Peluk Hangat Cita-cita | Your Favorite Devil's Advocate
article

Peluk Hangat Cita-cita

Senin, Mei 18, 2015

Peluk Hangat Cita-cita

Cita-citaku (cita-citaku)
Kepingin jadi dokter
Cita-citaku (cita-citaku)
Ingin jadi insinyur
Cita-citaku (cita-citaku)
Menjadi anak pinter
Cita-citaku (cita-citaku)
Ingin jadi presiden 


Susan : Boleh Kak Ria?
Ria : Boleh. Cita-cita memang harus setinggi langit
Susan : Iya nanti kalau Susan nggak jadi presiden, ya wakilnya

***

Aloha! Back to 90’s, Gengs! Kalau kalian tau lagu di atas, masa kecil kalian sungguh bahagia. Momen yang pas bagi dedek-dedek SMA yang baru aja ngerayain kelulusan dan lagi galau sama jurusan kuliah, kali ini gue mau bahas soal cita-cita.

Well, bahasan soal cita-cita dan passion kayaknya memang udah gak asing lagi di rumah literasi gue ini, maka untuk fokusnya kali ini akan lebih kepada konsistensi dalam memegang sebuah cita-cita.

Okey, back to the song! Sadar gak kalau di balik kebahagiaan masa kecil kita saat mendengarkan lagu-lagu itu, terselip mantra-mantra ajaib yang masuk ke dalam alam bawah sadar kita? Biar gue luruskan, gue bukan akan menulis—atau mengetik—tentang sesuatu yang positif, tetapi gue akan membahas dari sisi negatif.

Semua hal di dunia punya sisi positif dan negatif, entah dengan kadar yang sama atau berat sebelah, entah pula benar-benar tampak ataukah ada salah satu yang terlupakan. Sebagai kaum minoritas, gue suka ngangkat apa-apa yang terlupakan banyak orang. Yap, sisi negatif dari lagu tadi adalah salah satunya.

Positifnya lagu tersebut adalah memberikan semangat kepada anak-anak Indonesia untuk mempunyai cita-cita yang tinggi. Tapi sayangnya, semangat dari lagu tersebut tetiba dipatahkan oleh inkonsistensi yang terdapat pada bagian akhirnya. Semacam orang pacaran yang tau-tau putus: awalnya ditinggikan dan dibanggakan, akhirnya tetap dijatuhkan. Life
“Iya, nanti kalau Susan nggak jadi presiden, ya wakilnya.”

PENURUNAN CITA-CITA

Gue yakin, ini bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan nyata yang kita punya. Waktu masih SD pengin jadi presiden, SMP pengin jadi menteri, SMA pengin jadi walikota, kuliah? Lulus aja udah alhamdulillah. Iya, gak? Jangan bilang kalo lo adalah salah satu yang mengalami penurunan cita-cita…

Hmm, kalau iya pun sebetulnya gak apa-apa. Banyak orang yang beralasan, “Gue belum nemu passion gue di mana,” atau, “Semua orang ngalamin itu, kok, wajar.”

Okey, okey.

Tapi gue rasa, yang namanya inkonsistensi cita-cita semacam itu gak akan terjadi kalau:
  • Kita tau dan kenal betul siapa diri kita. Kalau kita udah khatam dengan hal yang pertama ini, kita gak akan terlalu muluk-muluk hingga akhirnya harus perlahan menurunkan cita-cita atau bahkan membuatnya terjun bebas dari ketinggian yang tak terhingga. Karena kita tau siapa diri kita, kita tau apa mau kita, kita tau apa tujuan kita. Simple? Yes. Kita tinggal mencintai diri kita lebih dan lebih lagi.
  • Yakin dan percaya kalau kita bisa. Dari kecil, gue mayakini bahwa gak ada hal yang mustahil di dunia ini. Termasuk soal cita-cita. Setinggi apa pun cita-cita itu, kita pasti berhasil mendapatkannya. Percaya, gak? Harus percaya. Kita pasti berhasil, hanya tingkat keberhasilan kita sampai di level mana itulah yang ditentukan oleh poin selanjutnya.
  • Usaha dan kerja keras. Kalau kita mau push semangat kita buat usaha dan kerja keras untuk sebuah pencapaian—dalam hal ini cita-cita, semuanya pasti bisa diwujudkan. Banyak sekali kegagalan yang terjadi karena malas mengeluarkan energi lebih dibanding banyak pesaing di luar sana. Akhirnya? Alasan lagi, alasan lagi. Kita gak akan sampai pada titik apa pun pada level pencapaian itu.

Nah, kita gak boleh kayak Susan ya, Gengs. Susan menyesatkan alam bawah sadar kita sedari kecil. Hilangkan Susan dari muka bumi! MERDEKA!

Gue sendiri sebetulnya gak pernah mengalami inkonsistensi dalam hal cita-cita. Gue baru nemu satu cita-cita yang sreg banget saat gue kelas enam sekolah dasar secara tidak sengaja. Gak sengaja. Gue pengin jadi penulis saat itu gegara nulis satu cerpen. Nulis cerpen ini pun sebetulnya karena keirian semata. Gue yang udah biasa jadi nomor satu di sekolah dengan polosnya gak rela kalau ada teman lain yang dipuji sama guru, namanya juga anak kecil. Temen gue bikin cerpen, dipuji dan disuruh lanjutkan. Gue dengar itu dan malamnya gue langsung bikin cerpen juga.

Akhirnya? Nulis itu nagih! Gue gak tau kenapa tetiba gue bisa begitu cinta dengan hal itu. Dan itu semua adalah awal. Awal di man ague untuk pertama kalinya bisa dengan mantap bilang kalau gue punya cita-cita dan cita-cita gue adalah menjadi seorang penulis. Empat buku yang ada di sini agaknya cukup membuka pintu buat gue, hingga sekarang gue mulai memilih dan mem-branding diri gue sendiri.

PERTIWI YULIANA

Banyak orang yang gak sadar kalau nama di atas hanyalah nama pena, bukan nama asli. Please buat yang tau nama asli gue gak usah songong dan nulis nama gue di kotak komentar, doraka! Bahkan banyak temen sekelas gue yang suka protes karena lupa sama nama asli gue saat nulis absen atau makalah atau ppt. Iyalah, di mana-mana gue pake nama Pertiwi Yuliana, hahaha!

Gue suka, kok, sama nama asli gue. Suka banget malah! Gue cuma mau memberi spasi antara dunia literasi dan dunia nyata ini, eh gak taunya malah keterusan. Gak apa-apa, branding image gue cukup sukses dong dengan banyaknya yang gak sadar kayak gitu? Perihal nama—buat gue—juga penting untuk cita-cita gue. Percayalah semua ini demi mewujudkan apa yang sedari kelas enam sekolah dasar gue impikan, gak usah pada marah. :p

Well, konsistensi dalam memegang teguh sebuah cita-cita bisa membawa langkah kita lebih mantap untuk berjalan ke depan. Ayuk dedek-dedek jangan galau, udah tau cita-citanya mau jadi apa? Pilihlah jurusan yang tepat, jangan udah masuk terus ngeluh salah jurusan. Udah mainstream soalnya. *eh

Okey, terakhir: doain gue bisa bikin buku sendiri sebelum gue lulus kuliah ini, ya! Yang sampulnya cuma ada nama gue—nama pena gue, Pertiwi Yuliana. Yayaya? Yuk, aamiin.

*ujung-ujungnya minta doa*

*dirajam berjamaah*

*tetep lambai-lambai cantik*




Salam,







Your favourite devil’s advocate

You Might Also Like

11 komentar

  1. Oh jadi nama pertiwiyuliana itu nama pena haha. Semoga terwujud bisa nulis buku, yg pentingusaha terus, barang siapa yg akan usaha lebih pasti hasilnya jg akan lebih.

    BalasHapus
  2. Itu nama pena. Wah ternyata. Hahaha... dari dlu emang sudah konsisten si mbak yg satu ini. Semoga lancar dan bisa terbit buku nya.

    BalasHapus
  3. Duh, gue nggak konsisten, Kak. Gue baru suka nulis pas SMK. Sampe sekarang masih suka nulis, sih. Tapi sekarang cita-cita gue berubah lagi. Mau punya pacar cantik. Eh, itu cita-cita bukan? :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cita-cita juga, cita-cita jangka pendek :/

      Hapus
  4. gue merasa dibohongi :p
    pantes kok namanya terlalu anggun buat lu :p
    ternyata itu nama pena.

    amin..
    ditunggu kabar bukunya.. segera selesaikan ya.

    BalasHapus
  5. Aku tau dari siapa ya, nama asli kamu, Wi.. Kayaknya waktu itu lagi ngobrol-ngobrol ganteng sama salah satu dedemit deh. Huahahahah :D

    Ah ya.. Sering kali orang menurunkan takaran cita-citanya, karena emang ya anggapan 'daripada enggak sama sekali' itu lebih sakit daripada hubungan LDR. Eh. ._.

    Semoga bisa jadi penulis handal ya.. Plus nerbitin banyak buku jugak.. Aamiiin..

    BalasHapus
  6. gue pun sulit konsisten dalam hal cita-cita. sd mau jadi ini, smp mau jadi ini, sma mau jadi ini.
    sama kayak si kampret susan yang banyak maunya. oalah, ternyata selama ini... nama lo bukan nama asli toh. nama panggung gitu ya..

    BalasHapus
  7. Sd harus pringkat 3 besar,
    Smp masuk 10 besar,
    Smk naik kelas aja bersyukur banget...

    Sama yaa? Inkonsistensi juga....
    Haha

    BalasHapus
  8. Amiiiiinnnnnn~ Sukses terus buat pertiwi yuliana :D
    endingnya gue pakek dibawa-bawa, hadehhhh :P

    BalasHapus

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer