Apakah Saya adalah Seorang Idealis? | Your Favorite Devil's Advocate
personal

Apakah Saya adalah Seorang Idealis?

Senin, September 18, 2017

Apakah Saya adalah Seorang Idealis?

“Sehat, Wi? Lama gak ketemu. Lama juga gak ngomelin gegara tidur malem.”

Suatu malam, masuk sebuah pesan WhatsApp dari seorang teman, Nur Aini Amalia. Iya, Lia memang salah satu teman paling bawel yang saya punya. Sejak dulu, dia memiliki hobi yang unik: meminta saya untuk tidur. Sebab, ya, bisa dibilang jam tidur saya memang sangat kacau. Seringkali tidur pagi dan bangun pagi juga. Akibatnya, jangan heran jika melihat kantung mata saya yang berkantung pula.

Walaupun sempat menghilang, tapi kebiasaan itu kembali terulang. Mata yang sulit terpejam mulai datang. Sayang, saya tidak memiliki kuasa untuk menghalang. Jadilah saya terjaga hingga gelap berganti terang. Ketiadaan kegiatan yang saya lakukan membuat kebosanan menyerang. Berbekal telepon pintar dengan kuota malam dan ibu jari yang masih lincah bergoyang, timbullah keinginan untuk menyegarkan pikiran.

YouTube, aplikasi dengan ikon berwarna merah dan tombol play di tengahnya itu ternyata cukup menarik perhatian.

Kali itu, ibu jari saya memilih untuk masuk ke channel seorang Youtuber yang memiliki tagline “stay classy”. Yap, Agung Hapsah. Pemuda delapan belas tahun ini mudah sekali membuat saya jatuh hati dengan konten yang dibuatnya. Baik dari pesan yang disampaikan, maupun visual yang disuguhkan. Ada satu video yang menarik perhatian saya dengan judul “Daily Vlog? – VLOG #16”. Bisa dibilang, Agung merupakan salah satu Youtuber yang jarang mengunggah video. Lalu, dia akan membuat daily vlog?

“Aku mau coba ini karena aku mau coba hal yang sebenarnya aku tidak suka. Beberapa hari lalu, aku ketemu Mr. Deddy Corbuzier. Dan dia berbicara ke aku tentang mengapa dia berhenti melakukan sulap, mengapa dia mulai melakukan hal-hal yang aneh kayak host TV talkshow. Pokoknya, dia memutuskan untuk melakukan hal-hal yang dia tidak suka sampai dia hebat dalam hal tersebut. Jadi, aku akan melakukan hal yang sama. Aku akan melakukan sesuatu yang aku tidak suka yaitu upload setiap hari selama satu minggu.”

Quality over quantity, itulah prinsip yang dipegang oleh seorang Agung Hapsah sebelumnya. Namun di video itu, dia ingin mencoba hal yang baru, yaitu quantity over quality. Entah mengapa saya senyum-senyum sendiri saat saya mendengar statement yang berkaitan dengan mencoba hal yang tidak disukai sampai menjadi hebat di hal tersebut. Seperti mengingatkan saya pada sesuatu. Flashback. Kilas balik. Atau apalah namanya, terserah.

Menjadi berbeda dari kebanyakan itu menyenangkan.

Awal saya begitu aktif bercengkrama dengan narablog lain adalah di permulaan 2013. Saya masih menjadi narablog yang hobi curhat di balik sajak-sajak yang katanya pakai bahasa ketinggian. Para narablog yang mengenal saya pada masa itu menyebut kata “sastrawati” saat saya bertanya, “Siapa gue?” pada mereka. Eh, ngomong-ngomong, kangen juga sama teman-teman di masa itu.

Hai. Jika mungkin ada di antara kalian yang membaca tulisan ini, percayalah saya sangat merindukan masa-masa bersama kalian yang minim drama menjijikkan.

Di masa itu, sebagian besar narablog yang saya kenal memiliki kiblat yang itu-itu saja: Raditya Dika, Alitt Susanto, atau Benazio Rizky Putra. Selalu, tiga nama itu disebut saat ditanya perihal narablog idola. Jelas, berjamur sudah tulisan-tulisan personal yang sengaja diambil—atau dipaksakan—kelucuannya dengan maksud menghibur pembaca. Sementara saya, tidak memiliki narablog idola. Saya mengambil jalan saya sendiri dengan tulisan yang katanya berpotensi membuat pembaca bolak-balik buka KBBI.

Dengan perbedaan yang saya suguhkan itu, saya lebih mudah dikenal orang teman-teman narablog lainnya. Dulu, ya. Sekarang mah saya hanya butiran biji wijen yang seringkali berada di antara ada dan tiada. Menjadi berbeda itu menyenangkan. Sangat menyenangkan. Sebagai perempuan berdarah AB sejati, jelas saja saya merasa sudah berada di jalan yang tepat.

Banyaknya teman sesama narablog yang lebih responsif menanggapi masalah ini-itu tidak serta-merta membuat saya turut ke jalan yang mereka pijak. Saya masih asyik dengan curhat berkedok fiksi patah hati dengan bahasa yang tidak umum digunakan. Sebab bagi saya, kekhasan itu perlu untuk dipertahankan. Sampai pada akhirnya, beberapa orang mulai menyebut saya sebagai perempuan idealis.

Apakah Saya adalah Seorang Idealis?
Gambarnya dari pria humanis kesayangan.
Apakah saya pantas disebut idealis?

Jika Agung Hapsah punya prinsip quality over quantity, saya pada masa itu berprinsip bahwa saya hanya menulis apa yang ingin saya tuliskan bukan apa yang mau orang lain baca. Padahal, di sisi lain saya ingin apa yang saya tuliskan bisa dibaca dan sampai kepada khalayak. Idealis? Atau egois?

Kemarin, saya sempat berdiskusi dengan Ilham perihal idealisme. Kami sepakat bahwa kata “idealis” adalah semacam gelar yang disematkan oleh orang lainnya terhadap apa yang kita jaga, atau jalan yang kita tempuh—dalam hal ini tulisan. Sekali lagi, idealisme merupakan sesuatu yang ditemukan orang lain dalam diri kita, bukan sesuatu yang kita buat sendiri. Sebab ukuran berhasil atau tidaknya kita menjaga langkah tetap stabil di jalan yang sama ada pada orang yang mengikuti langkah kita.

Lho, kan kamu gak ngikutin yang lain, Tiw. Kamu idealis, dong?

Saya sempat berpikir demikian. Namun, mungkin, tidak lagi. Dulu, saya tetap berada di ranah fiksi dengan bahasa yang aneh-aneh sesungguhnya karena saya sangat kesulitan untuk menulis tulisan non-fiksi. Iya, saya sangat kesulitan. Karena sejak awal mencintai dunia tulis menulis di bangku sekolah dasar dulu, saya terus-menerus menulis fiksi. Hanya fiksi. Itu-itu saja.

Percaya atau tidak, saya sempat ditegur oleh Kakak Promotor sebuah komunitas sekolah alternatif yang saya ikuti karena kefiksian saya begitu lekat dengan tulisan yang saya hasilkan. Posisi saya jurnalis relawan, lho. Dan hasil tulisan saya kefiksi-fiksian. Ya gimana saya gak kena tegur, kan? Kak Jona—Kakak Promotor—bilang bahwa saya harus mencoba untuk menuliskan hal yang lain. Saya harus keluar dari zona nyaman saya untuk belajar lebih banyak lagi.

Jadi kesimpulan dari pengalaman saya, mungkin saya pernah menganggap diri saya sebagai orang yang idealis sebagai alasan di balik malasnya saya belajar hal yang lain. Idealisme merupakan pemikiran kuat yang didapat dari belajar banyak, body of knowledge itu benar-benar ada di dalamnya dan berdiri dengan kokoh. Maka bisa dibedakan antara orang idealis dengan orang yang ndablek.

Teguran demi teguran.

Teguran pertama yang saya dapat dari Kak Jona membuat saya berusaha keras untuk menulis hal yang lain. Sedikit demi sedikit, saya mulai menulis non-fiksi dan melepaskannya dari jerat fiksi yang saya miliki. Ya, belajar hal baru memang selalu menyenangkan. Ada tantangan yang mesti saya pecahkan. Ada formula yang harus saya dapatkan. Ada keraguan yang wajib saya tenangkan. Dan perlahan, saya mulai mendapatkan apa yang saya inginkan. Berawal dari melakukan hal yang tidak saya suka, menulis non-fiksi, hingga mendatangkan pujian di kolom komentar.

Selesaikah? Jelas tidak. Hidup, bagi saya adalah pelajaran panjang yang hanya akan selesai ketika napas sudah berhenti mengiringi langkah.

Teguran-teguran lain kembali datang ketika saya mulai menerima berbagai iklan untuk masuk ke dalam blog yang saya kelola. Karena sebuah keadaan yang mendesak, butuh uang dan tugas kuliah padat, saya menjadi sangat tidak bijak saat mengunggah tulisan-tulisan yang apa adanya dari mereka tanpa saya perbaiki sebelumnya. Pun, dari yang biasanya saya hanya mengunggah empat tulisan dalam satu bulan, tetiba bisa jadi belasan.

Telepon pintar saya menjadi ramai. Pesan masuk dari berbagai aplikasi berkirim pesan hanya untuk bertanya, “Kok blog kamu jadi gini, sih, Tiw?”

Saya kecewa, pada diri saya sendiri. Saya sempat vakum menulis hingga kurang lebih dua bulan karena banyaknya teguran yang saya dapat dari orang-orang yang biasa membaca tulisan saya. Di jeda waktu vakum itu tentu saya tidak diam. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, kekhasan itu perlu untuk dipertahankan. Maka, saya mencoba untuk mengunci kekhasan itu dengan tetap mengumpukan pundi-pundi rupiah.

Jadilah saya yang sekarang. Saya yang tidak menyukai menulis iklan-iklan, tetapi sebagian orang bisa tetap menikmati iklan yang saya suguhkan dengan sentuhan-sentuhan lain yang mungkin tidak banyak dilakukan orang. Terima kasih untuk segala teguran, komentar, saran, kritik, dan semacamnya. Kalian semua membuat saya banyak sekali belajar. Silakan, lho, kalau mau menambahkan apa yang perlu saya perbaiki di kolom komentar.

Apakah Saya adalah Seorang Idealis?
Gambar dari pria humanis kesayangan.
Saya tidak berusaha menjadi seorang idealis lagi, saya hanya ingin lebih banyak belajar dan menemukan apa-apa saja yang bisa saya lakukan. Tidak membatasi diri dengan konten yang itu-itu saja.

Merayakan konten.

Back to Agung Hapsah’s video. Poin penting lainnya yang saya dapat dari video tersebut adalah sebuah pernyataan yang sedikit banyak ada hubungannya dengan apa yang saya tuliskan sebelumnya tentang saling follow di media sosial. Perihal konten.

Di dalam videonya, Agung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk perihal dirinya. Dan salah satu yang ditanyakan adalah, “Gung, kalau subscribers lo satu juta, lo mau ngapain?”

Nothing. Seratus ribu aku ngapain? Nothing. Setengah juta aku ngapain? Nothing. Satu juta aku ngapain? Nothing. Subscribers itu cuma angka. Angka itu jangan dirayakan. yang dirayakan itu konten.”

Dalam dunia blog atau media sosial, banyak orang yang berlomba-lomba mendapatkan banyak viewers atau banyak pengikut. Namun sayangnya, konten yang disajikan tidak berkembang. Pengikutnya banyak, views-nya banyak. Iya, karena mereka melakukan hal yang sama kepada orang yang menginginkan hal yang sama. Orang-orang yang terlalu peduli dengan angka dan mengenyampingkan konten yang dibuatnya.

Perihal salah dan benar, biar saya lemparkan kepada kalian saja. Mungkin bisa jadi bahan perenungan.

Untuk setelahnya, saya harap saya—dan kita tentunya—bisa merayakan pesta atas konten-konten yang beragam dan menakjubkan.







Tabik!



Pertiwi


You Might Also Like

25 komentar

  1. Waah.. hasil dari diskusi berfaedah jadi tulisan! Aku pernah banget berada di posisi ndablek yang disalahartikan jadi 'idealis'ini, ya biar terdengar keren saja. Lha gimana lagi, kadang ada rasa malu mempelajari hal yang udah dikuasi teman atau bahkan rival kita. Akhirnya ya berlindung dibalik simbol 'idealis' itu tadi.Etapi kalau sudah berbekal dengan banyak pengalaman dan pengetahuan, aku yakin seseorang akan menjadi idealis secara sendirinya. Terus aku jadi malu, lha nyoba aja belum, memperlajari aja enggak, bahkan langsung menolak dalam ketidaktahuan, kok pede amat ngaku idealis. Wkwkw. Yuk banyak-banyak belajar. #StopNdablek

    BalasHapus
  2. Di sisi lain, mungkin dulu seneng dapet label idealis, namun tentu saja sepanjang nafas dan gerak langkah masih berjalan mau nggak mau atau sadar nggak sadar kita pasti menemukan sesuatu hal yang lain. Benar, banyak teruuss belajar dan berkembang namun jangan sampai kehilangan bagian dari kita sendiri yang udah jadi nature.

    BalasHapus
  3. Aku dulu nulis fiksi lalu coba nonfiksi sampai skrg. Menulis itu proses, jd baik, lbh baik, lbh baik lagi. Dan jgn lupa buat jd beda

    BalasHapus
  4. Agung Hapsah!!!

    Salah satu yutuber favorit, sebelum dia main sama yutuber lain, tapi.

    Emm, menarik bahasannya. Tapi, ketimbang melakukan yang tidak disukai, aku lebih suka melakukan yang aku ga bisa, sampai aku bisa.

    Editing photo, aku gak bisa, aku pengen bisa, sekarang nambah2 uang jajan.
    Kerjaan sekarang, bukan basic yang aku kuasain, tapi sekarang kehitung, ehem, diandeln.

    Cuma, lupain kamu, aku ga bisa, dan gak akan pernah bisa.

    BalasHapus
  5. Seakan menjawab kegelisahan aku di tulisan terakhir. "Angka itu jangan dirayakan. Yang dirayakan konten." Sip, akan aku ingat.
    Idealis itu sepertinya memang gelar yang diberikan oleh orang lain yang merasa orang tersebut beda dengan dirinya. Mungkin pada dasarnya tiap orang adalah idealis dengan gaya masing-masing. Salah? Jelas tidak. Karena orang itu hanya sedang menjadi dirinya sendiri.

    BalasHapus
  6. Ulasannya bagus mbak. Gimana ya, aku tuh juga pernah ngalamin hal yg mirip dg mbak tulis. Memang kata "idealis" di dunia tulis it sesuatu banget ya.

    Aku mulai banyak belajar keluar dari zona nyaman sekarang. Belajar cara Blogger lain nulis. Gara2 belum pernah jadi juara lomba blog, maaf curcol deh ehhehee

    BalasHapus
  7. Youtuber sekarang mulai menjamur di kalangan anak muda nih
    Ada benernya juga sih sebuah subs itu hanya angka bukan kebanggan dll.

    Intinya harus konsisten dalam berkarya dan di seriusin

    BalasHapus
  8. Idealis yg dikata orang bahwa kita itu 'baik', tapi padahal kita sendiri gak ngerasa demikian, itu gak enak sih. itu bentuk Idealis yg gue rasain. :)

    kalau soal tulisan, gue sendiri masih belajar dari bloger2 lain, dari Tiwi juga. dan mungkin masih belum menemukan apa yg gue inginkan, tuliskan, atau apalah namanya itu. :)

    #uhuk.

    BalasHapus
  9. jadi, lebih baik mengikuti kata hati dan kesukaan, atau mengikuti arus yang ada?
    dan apa yang diinginkan, tapi yang didapatkan berbeda.
    jadilah dirimu sendiri, mereka berakata, itulah pendapatnya. yang penting, ciri khas pribadi harus selalu ada dalam tulisan yang mungkin orang lain bilang "ngapa begini, ngapa begitu, kok begini dan kok kebanyakan cp" HA yang terakhir. Tapi, ya semangatlah menjalani kesukaan dan berusaha bisa dari sesuatuyang tidak bisa. semangat, ntiw.

    BalasHapus
  10. Quality over quantity itu sama kaya percuma followers 21juta tapi nge-share semua. Sama aja bohong. Hahaha. Aku juga kadang merasa bingung mengenai iklan2 itu saat sekarang. Dulu sih masih aku tolak, sekarang aku butuh buat beli susu anak.

    BalasHapus
  11. Aku itu bingung loh kak tiw, perihal makna idealis. Udah baca sih tadi, tapi masih ada hal yg kupertanyakan.
    Sebenarnya, idealis itu negatif atau positif sih?
    Aku sering banget menemukan orang2 bilang, dia idealis banget, tapi nada yg dipake itu beda. Ada nada yg penuh kekaguman, namin ada juga nada yg penuh sinis. Jadinya kan aku bingung.

    Aku juga suka nonton videonya agung hapsah. Pun daily vlognya selama seminggu udah liat. Buset dah kece banget. Sehari bikin video, editing pula. Hasil videonya juga berkualitas bangeeeet.... Tetep keceeeeh


    Perihal blog yg tiba2 ngiklan, juga gak disukai sama beberapa teman. Ya mau gimana lagi yaaa.... Dapur harus tetap mengepul

    BalasHapus
  12. Berani kekuar dari Zona nyaman. Itu yang kutangkap dari Agung itu.
    Idealis atau tidak toh emang pada dasarnya hiduplah sesuka2 kita. Tukislah sesuka2 kita. Pada akhirnya orang yang akan tinggal adalah mereka yang menyukai apa adanya..
    Semangat terus, Ntiw

    BalasHapus
  13. Aku kadang juga gitu, Wi...
    Ada pertanyaan besar yang menggelayut di benakku.
    `Kenapa tulisan di blog aku jadi gak seperti dulu saat baru nge-blog?`

    Dulu aku punya julukan `Hantu Seminar`.
    Karena di seminar apapun yang diadakan di kota Bandung ((terutama seminar parenting)), aku selalu ada dan hadir kemudian aku tulisa resume nya di blog.

    Jadi yang gak dateng seminar bisa ikut menikmati ilmu yang sudah kudapat.

    Tapi sekarang?
    Seakan gak bisa nulis resume parenting lagi...

    Malah banyak sponsored post, review produk dan content placement.
    Sediiihnyaa~

    BalasHapus
  14. aku dulu juga pas kuliah juga lebih sering nulis fiksi waktu belum ngeblog. suka ngirim puisi dan cerpen ke surat kabar di kotaku dan syukurnya lulus meja redaksi. saat mulai ngeblog justru jadi menye-menye nggak jelas gini -_-

    menjadi berbeda memang menyenangkan, tapi yang juga penting adalah kita enjoy menjalankannya :)

    BalasHapus
  15. Mencoba hal yang tidak disukai hingga menjadi hebat di bidang tersebut,kayaknya perlu effort yang tinggi untuk mendapatkannya ya...
    Kalau saya lebih senang menjalani hal yang membuat kita lebih nyaman ketika melakukannya.

    BalasHapus
  16. tapi memang tulisan kamu beda, aku rasanya pernah beberapa kali memuji tulisanmu langsung selesai membacanya.. beberapa kali malah..

    gapapa kalau disebut idealis, karena menjadi ideal itu impian byk org..

    apalagi kalau soal tulisan yang tinggi dan harus buka kamus kbbi, hahaaha itung itung kami kami ini belajar.. ya belajar dr seorang pertiwi..

    BalasHapus
  17. Menjadi idealis itu baik kok. Jika mampu di-manage secara baik,dunia ini akan senantiasa mengikuti, bukan sebaliknya. Demikian saya berpikir. hhe

    BalasHapus
  18. Saya kadang bingung juga antara antara menjadi penulis idealis atau tidak karena tergiur rupiah ?
    Prinsip saya saat ini..selagi saya bisa menulis, saya akan nulis. Jika ada rupiah di dalamnya, itu adalah bonus

    BalasHapus
  19. Saat berada fase yang lebih memikirkan duniawi, sedang hati kecil beriak ingin dekat dengan Ilahi, disitulah saya mengenal _-melakukan hal yang disukai demi kebahagiaan-

    Berada di fase idealis, kadang menyiksa. Akhirnya saya menyerah pada olah pikir yang sederhana. Yang penting isi kepala masih dipakai agar tidak sirna..

    BalasHapus
  20. idealis sih terkadang memang harus dilakukan agar kita tetap ada dijalurnya. jangan terlalu sering kepleset supaya kita punya jati diri kan yaaaaaa

    BalasHapus
  21. tulisan ini disponsori oleh.... hehehe.... iya-ya-ya, susah nulis non-fiksi. Nulis fiksi aja susah. Yap, proses. hahahahahaha.... Nah, ini baru keren tulisan Tiwi!

    BalasHapus
  22. Kayaknya udah pernah komentar, nggak masuk lagi jangan-jangan?

    Okelah, ulang.

    Oh, ini toh yang waktu itu ditanyain Dian di Kaepci? Wqwq. Auk amat deh gue idealis kagak. Setidaknya masih punya prinsip dalam hidup.

    Agung meskipun bikin daily vlog, menurut gue tetep keren, sih. Nggak 50% muka doang kayak beberapa Youtuber yang lama-lama enek dilihat. Dia semuda itu udah keren~ Dipikir-pikir malu gue masih gini-gini aja. :(

    Kalo ngomongin soal jumlah followers, gue nggak tau kenapa ketawa mulu. Seolah-olah angka itu selalu jadi patokan. Ya seperti kata Agung, mau sejuta juga nothing~

    Yang gue nggak paham, beberapa orang sampai bela-belain beli malah. Itu katanya biar memenuhi syarat menjadi pengiklan. Tapi kepalsuan seperti itu buat apa? :))

    BalasHapus
  23. Ternyata Tiwi AB, pantesan beda dan unik. Aku suka tulisan" Tiwi, dan sekarang Tiwi semakin ramah sama aku. *testimoni macam apa ini* :))
    Kamu mah antara idealis dan realistis.

    BalasHapus
  24. Baca tulisan Tiwi yang ini, aduuu gue makin nge-fans... dan suka banget sama ini "Saya tidak berusaha menjadi seorang idealis lagi, saya hanya ingin lebih banyak belajar dan menemukan apa-apa saja yang bisa saya lakukan. Tidak membatasi diri dengan konten yang itu-itu saja."
    Belajar tu banyak ujiannya, dan memilih buat terus belajar itu keren banget Tiw (gak tau kata apa yang pas, kagum banget sama orang yang punya semangat buat terus belajar). Makasih Tiwi udah nulis :')

    BalasHapus
  25. Ijin pos gambar 🙏🙏🙏
    Dan cantumin sumber

    BalasHapus

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer