Pagi,
Masih dengan kamu
Ya, ada sakit lagi yang menyelinapi dada
Ada peri lagi yang merasuki jiwa
Dalam angan aku bersimpuh menanti ajaib kuasa-Nya
Kutinggalkan sendu dan berharap bahagia
Pada-Nya, kukirimkan beribu doa
Melayang-layang bersama bangau yang terbang ke angkasa
Pada-Nya, aku berserah
Pacitan, 22 Agustus 2014, 07.06
Masih dengan kamu
Ya, ada sakit lagi yang menyelinapi dada
Ada peri lagi yang merasuki jiwa
Dalam angan aku bersimpuh menanti ajaib kuasa-Nya
Kutinggalkan sendu dan berharap bahagia
Pada-Nya, kukirimkan beribu doa
Melayang-layang bersama bangau yang terbang ke angkasa
Pada-Nya, aku berserah
Pacitan, 22 Agustus 2014, 07.06
Ada jeda pada tiap bising yang melanda
Ada duka pada setiap tawa yang singgah
Mereka menjelma satu sosok yang selamanya ada
Dalam satu ruang yang kupikir benar nyata
Ada mengapa pada setiap peristiwa
Ada karena yang mengikutinya
Sebab segalanya, kau tahu
: adalah tentang kita yang menjelajahi dunia
Pacitan, 21 Agustus 2014, 20.57
Ada duka pada setiap tawa yang singgah
Mereka menjelma satu sosok yang selamanya ada
Dalam satu ruang yang kupikir benar nyata
Ada mengapa pada setiap peristiwa
Ada karena yang mengikutinya
Sebab segalanya, kau tahu
: adalah tentang kita yang menjelajahi dunia
Pacitan, 21 Agustus 2014, 20.57
Hai, Tuan!
Seiring dengannya, kukirimkan semburat indah yang membentang di angkasa
Kembali ke peraduan, seperti saat ini kuberada
Dalam sesak napas tiada terjamah luasnya dunia, meringkuk dalam bising suara burung yang berkicau tanpa lelah
Harga mati, tak tergantikan adanya
Bisu sempat mengiringi hari di mana aku belum mengenal tempat ini
Dan pada embus napas kesekian, ada nyaman yang berdatangan
Pacitan, 20 Agustus 2014, 22.38
Seiring dengannya, kukirimkan semburat indah yang membentang di angkasa
Kembali ke peraduan, seperti saat ini kuberada
Dalam sesak napas tiada terjamah luasnya dunia, meringkuk dalam bising suara burung yang berkicau tanpa lelah
Harga mati, tak tergantikan adanya
Bisu sempat mengiringi hari di mana aku belum mengenal tempat ini
Dan pada embus napas kesekian, ada nyaman yang berdatangan
Pacitan, 20 Agustus 2014, 22.38
Hari pertama, aku masih mematri
sebuah nama. Memunggungi kenyataan bahwa kau bukan lagi siapa-siapa. Aku masih
dibalut luka, mencoba menerima sebuah kata “tiada”. Di bawah terpaan senja, aku
mangais puing-puing kita. Kita yang dahulu pernah ada. Kita yang sempat
malayangkan harap bersama. Kita yang pernah menjadi kita.
Semalam, pandir kecilmu sempat bermimpi tentang indahnya suatu hari
Ketika tanganmu tergenggam erat hingga tak mampu dilepasnya lagi
Kemudian, keadaan menjelma nyaman ketika kalian sama-sama enggan kehilangan
Berucap janji untuk setia walau masih diselimuti tanda tanya
Inilah sebuah kisah tentang kita...
Tuan, ingatkah saat pipi kiriku bercumbu dengan bahu kananmu?
Kemudian hangat menjalar ketika lengkung tanganku melingkari tubuhmu
Tanganmu yang selalu menjaga agar aku tetap pada posisi terbaik saat itu
Tak lagi terpikir olehku tentang bagaimana kesalahan yang begitu tepat merasukiku
Yang ada kini hanyalah aku, kamu dan kegilaan yang perlahan mengukir harap akan waktu
Ini adalah penampilan dari para juri Festival Musikalisasi Sastra Indonesia (Falsindo) yang keempat pada 7 Januari 2014 lalu. Sangat apik dan menarik dengan perpaduan berbagai alat musik.
- Pembaca puisi : Kak Mussab
- Pemain jimbe : Kak Oji
- Pemain gitar + backing vocal : Kak Ijul
- Pemegang alat musik bambu (entah apa namanya) + vocal : Kak Dina
[Puisi] Tanah Air Mata - Sutardji Calzoum Bachri
tanah airmata tanah tumpah darahku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke mana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami
Salam Sastra,
Pertiwi Yuliana
Aku ingin menikmati rasa yang sederhana. Sesederhana waktu
yang menjawab harapku dengan hadirnya dia. Dia yang matanya selalu berpendar
indah. Dia yang senyumnya tak henti buatku terpana. Aku inginkan dia untuk
mengiringiku menikmati hari dengan nada cinta. Nada-nada bahagia seperti yang
kudengar mendampingi mereka.
Lagi. Dalam selembar surat
malu-malu yang sampai di tangkanku, kamu mengungkap isi hatimu. Kembali
mengawinkan ketakjuban dan keheranan dalam diriku. Kamu memang tetap kamu, kamu
yang terlalu angkuh untuk berada di bawahku. Ya, nyatanya kamu selalu menggilai
hormat dari mereka yang harusnya ditujukan padaku. Kamu tahu, aku tahu, ini
bukan saat yang tepat untuk membicarakan rasa itu. Kamu, tulisanmu, suratmu,
berakhir sama dengan kumpulan sampah yang tak berharga di sana.
Mungkin, sedetik pun tak pernah terpikir bagaimana bisa aku menjatuhkan rasa pada seseorang yang jauh berbeda
Adalah hal yang sia-sia jika aku tetap saja menghujat keadaan yang tak tahu apa-apa
Mungkin, waktu punya tujuan tertentu membiarkan aku terjebak sembilu
Membisu dalam diam dan terus bertanya, "apakah ini salahku?"
Aku, kamu, dia...
Riak di antara bisu bergemuruh bersama waktu yang tak kunjung sampai menyelami asaku
Mengikis senti demi senti jarak yang membentang di alunan nada rindu antara aku dan kamu
Dia di sana, di antara karang yang mengganjal kakiku untuk berenang lebih jauh
Kamu, masihkah menungguku?
Karena aku mungkin tidak akan sampai tepat waktu.....