saya. Hyak. Alasan utama saya menjadikan
kumpulan cerpen tersebut menjadi objek kajian skripsi saya adalah keunikannya.
Kumpulan cerpen itu menyuguhkan sesuatu yang tidak biasa untuk saya sejak
pertama kali buku itu sampai di tangan saya.
Seseorang memperkenalkan saya
pada sebuah cara baru menuliskan cerita dengan media yang kekinian di akhir
2012, fiksimini. Sebelumnya, mungkin saya akan menyinggung sedikit perihal
sejarah awal fiksimini menjadi sesuatu yang booming
di Indonesia.
Fiksimini sendiri, menurut Agus
Noor, merupakan istilah yang dipakai untuk mengacu pada apa yang dalam khasanah
sastra di dunia disebut dengan flash
fiction atau micro fiction. Maka
sesungguhnya, bentuk dan pengertian fiksimini bukan merupakan hal yang baru.
Namun kemudian, Agus Noor
mengintrodusir istilah fiksimini tersebut melalui internet, blog dan Facebook. Hal tersebut dilakukan karena
merasa bahwa tulisan di internet itu mestinya ringkas, sekejap, dan langsung
menohok. Beliau merasa tidak pernah bisa berkonsentrasi ketika membaca tulisan
yang panjang-panjang di internet. Membaca tulisan panjang di internet
membuatnya lelah.
Sayangnya, fiksimini tidak
mendapat respon yang bagus melalui media blog dan Facebook. Hanya beberapa penulis yang menyukai bentuk fiksimini
tersebut. hal itu mungkin terjadi karena di blog dan Facebook masih memungkinkan kita untuk menulis panjang. Jadi, seakan-akan
menulis sependek dan seringkas mungkin bukanlah menjadi suatu tantangan.
Nah. Ketika Agus Noor
mengintrodusir istilah fiksimini tersebut ke Twitter, tampak ada tanggapan yang begitu hebat. Mungkin karena
dengan media Twitter tersebut kita
ditantang hanya menulis dalam 140 karakter. Tidak lebih. Di Twitter inilah fiksimini menemukan
tantangan dan habitatnya yang pas. Kita dituntut untuk membuat cerita dalam 140
karakter dengan tetap memiliki tafsir yang luas dan dalam.
Sebagaimana diktum fiksimini yang
utama, yaitu menceritakan seluas mungkin
dunia dengan seminim mungkin kata.
Mencoba bermain dengan fiksimini
membuat saya ketagihan, hingga sekarang. Menemukan formula yang pas untuk
merangkum dan membuat bom pada cerita yang begitu singkat merupakan hal yang
memusingkan sekaligus mengasyikkan. Itulah sebabnya, saya memilh kumpulan
cerpen Rahasia Rindu untuk saya
teliti. Cerita-cerita fiksimini di dalamnya yang berkembang ke bentuk cerita
pendek menjadi begitu liar dan di luar batas wajar isi kepala manusia.
Meneliti fiksimini tentunya
membawa saya untuk mempelajari penulisan yang begitu singkat secara lebih dan
lebih dalam lagi. Ternyata, menulis cerita yang sangat pendek memang merupakan
tantangan tersendiri bagi saya. Sebab, saya memang terbiasa untuk menulis
dengan jabaran yang panjang. Berkali-kali saya mencoba dan masih dibilang, “Sudah
bagus, tapi kurang meledak.”
Di tengah masa penelitian dan
pelatihan untuk menulis pendek, saya berkenalan dengan sebuah portal online yang menyuguhkan tantangan yang
serupa tapi tak sama. Namanya Opini.id, portal yang—menurut informasi—berisi
kepedulian-kepedulian dan tindakan-tindakan baik orang Indonesia saat ini. Berdasar
atas kepercayaan akan pribadi masyarakat Indonesia yang tidak egois dan apatis,
Opini.id hadir untuk memfasilitasi kepedulian dan kebaikan mereka kepada
khalayak luas.
Dengan komitmen menghadirkan
konten dalam bungkus yang menarik, saya rasa Opini.id sudah cukup berhasil. Pasalnya,
saya masih cukup jarang menemukan sebuah portal online yang semenyenangkan Opini.id ketika dibaca. Seperti yang
dikatakan Agus Noor di awal tulisan ini, tulisan di internet mestinya ringkas,
sekejap, dan langsung menohok. Sebab membaca tulisan panjang di internet
membuat mata lelah dan berujung pada kesulitan berkonsentrasi.
Dalam hal ini, Opini.id jelas
sudah mengeksekusinya dengan sangat baik. Tampilan yang dibuat swipe memudahkan kita untuk menyelesaikan
apa yang sedang kita baca. Ditambah dengan tulisan per halamannya yang tidak
terlalu banyak membuat aktivitas membaca jadi jauh dari penat. Bisa dibilang,
Opini.id merupakan portal yang tepat untuk kultur baca kekinian.
Setelah puas membaca berbagai
konten yang disuguhkan di Opini.id, gairah saya untuk belajar menulis pendek
pun meletup-letup. Ternyata, membuat akun di Opini.id itu sangat mudah. Ada
tiga pilihan seperti di bawah ini:
Untuk urusan login-login macam
ini, saya terbiasa menggunakan akun Facebook.
Maka, secara simsalabim saya sudah
terdaftar di Opini.id dengan meng-klik “Sign
in with Facebook” dan bisa turut membuat konten. Oh iya, kebetulan saya
memiliki beberapa teman yang sudah berpengalaman membuat tulisan di Opini.id
dan sedikit banyak mengetahui keluh kesah menulis di sana. Maka itu, saya
berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Apaan, tuh, hal-hal yang tidak
diinginkannya?
Yang pertama, menulis panjang. Kalau
menuruti keinginan yang biasa, saya jelas lebih ingin menulis panjang. Sebab,
saya lebih leluasa menumpahkan apa yang ada di dalam kepala saya melalui yang
saya tulis. Saya juga suka dengan kalimat bertingkat yang jelas akan membuat
tulisan yang saya buat menjadi lebih panjang. Nah, ini harus saya hindari. Sebab
ruang menulis di portal Opini.id seolah berkata “tidak” dengan tegas pada
kebiasaan saya menulis panjang. Ya, sebentar-sebentar mentok soalnya.
Kedua, kesalahan mengetik. Oke,
untuk poin yang pertama, saya menganggapnya sebagai sebuah tantangan. Namun pada
poin kedua ini, saya menganggapnya sebagai sebuah kekurangan dari portal ini. Tak
ada gading yang tak retak, begitu pun dengan penulis. Tak ada penulis yang tak
salah ketik. Kekhilafan pasti terjadi, sayangnya Opini.id belum menghadirkan
fitur edit yang sangat dibutuhkan oleh para content
creator-nya. Jadi, mau gak mau ya jangan salah ketik.
Maka, untuk mengantisipasi dua
hal di atas, biasanya saya membuat draft
tulisan di Ms. Word terlebih dahulu
baru kemudian memindahkannya ke laman Opini.id. Jangan salah, itu pun saya
masih harus benar-benar memastikan bahwa tidak ada salah ketik di tulisan saya
dan bolak-balik dari Ms. Word ke
laman Opini.id untuk mempublikasikan tulisan. Hikmah yang bisa saya ambil dari
menulis di Opini.id adalah… melatih kesabaran.
Jujur, saya sempat kesal
menghadapi proses menulis di portal tersebut. Ternyata benar, apa yang tampak
menyenangkan belum tentu demikian pula di baliknya. Membaca konten di Opini.id
begitu nagih untuk membaca lagi dan lagi, tapi ternyata membuat kontennya
sungguh benar-benar menguras energi. Setidaknya, bagi saya yang terbiasa
menulis dengan jumlah kata minimal 1000 ini, sih.
Oh iya, kalau dilihat-lihat,
Opini.id sepertinya belum memiliki konten fiksi. Menyambungkan semua yang sudah
saya tuliskan di atas, muncul sebuah pertanyaan: bagaimana jika fiksimini merambah ke portal Opini.id?
Dengan jumlah karakter per
halaman yang tidak beda jauh dari Twitter,
Opini.id sangat mungkin untuk menjadi media lain untuk wadah mengkreasikan fiksimini.
Jadi, konten di Opini.id pun bisa lebih sastrawi. Ehehe. Ehe. He. He.
Dalam satu topik mungkin bisa
diisi dengan sekumpulan fiksimini yang setema. Untuk halamannya, saya rasa tipe
voice
your opinion lebih tepat digunakan daripada create article atau ask
the crowd. Wah, sejauh ini saya juga belum pernah mencoba menuangkan
fiksimini di Opini.id, sih. Jadi pengin, deh!
Buat kamu yang juga punya masalah
yang sama dalam menulis pendek, Opini.id bisa membantu kamu berlatih dengan
baik. Selain itu, ya hitung-hitung buat mengeksiskan diri di sana-sini. Yuk,
coba! Saya jamin kamu akan menemukan tantangan dan habitat yang pas untuk
menulis di internet!
Tabik!
Pertiwi