Menuju Tujuh | Your Favorite Devil's Advocate
poem

Menuju Tujuh

Rabu, April 09, 2014

Hari pertama, aku masih mematri sebuah nama. Memunggungi kenyataan bahwa kau bukan lagi siapa-siapa. Aku masih dibalut luka, mencoba menerima sebuah kata “tiada”. Di bawah terpaan senja, aku mangais puing-puing kita. Kita yang dahulu pernah ada. Kita yang sempat malayangkan harap bersama. Kita yang pernah menjadi kita.

I miss the old you

Hari kedua, aku masih mencoba memulihkan luka. Sayang, aku melihatmu di sana. Bersama seorang wanita yang cantik jelita. Jujur saja, luka hati ini masih menganga. Dan perihnya, dia harus kembali menjerit melawan duka. Mungkin, ini salahku yang masih saja menunggu. Menunggu kamu hadir di hadapanku dengan setangkai mawar merah dalam genggamanmu layaknya malam itu. Malam di mana kamu memintaku mendampingimu di bawah kesaksian purnama yang sendu. Kamu, aku rindu.

Hari ketiga, aku berbicara pada senja.

“Aku mencintainya tanpa mengapa dan karena, Senja.”

“Bagaimana dengannya?”

“Entah.”

“Cinta di dunia ini selalu diiringi alasan, Dinda.”

“Mengapa?”

“Karena jika cinta serupa yang kau katakan, maka tidak akan ada yang namanya perpisahan. Dinda, kau mencintainya karena suatu hal, tentu saja. Dan kemudian dia meninggalkanmu karena alasannya untuk mencintaimu pun telah menghilang. Sesederhana itu.”

Senja mungkin benar, hanya rasaku saja yang masih liar. Masih mengakar dan terus menjalar pada kesalahan yang fatal.

Hari keempat. Semakin menuju pada titik itu, bayangannya kian hari kian merapat. Membebat rasaku yang terus terikat. Aku sekarat. Bersama ceceran kenangan yang dahulu kuartikan dengan nikmat. Aku dijerat, bersama sepi yang mulai menyesap dalam sebuah syarat. Tersirat sebuah pesan untukku agar segera meninggalkan sebuah tempat yang membuatku berkarat. Aku tersesat.

Hari kelima, aku mencoba melangkah. Walau sesungguhnya, kepala ini masih saja ingin berpaling ke belakang. Masih ingin melihat apa kau akan menumbukkan mata ke arah aku berjalan. Masih ada secercah keyakinan bahwa jalan kita akan searah. Tapi aku mulai lelah, denganmu yang masih saja melawan arah. Padahal, telapak tangan yang hangat ini menanti untuk kau genggam kembali. Padahal, pintaku hanya sesederhana ini.

Hari keenam, aku terdiam. Malam-malamku ternyata tidak kelam. Masih ada gemintang yang cantik yang tentu saja tidak akan membuatku geram. Ya, aku terlambat menyadari dan terlalu mendewakan muram. Ternyata, semesta masih mendorongku untuk tersenyum sembari menikmati keindahan alam.

Hari ketujuh. Ini harimu, Tuan? Undangan itu berada di tanganku. Aku berjalan menghadiri resepsi pernikahanmu. Ah, kau di situ. Bersama wanita cantik yang kulihat beberapa waktu lalu. Mungkin kau masih sama, Tuan. Masih tidak memedulikan aku yang merindumu. Namun aku tahu, kakiku telah kuat menopang masa lalu. Tentangmu dan segala keindahan semu. Ini aku, yang dahulu pernah seiring denganmu. Ini aku, yang sekarang telah tegak menjabat tanganmu. Ini aku, yang dahulu pernah kau janjikan duduk di pelaminan ini bersamamu. Ini aku, aku yang sudah bukan lagi aku yang dulu.

Kenangan itu jelas saja akan terkuak selama beberapa saat. Namun, aku sudah berlatih untuk menutupinya dengan senyum khianat. Ah, aku mungkin adalah seorang aktris yang hebat.

Di saat semua sibuk mengagumimu dan pasanganmu, semu menyapaku.

“Selamat datang pada sayat sembilu, Nona!”

“Ah, kau masih mengiringiku kan, Tuan? Kita masih berdua.”

“Kau yakin akan tetap tegar?”

“Tidak pernah seyakin ini sebelumnya.”

“Bagaimana bisa?”

“Karena senja telah membantuku membuka mata akan sebuah alasan yang dimilikinya.”

“Alasan?”

“Ya, cinta membutuhkan alasan. Kecuali cinta absolut yang dimiliki oleh Tuhan.”

Kemudian, semu kembali bungkam dan menggandengku dalam diam. Dia tersenyum dan menggangguk untuk menyetujui tindakku yang tak lagi terpaku pada sesuatu yang dianggapnya buruk. Kami di situ, diiringi senandung angin malam sembari melihatmu. Dan juga wanita cantik di sampingmu. Selamat. Semoga bahagia sampai malaikat maut menjemput kalian dengan khidmat.




Salam,




Perindu masa lalu







*cerita ini bukan berdasarkan kisah nyata*

You Might Also Like

29 komentar

  1. Flash fiction itu bukannya penggalan cerita, tapi sudah mewakili karakter, latar, konflik dan resolusi ya? Ah entahlah, aku juga masih belajar hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hm... menurutmu, ini engga?

      Hapus
    2. Duhh.. saya nggak tau, masih belajar hehe

      Hapus
    3. Hahaha komen gitu kirain lebih ngerti. Gue masih belajar juga soalnya.

      Hapus
  2. duh wi. curhat ye? hahaha
    kata2 lo puitis amat dalam menggambarkan perasaan. coba deh dibuat lebih ke alamiah aja. pasti lebih keren :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. GAK CURHAT!-_______-
      Lebih ke alamiah gimana?

      Hapus
  3. kalo kata para pencerita, sefiksi-fiksinya cerita, tetap ada kisah nyata yang pernah dialami di dalamnya. Gue anggep yg ke-7 fiksi, hari 1-6 nyata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak bener ish........ tapi gak salah juga sik.
      Ah, gak tau ah! *peperin upil ke Haw*

      Hapus
  4. nyeess...!!!
    ini postingan kado buat mantannya ya kak?? :D

    BalasHapus
  5. Diksi nya bagus, isi nya menarik and i cry when read it. Keep writing, nona! :')

    BalasHapus
  6. Aduh tiwi bacanya ikut bikin teriris-iris deh
    Pinter banget sih milih diksinya. Suka deh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah, terima kasih, Kak Ica :D
      Mau ngobrol soal feminisme, nih >,<

      Hapus
    2. Ayo ngobrol soal feminisme hehe
      kapan kapan?

      Hapus
    3. Hayuuuk! Aku syiap! Aku syiap! :D

      Hapus
    4. Sip sip aku pun kapan saja siap :D

      Hapus
  7. salah satu hal yang tidak menyenangkan adalah terjebak di masa lalu, ya kayak lagunya raisa "ku terjebak di ruang nostagia"
    tisu mana tisu...

    BalasHapus
  8. pemilihan katanya bagus2 banget.. dan ini juga bisa masuk kategori flash fiction kok.. IMHO, FF tuh yg penting ngetwist n ngga terduga..

    maen2 ke ketikakuberkata.blogspot.com ya? aku juga sering bikin FF :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, makasih kunjungannya :)
      Nanti aku kunjungi balik, ya :)

      Hapus
  9. Tiw, kayaknya cerita ini kalau dicocokkan dengan puisiku yang ini >> http://penggembalakata.blogspot.com/2013/12/di-tepi-sungai-loire-dan-senja-yang.html

    Cocok juga, kita jodohin apa gimana nih ? Hmm... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Senjamu indah, Tuan!
      Mari berbesan! :D

      Hapus
    2. Mari berbesan, dan biarkan sinar jingga menjadi saksi keindahannya. :D

      Hapus
  10. Selamat menikah tuan, semoga berbahagia kau senja~
    nice words. wonderfull :))

    BalasHapus
  11. ijin komen di blog momod jamban blogger :)
    kata kata ini yang keren kalau kata aku
    "karena senja telah membantu membuka mata akan sebuah alasan yang di mlikinya"

    BalasHapus

Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer